Atas desakan ayahnya, Poppy Yun datang ke Macau untuk membahas pernikahannya dengan Andy Huo. Namun di perjalanan, ia tanpa sengaja menyelamatkan Leon Huo — gangster paling ditakuti sekaligus pemilik kasino terbesar di Macau.
Tanpa menyadari siapa pria itu, Poppy kembali bertemu dengannya saat mengunjungi keluarga tunangannya. Sejak saat itu, Leon bertekad menjadikan Poppy miliknya, meski harus memisahkannya dari Andy.
Namun saat rahasia kelam terungkap, Poppy memilih menjauh dan membenci Leon. Rahasia apa yang mampu memisahkan dua hati yang terikat tanpa sengaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Kediaman keluarga Huo.
Leon kembali ke keluarganya. Ia duduk di ruang keluarga bersama Ayahnya, Alan Huo, serta kakaknya William Huo dan istri William, Cecil Luo.
Leon bersandar santai, seolah tak peduli, sementara William tampak tegang dan Cecil duduk dengan sikap anggun namun gelisah.
“Leon, belakangan ini apa yang kamu sibukkan? Sehingga jarang pulang.”
Alan menatap putranya dengan nada menegur, seolah ingin tahu apakah Leon membuat masalah lagi.
“Aku baru pulang dari Hongkong. Ada sedikit urusan.”
Leon menjawab datar sambil memutar gelas teh di tangannya.
William, yang sejak tadi mengamati wajah adiknya ikut berbicara.
“Leon, kami mendengar ada penyerangan di kapal. Apa kau berada di kapal yang sama?”
“Iya. Dan masalah itu sudah selesai.”
Nada Leon tenang.
Cecil yang duduk anggun di samping suaminya, mencondongkan tubuh sedikit.
“Dengar dari berita, mereka adalah sekelompok perampok. Benarkah?”
“Mungkin saja.” Leon mengangkat bahu. “Aku juga tidak ikut campur.”
Alan menghela napas panjang dan menatap Leon serius.
“Leon, hati-hati saat di luar sana. Kenapa kau tidak ingin kembali ke perusahaan saja? Mengurus bisnis keluarga?”
Ucapan itu membuat Cecil spontan memutar kepala, wajahnya berubah tegang.
Jelas dia tidak suka topik itu muncul, karena menyangkut putranya, Andy.
Leon menatap ayah dan kakaknya dengan santai.
“Pa, bukankah ada kakak dan cucumu yang mengurus perusahaan? Kenapa harus aku?”
“Andy tidak bisa diharap sama sekali! Dia tidak pernah dewasa. Selalu membuat masalah," jawab Alan.
“Pa, Andy masih muda,” Cecil cepat-cepat membela. Suaranya meninggi, emosional. “Dia masih perlu dibimbing.”
“28 tahun masih muda?” Alan menatap menantunya tajam, nadanya penuh kekecewaan. “Dulu usiaku baru 20 tahun, dan aku sudah harus menguasai semuanya.”
Cecil mengepalkan tangan di pangkuan, dipaksa diam oleh pandangan suaminya.
“Ini semua karena kau. Kau ibu yang terlalu memanjakan dia," ujar Alan.
Cecil menunduk, tersinggung tetapi tidak bisa membantah.
Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar dari arah pintu.
Andy muncul dengan wajah cerah seperti biasa, seolah tidak ada ketegangan di ruangan keluarga itu.
“Kakek, Pa, Ma, Paman,” sapanya sambil tersenyum besar.
Ia duduk tanpa banyak basa-basi, tampak percaya diri dan sama sekali tidak menyadari ekspresi tegang di wajah keluarganya.
Leon hanya mengangguk tipis—dingin dan tanpa minat.
Alan menghela napas panjang sebelum berbicara.
“Andy, sebentar lagi Nona Yun akan datang. Kau harus jaga sikapmu. Jangan kasar saat bicara dengannya.”
Andy meluruskan duduk, tapi senyum angkuhnya tetap ada.
“Kakek, tenang saja. Aku dan dia bukan pertama kali bertemu. Walau sudah lama kami tidak bertemu, kami akan menjadi pasangan yang serasi.”
Cecil tersenyum senang, bangga melihat putranya begitu yakin
Namun Leon memandang Andy tajam, seolah melihat anak kecil yang tidak tahu diri.
“Kau sering berkeliaran di club malam” kata Leon datar namun tajam. “Kalau pihak keluarga tunanganmu tahu, bagaimana kita beri penjelasan?”
Ucapan Leon membuat ruangan mendingin.
Cecil langsung menyambar, tidak terima anaknya disindir.
“Anak muda sebelum menikah berfoya-foya adalah hal yang biasa. Leon, kau juga sering keluar masuk club malam.”
Leon mendengus pelan, senyumnya miring penuh sindiran.
“Club malam itu milikku. Apa salahnya aku keluar masuk wilayahku sendiri?”
Mata Leon menatap Cecil lalu bergeser ke Andy.
“Berbeda dengan putramu. Namanya sudah terkenal di beberapa club malam. Setiap kali bergantian wanita.”
Leon bersandar santai, nada suaranya dingin dan tajam seperti pisau.
“Sungguh luar biasa sekali.”
Andy tercekat, wajahnya memerah menahan malu dan amarah.
Cecil tampak ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang mampu menyangkal kebenaran itu.
“Andy, ingat jangan asal bicara. Tuan Yun hanya memiliki seorang putri. Walau dia terlihat tegas, tapi dia sangat menyayangi anaknya,” ujar William dengan suara berat namun penuh peringatan.
Cecil, yang sejak tadi duduk dengan dagu terangkat, langsung menyahut.
“William, di luar banyak yang antri ingin menikah dengan putra kita. Tanpa marga Yun itu pun, anak kita tetap bisa menikah.”
Alan menatap Cecil tajam, napasnya terdengar jelas karena menahan kesal.
“Jangan selalu membanggakan putramu. Seharusnya kau didik dia menjadi suami yang bertanggung jawab, bukan mendukung setiap kesalahan yang dia lakukan.”
Cecil terdiam, wajahnya memerah karena tersinggung.
Situasi menegang... sampai suara pelayan memecah keheningan.
“Tuan besar, Nona Yun sudah datang.”
Raut wajah Alan langsung berubah cerah.
“Cepat sambut dia,” titahnya dengan senyum yang jarang ia tunjukkan.
Poppy melangkah masuk dengan langkah percaya diri, matanya ramah namun tajam, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi dunia sendirian. Ia menyapa Alan dengan sopan.
“Kakek, apa kabar!”
“Baik! Baik! Poppy, silakan duduk!” Alan menyambutnya dengan wajah berseri.
Leon, yang awalnya duduk santai, perlahan menegakkan tubuhnya. Sorot matanya menajam begitu melihat gadis itu.
"Ternyata dia… tunangan keponakanku."
Cecil memelototi penampilan Poppy dari ujung rambut sampai ujung sepatu, lalu menyindir,
“Lama tidak datang, sekali datang dengan tangan kosong.”
Poppy menatap Cecil dengan senyum manis yang terasa seperti bunga plastik—indah, tapi palsu.
“Bibi, keluarga Huo memiliki segalanya. Aku tidak tahu harus memberi hadiah apa. Lagi pula, bibi tidak kekurangan juga.”
Cecil langsung terdiam, bibirnya bergerak-gerak ingin membalas tapi tak menemukan alasan yang cukup kuat.
William, mencoba mencairkan suasana, ikut tertawa kecil.
“Poppy, jangan simpan dalam hati. Bibimu hanya bercanda.”
“Paman, aku juga bercanda,” balas Poppy sambil tersenyum lembut, namun matanya tetap setajam pisau dapur baru.
Alan tepuk tangan kecil.
“Poppy, tahun lalu kau datang masih belum bertemu dengan putra bungsuku. Namanya Leon. Kau harus memanggil paman.”
Poppy memandang Leon, masih dengan ketenangan khasnya.
“Paman!”
Leon mengangguk tipis.
“Sudah lama di sini?”
“Tidak lama, baru beberapa hari.”
Leon lalu mencondongkan tubuh, penasaran sekaligus ingin menguji.
“Kenapa kau ingin menikah dengan Andy?”
Senyum Poppy tetap sama. Ramah, tapi terasa seperti ada duri di baliknya.
“Aku tidak berencana menikah dengannya. Aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.”
Andy langsung menegakkan tubuh, wajahnya memanas.
“Poppy, jangan bicara sembarangan di depan pamanku. Kalau kau tidak berencana menikah denganku, lalu kau ingin menikah dengan siapa?”
Poppy memandang Andy sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Di dunia ini masih banyak pria. Bukan hanya kau saja."