Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tenang sebelum pergi
Sudah sebulan berlalu sejak Calista resmi menjadi murid di Noctura Academy. Hidupnya jauh lebih tenang dibandingkan sekolah sebelumnya, tetapi ia kerap menjadi sasaran bully. Meski begitu masalah kesehatannya tetap menjadi beban. Calista harus rutin ke rumah sakit, karena penyakit yang ia derita bukan penyakit biasa. Ia sering mimisan, bahkan muntah, namun sejauh ini masih mampu ia atasi. Yang terpenting baginya hanyalah bisa menyelesaikan masa SMA, meski ia sadar tak mungkin melanjutkan ke universitas. Sebelum benar waktunya benar-benar habis, ia hanya ingin merasakan arti menyelesaikan sesuatu.
Di kamarnya yang bernuansa merah muda, Calista menatap bayangan dirinya di cermin. Setelah memastikan semuanya rapi, ia meraih ponsel dan tas, lalu turun menuju ruang makan.
Pagi ini suasana meja makan terasa sunyi. Hanya denting sendok beradu dengan piring yang terdengar, menahan dirinya udara.
Calista duduk di sudut, menunduk, sekedar mengaduk-aduk makanan yang sudah dingin.
"Papa, kita kan sudah janji liburan bareng minggu depan. Calista juga pasti senang kalau kita bisa pergi bersama," ujar Vero, menahan getar di suaranya.
Nathan menghela napas panjang tanpa menoleh. "Aku nggak bisa. Pekerjaan lagi padat. Kalau aku tinggal, proyek bisa berantakan."
"Tapi ini bukan soal proyek, ini soal keluarga!" suara Vero meninggi. Matanya berkilat, emosinya pecah. "Berapa lama lagi kamu mau mengorbankan kami demi pekerjaanmu itu?"
Tatapan Nathan mengeras. "Kalau aku nggak kerja keras, dari mana semua ini? Rumah, sekolah Calista, semuanya butuh biaya. Liburan bisa tunda, tapi pekerjaan tidak."
Calista mengangkat wajahnya perlahan. Matanya berair, hatinya sesak melihat kedua orang tuanya saling melempar kata-kata tajam. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu.
"Kamu selalu saja begitu! Apa kamu sadar Calista butuh kita berdua, bukan cuman uangmu?" suara Vero pecah, membuat ruangan semakin menegang.
Nathan terdiam, rahangnya menegang. Calista menggenggam sendoknya erat-erat. Dalam hatinya ia berteriak:Aku nggak butuh liburan mewah... aku cuman butuh kalian duduk bersama tanpa bertengkar...
Akhirnya ia memberanikan diri. "Mama, Papa... bisa diam nggak?" suara Calista lirih, tapi tegas. Kedua orang tuanya menoleh. Mata Calista berkaca-kaca. "Kalau Papa nggak bisa ikut liburan, aku nggak apa-apa kok, Mah." Ia melirik Vero sebentar, lalu menatap mereka bergantian. "Tapi... Calista boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa, Sayang? Papa akan usahakan, asal bisa menebus kecewaan kamu," ucap Nathan cepat.
"Mas! Kamu pikir semua bisa ditebus dengan uang, hah?" Vero membentak, emosinya kembali naik.
"Vero, diam! Biarkan Calista bicara!" suara Nathan meninggi, lalu kembali menurun, Ia menatap putrinya. "Sayang... kamu mau minta apa?" tanyanya dengan nada jauh begitu lembut.
Calista menarik napas dalam. "Aku cuma mau... berhenti bertengkar di depan aku."
Deg! Nathan tercekat. Gelas di tangannya bergetar. Pandangannya kosong sesaat, lalu jatuh ke arah Calista dengan tatapan bersalah.
Vero menutup mulut, air mata menggenang. Ia sadar, niatnya memperjuangkan kebersamaan justru membuat putrinya jadi saksi pertengkaran.
Keheningan panjang menyelimuti ruang makan.
Dengan suara lirih penuh kejujuran, Calista berbicara polos–seperti seorang anak kecil yang sudah lelah melawan dan hanya ingin pasrah. "Penyakit Calista makin parah, Ma... umur Calista gak panjang lagi. Calista nggak minta apa-apa, cuma... jangan bikin hari-hari Calista berat. Calista nggak perlu bahagia, karena itu udah nggak mungkin... Calista cuma ingin tenang... sebelum pergi."
"Calista, jangan bilang begitu, Nak..." Vero langsung menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.
Tapi Calista hanya tersenyum tipis, polos, seolah sedang menenangkan kedua orang tuanya. "Tapi itu kenyataannya, Mah... Pah... Calista nggak minta yang aneh-aneh. Calista tahu nggak bisa bahagia seperti orang lain... cuman Calista ingin tenang. Cukup jangan bertengkar lagi di depan Calista, biar hari-hari yang tersisa nggak terasa berat."
Nathan menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Vero tak sanggup berkata apa-apa, hanya air mata yang jatuh deras membasahi pipi. Mereka berdua segera meraih Calista dalam pelukan erat—pelukan yang penuh sesal, penuh cinta, tapi juga penuh ketakutan akan kehilangan.
•●•
Di bawah halte, Calista berdiri termenung. Wajahnya masih memerah, bukan karena teriknya matahari, melainkan karena hatinya yang berantakan. Tadi pagi, papanya sempat menawarkan untuk mengantarnya ke sekolah, tapi Calista menolak dengan halus. Pertengkaran kedua orang tuanya di meja makan terus terngiang di kepala, membuat pikirannya tak kunjung tenang.
Brum!
Suara motor tiba-tiba memecah lamunannya. Calista menoleh, mendapati Xavier menatapnya dari balik helm hitamnya di atas motor sport.
"Naik." ucap Xavier datar.
"Kamu... panggil aku?" balas Calista polos, sambil menunjuk dirinya.
Xavier menghela napas, jelas kesal. "Terus gue manggil siapa? Di sini cuma ada lo." katanya ketus.
Calista cengir mulu, lalu menoleh sekilas ke kanan-kiri. Memang hanya dirinya yang ada di halte ini.
"Naik, buruan." ucap Xavier lagi, nadanya tegas.
Dengan langkah ragu, Calista mendekat. Sikapnya yang mirip anak kecil yang takut dimarahi. Xavier menyodorkan helm, Calista segera mengambilnya lalu mencoba memasangkannya. Sayangnya, ia terlihat kikuk dan kesulitan, hingga akhirnya Xavier turun tangan membantu.
Sesaat, jarak wajah mereka begitu dekat. Xavier bisa melihat jelas mata Calista yang sembab, bekas tangisannya tak benar-benar bisa disembunyikan meski ia berusaha tersenyum.
"Lo habis nangis?" tanya Xavier pelan tapi tajam.
Calista buru-buru menggeleng. "Nggak kok. Calista nggak habis nangis." jawabnya sambil memaksa tersenyum.
Xavier menatapnya dingin. Ia tahu Calista sedang berbohong, tapi memilih tak memperpanjang. "Buruan naik."
Calista mengangguk cepat, lalu naik ke motor sport itu.
Begitu mesin kembali meraung, Xavier melajukan motornya menuju sekolah. Angin menerpa wajah mereka, sementara di spion, Xavier sempat menangkap tatapan kosong Calista yang hanya menatap lurus ke jalan. Seolah pikirannya sedang jauh entah ke mana, tenggelam dalam luka yang tak bisa ia ceritakan.
Di atas motor, angin berembus kencang, menerpa rambut Calista yang tergerai dari sela helm. Gadis itu duduk dengan canggung, kedua tangannya menggenggam bagian samping motor, enggan menyentuh punggung Xavier.
Xavier sempat melirik dari kaca spion kecil di dapannya. Tatapannya menangkap sorot mata Calista yang kosong, seolah gadis itu berada jauh dari sini meski tubuhnya tepat di belakangnya. Napas Xavier terasa berat—ia ingin bertanya lebih banyak, tapi manahan dirinya.
"Lo kalau lagi kepikiran, jangan bengong gitu di motor," ucap Xavier datar, namun ada nada halus yang terselip. "Bisa bahaya."
Calista tersadar, buru-buru menggeleng. "Eh... Ia, maaf. Aku cuman mikiran aja."
"Mikir apa?" tanya Xavier cepat, tapi nadanya dingin.
Calista menggigit bibirnya, lalu tertawa kecil, berusaha menutupi. "Hehehe... rahasia."
Xavier mendengus pendek, matanya kembali ke jalan. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa kesal sekaligus khawatir—karena jelas terlihat Calista bukan sekadar memikirkan hal sepele.
Angin pagi terus terhembus, membawa keheningan di antara mereka. Hingga akhirnya suara Xavier menambahkan, suaranya rendah, hampir tak terdengar.
"Lain kali... kalau ada apa-apa, jangan pura-pura kuat di depan orang."
Calista terdiam. Senyum kecil muncul di bibirnya, meski matanya kembali berkaca-kaca. Ia tahu Xavier keras dalam ucapan, tapi setiap kata-katanya selalu menyentuh hatinya dengan cara yang aneh.