Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Hujan
Kediaman Virelli, tempat termewah di dunia.
Segalanya ada di sana, kemewahan, pelayan setia, taman menggantung, dan teknologi tercanggih.
Namun di balik tirai emas dan langit-langit kristal, terdapat hati Liliana yang kosong.
Ia hanya duduk di kursi balkon lantai tertinggi, menatap langit yang mulai gelap, tidak ada hujan, tapi matanya basah.
"Sean, di mana kamu sekarang?"
"Apa kamu benar-benar bahagia tanpa aku?"
Pintu balkon terbuka, langkah berat seseorang memasuki ruangan— Demian.
Wajah tua itu masih tampan, namun ada luka menganga di balik sorot matanya, dia mendekat dan mencoba memulai pembicaraan yang sudah terlalu lama mereka hindari.
"Liliana, sudah cukup, kau harus mulai menjalani hidupmu lagi."
Liliana tetap memunggunginya.
"Hidupku berakhir saat Sean melupakan aku."
"Kau bisa memberiku dunia, Ayah, tapi tidak bisa memberiku dia, orang yang kucintai."
Hening, angin malam mengalir di antara mereka.
"Kenapa Ayah tak pernah mengerti perasaanku?" suara Liliana mulai meninggi.
"KENAPA AYAH SELALU MEMAKSA KU UNTUK MENJAUH DARINYA!?"
"Kau tak tahu apa yang aku rasakan! Aku mencintainya, Ayah! Aku sungguh-sungguh mencintainya! Hiks.. Hiks..."
Demian mengepalkan tangannya, kepala menunduk dan bahunya bergetar pelan.
"Kau pikir, hanya kau yang tahu rasanya mencintai seseorang hingga seluruh jiwamu ikut pergi saat dia menghilang?" kata Demian dengan suaranya yang pecah.
"Kaori, ibumu, aku mencintainya lebih dari hidupku sendiri."
Liliana membalikkan badan, matanya membelalak, dia menyaksikan bahwa saat ini, Ayahnya menangis.
"Selama 25 tahun aku hidup dalam kegilaan, menatap layar demi layar CCTV, berharap bisa melihatnya kembali, bahkan hanya sekali!"
"Dan sekarang, kau adalah satu-satunya yang tersisa dari kami!"
Demian menatap putrinya dengan mata sembab.
"Apa aku harus kehilangan kau juga hanya demi seorang pria yang bahkan tidak ingat siapa dirimu?"
Air mata Liliana jatuh.
Dia mendekat, memeluk ayahnya perlahan.
"Aku tidak ingin pergi dari hidupmu, Ayah!"
"…tapi aku juga tidak bisa hidup, jika hatiku dibiarkan mati perlahan."
Demian tidak menjawab, mereka berdua terdiam dalam pelukan yang mengguncang langit malam Virelli.
Dan di kejauhan, sebuah bulan penuh menggantung di langit, mengintip dua hati yang terluka yang masing-masing mendapati cinta yang tak bisa memiliki.
Setelah beberapa saat terdiam dalam pelukan yang hampa tanpa kata, Liliana melepaskan diri perlahan.
Ia menatap wajah ayahnya yang tampak jauh lebih tua daripada usianya.
Wajah yang selama ini ia anggap kuat, kini retak.
"Ayah…"
"Tolong jawab satu hal…"
Demian menatap Liliana, mencoba tegar.
"Kenapa, Sean bisa bisa melupakan aku?"
Tatapan Demian meredup, ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah sofa dan duduk.
Kepalanya tertunduk dan menjawab, "Karena, dia mencarimu."
Liliana mengerutkan kening, melangkah mendekat.
"Apa maksud Ayah?"
Demian memejamkan matanya sejenak.
Suaranya pelan, seperti beban yang selama ini ia pendam sendirian.
"Beberapa waktu lalu, Sean datang ke kediaman keluarga Shinomiya dan dia mencari kebenaran tentang dirimu!"
"Dia sampai di kuil, kuil tua milik keluarga Shinomiya yang seharusnya tak lagi aktif lagi, tapi saat dia masuk ke sana."
Demian terdiam sejenak, matanya mulai berkaca.
"Kuil itu bereaksi dan setelahnya, Sean kehilangan kesadarannya."
"Kepala keluarga Shinomiya menghubungiku. Mereka bilang hanya ada satu cara menyelamatkan nyawanya."
Liliana menggigit bibir bawahnya dengan suaranya yang mulai gemetar.
"Apa yang mereka lakukan?"
Demian menatap putrinya, penuh rasa bersalah.
"Mereka menghapus ingatannya tentangmu dan tentang seluruh keluarga Shinomiya."
"Mereka bilang itu satu-satunya cara untuk memisahkan Sean dari takdir gelap Shinomiya!"
Liliana terdiam, dadanya sesak dan matanya membelalak menahan air mata yang semakin panas.
"Jadi, dia tidak pernah memilih untuk melupakan aku?"
Demian mengangguk pelan, "Tidak. Dia tidak pernah memilih."
"Dia mencarimu dengan sepenuh hati, sampai hatinya hancur."
Liliana terduduk di lantai, tangannya menutup wajah dan tangisnya pecah.
"Sean…"
"Kau tetap mencintaiku?"
Setelah tangis Liliana mereda, Demian menatap putrinya dengan pandangan yang berbeda.
Tidak lagi keras, tidak lagi dingin, melainkan lembut seperti seorang ayah yang baru saja menyadari bahwa ia terlalu lama menutup hatinya.
Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu duduk di sebelah Liliana yang masih terduduk di lantai.
Tangannya mengusap kepala putrinya dengan perlahan.
"Liliana, ayo kita kembali ke Jepang."
Liliana mendongak, matanya masih merah.
"Kenapa tiba-tiba?"
Demian menarik napas panjang dan suaranya kini terdengar lebih tenang dan bulat.
"Karena di sanalah semuanya dimulai, takdir buruk ini, penderitaanmu, penderitaanku, dan semua rahasia yang menyebalkan ini selama bertahun-tahun."
"Kita akan menghadapi semuanya dari awal, bersama-sama."
Liliana menatap mata ayahnya dalam-dalam, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa didengarkan, diterima dan dipahami.
Demian menunduk, menggenggam kedua tangan putrinya dengan kuat.
"Mulai hari ini, Ayah tidak akan mengaturmu lagi, tidak akan menahanmu dengan alasan perlindungan atau garis keturunan dan yang Ayah pikirkan sekarang, hanya satu."
"Kebahagiaanmu."
Liliana terpaku mendengar kalimat itu.
Suaranya pelan, nyaris berbisik, namun penuh ketegasan.
"Kalau begitu,"
"Yang aku inginkan,"
Ia menatap ayahnya, air mata kembali mengalir, namun kali ini bukan karena putus asa, tapi harapan.
"Aku benar-benar menginginkan Sean, Ayah!"
Demian tersenyum tipis, meski sorot matanya jelas menggambarkan kepedihan dan kerelaan.
"Kalau begitu, kita cari dia bersama."
"Dan kita bawa kembali semua yang telah direnggut darimu."
...----------------...
Ketukan keras menggema di pintu apartemen itu.
Sean baru saja selesai mengetik satu paragraf baru dalam naskahnya, karya yang terasa seperti lahir dari sisi dirinya yang bahkan tidak ia pahami.
Ia membuka pintu dan langsung terdiam.
Di hadapannya berdiri seorang pria elegan dengan tatapan tajam, Demian Virelli.
Di sampingnya, berdiri Liliana, gadis yang sempat jatuh beberapa hari lalu dan yang anehnya terus muncul dalam mimpinya.
Ada beberapa orang lainnya, pengawal, pelayan, dan kendaraan mewah yang menunggu di belakang.
Tapi bukan kemewahan yang membuat Sean membeku, bukan pula pria itu.
Melainkan mata Liliana,atanya yang memanggil sesuatu jauh ke dalam dirinya, sesuatu yang terasa seperti rumah.
"Sean…" Suara Liliana lirih, namun cukup untuk membuat dunia Sean berhenti berputar.
"Kau ingat aku?"
Sean tidak menjawab, keringat dingin mengalir dari pelipisnya.
"Siapa dia? Kenapa namanya terasa sangat penting?"
"Kenapa aku seperti pernah berdiri di hadapan tatapan itu?"
Namun, saat itu pula wajah Aoxue muncul dalam pikirannya.
Aoxue yang kini selalu berada di sampingnya, Aoxue yang selalu tertawa dan mengatakan bahwa ia percaya pada setiap kata-kata tulisannya.
Sean menggeleng cepat, ja menatap Liliana, kebingungan.
"Maaf, aku tidak tahu siapa kau."
Liliana tertegun, Demian mengepalkan tangannya di belakang punggungnya.
Namun, Sean melanjutkan, dengan suara yang lebih pelan dan lebih jujur, "Tapi untuk alasan yang aku sendiri tidak tahu,"
"Melihatmu membuat dadaku sakit."
Liliana meneteskan air mata, tapi ia tersenyum. Setidaknya, perasaan itu belum sepenuhnya hilang.
Tiba-tiba dari dalam apartemen, terdengar suara langkah kaki.
"Sayang? Siapa itu?"
Aoxue muncul dari balik ruang tengah, mengenakan apron, tampak sedang memasak.
Senyumnya langsung lenyap ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
"Kau?"
Pertemuan tiga sisi takdir pun dimulai, satu cinta masa lalu, satu cinta masa kini, dan satu lagi yang hatinya tercerai berai oleh takdir yang saling bertabrakan.