ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Pukul sembilan pagi. Kami akhirnya tiba di taman kota. Aku menurunkan Adelia perlahan, membiarkannya bertumpu pada bahuku sebelum membantunya duduk di kursi taman yang teduh di bawah pohon besar. Langkahnya sempat goyah, jadi aku memastikan ia benar-benar stabil sebelum bergegas menuju mesin penjual minuman otomatis.
Beberapa detik kemudian, aku kembali dengan sebotol minuman dingin di tangan.
“Nih,” ucapku sambil menyodorkannya.
“Makasih…” gumamnya pelan. Suaranya terdengar lelah, hampir seperti bisikan.
Dengan gerakan lambat, ia membuka tutup botol. Lalu meneguk isinya dalam tiga kali tegukan panjang yang terdengar jelas: glup… glup… glup…
Setelahnya, ia menarik botol menjauh dari bibirnya dan menghembuskan nafas panjang.
“Hahh… akhirnya dingin juga…” desahnya, suara lega tercampur letih.
Uap dingin dari botol membasahi jemarinya. Adelia menahannya di dada sejenak, membiarkan sensasi dingin merambat perlahan ke tubuhnya. Kelopak matanya terpejam tipis, seolah ingin menikmati setiap detik kesegaran itu. Bahunya yang semula menegang akhirnya mengendur, lalu ia menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Haaah… lumayan…” ia bergumam kecil, suara lirih namun jelas menunjukkan rasa nyaman.
Rambutnya yang sedikit basah menempel di pelipis, dan wajahnya masih terlihat lelah—namun setidaknya, warnanya tidak sepucat tadi.
Aku memperhatikannya dalam diam. Wajar saja dia kelelahan seperti ini. Mengeluarkan elang untuk menakutiku, memasang pemisah ruang, memanggil Fenrir selama satu jam penuh untuk pencarian, mengerahkan Orochi untuk bertarung, dan menyuruh Mole menggali terowongan… masing-masing sudah cukup menguras tenaga, apalagi dilakukan berurutan tanpa istirahat.
Setelah nafasnya mulai lebih teratur dan bahunya tampak lebih rileks, aku memutuskan untuk mulai bertanya.
“Apa sekarang kau bisa menjelaskannya?” tanyaku, menatapnya serius.
Adelia mengangkat wajahnya, menghela napas perlahan.
“Sepertinya… itu jebakan,” ujarnya.
Alisku terangkat. “Jebakan?”
“Kutukan laba-laba tadi bukan kutukan murni. Itu kutukan yang diciptakan atau dimanipulasi oleh penyihir lain,” jelasnya.
“Apa kau yakin ini ulah penyihir lain?”
“Tidak sepenuhnya,” jawabnya pelan, sebelum meneguk sisa air dalam botolnya. Ia menunduk sedikit, seolah mencari kata yang tepat. “Sebenarnya… sebelum kita bertemu tadi, aku bukan sedang jogging. Aku baru saja selesai membasmi kutukan.”
Aku terdiam.
Sekarang masuk akal kenapa tubuhnya sampai selemas itu—bahkan untuk berdiri saja dia sudah kesulitan.
“Dan tepat setelah aku menyelesaikannya,” lanjut Adelia sambil menekan pelipisnya, “atasanku—yang juga guruku—tiba-tiba menghubungiku. Dia bilang ada kutukan tingkat 8 di dekat lokasiku. Aku tidak punya waktu untuk istirahat, jadi aku langsung dikerahkan ke sana.”
Kata-katanya terdengar lelah, tapi tatapannya tetap tajam. Ada beban yang ia tahan sendiri.
Aku mengernyit. “Apa mungkin atasanmu itu dalang dari semua ini?”
“Entahlah. Aku ragu,” ia menggeleng sambil menatap kosong. “Guruku memang… unik? Tapi tidak mungkin dia pelakunya. Aku yakin.”
Unik?
“Aku punya beberapa dugaan tentang siapa pelakunya dan bagaimana dia melakukannya. Tapi itu baru tebakan. Aku tidak mau membuat kesimpulan sekarang,” kata Adelia. Wajahnya mengeras, matanya menajam. “Tch… kalau aku bertemu orangnya, akan kuhabisi dia.”
“... Apa kau bisa mengatasinya?”
“Tentu saja,” jawabnya mantap. “Guru yang kubilang unik tadi adalah penyihir terkuat di era ini. Walaupun agak aneh, dia tidak akan membiarkan satu pun muridnya mati secara tidak adil.”
Perkataannya sedikit melegakanku, namun tetap ada sesuatu yang mengganjal. Aku tahu Adelia belum menceritakan semuanya. Tapi dengan kondisinya sekarang, memaksanya bukan pilihan.
“Hooaammm…”
Adelia menguap, kemudian menegangkan badan sebentar. “Cuacanya cerah sekali… bikin ngantuk,” ucapnya sambil melirik rerumputan hijau di bawah pohon besar.
Melihatnya begitu santai, aku tidak bisa menahan senyum. Tanpa mengatakan apa-apa, aku kembali menggendongnya.
“Hehe, rupanya kau cukup peka juga,” katanya sambil tersenyum manis.
Aku membalas senyum itu dan membawanya ke rerumputan di bawah pohon, membaringkannya dengan hati-hati.
“Tidurlah. Aku akan menunggumu sampai bangun,” kataku sambil bersandar pada batang pohon.
“Padahal kau bisa langsung pulang… tapi, terserah,” gumamnya. Setelah itu, Adelia langsung terlelap.
Aku menatap Adelia yang tertidur lelap, bibirku terangkat membentuk senyum kecil tanpa sadar. Setelah itu, pandanganku teralihkan ke langit yang cerah, sementara hembusan angin pagi yang sejuk perlahan menenangkan pikiranku.