Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32. JANJI DIBAWAH BINTANG
..."Delapan ratus tujuh puluh hari, angka yang terlalu panjang untuk berpura-pura, tapi terlalu singkat untuk selamanya. Dan di antara hitungan mundur itu, dua jiwa bertaruh segalanya pada satu kepastian: mereka tidak ingin melepaskan."...
...---•---...
Malam semakin larut. Udara dingin mulai menggigit kulit, tapi tidak ada yang bergerak. Naira masih bersandar di bahu Doni, merasakan napasnya yang teratur, detak jantung yang perlahan kembali normal setelah ciuman tadi. Kehangatan tubuhnya menyebar ke tubuhnya sendiri, menciptakan kepompong kecil dari kenyamanan di tengah taman yang gelap.
Tapi kepala Naira tidak bisa diam.
Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan, satu per satu, seperti gelombang yang tidak bisa ditahan. Tentang masa depan. Tentang konsekuensi. Tentang apa yang mereka berdua baru saja mulai, sesuatu yang indah tapi juga menakutkan, sesuatu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan mereka.
Dan akhirnya, ia harus bertanya.
"Kamu pernah berpikir," Naira mulai bicara, jemarinya bermain dengan kancing jaket, "tentang setelah kontrak selesai?"
Doni diam sejenak. Pertanyaan yang sama yang menghantui pikirannya sejak minggu lalu. "Setiap hari."
"Dan?"
"Dan aku tidak tahu." Jujur. Ia tidak punya jawaban pasti. "Kontrak berakhir dalam delapan ratus tujuh puluh hari. Setelah itu, secara teknis aku bebas. Tapi..."
"Tapi kamu tidak tahu aku mau apa."
"Aku tahu aku mau tetap bersamamu." Doni memutar tubuhnya sedikit, menatap wajahnya. "Dalam bentuk apa pun yang kamu mau. Kalau kamu mau aku tetap di sini sebagai koki, aku akan tetap. Kalau kamu mau aku pergi dan kita mulai dari awal di luar kontrak ini, aku akan pergi. Kalau kamu mau aku tinggal tapi sebagai... sebagai lebih dari koki, aku akan lakukan juga."
"Lebih dari koki." Naira tersenyum. "Kamu maksudnya sebagai pacar rahasia yang harus bersembunyi dari dunia?"
"Kalau itu yang kamu mau, aku akan lakukan itu. Kalau kamu mau terbuka, kita bisa terbuka. Walau itu artinya skandal, gosip, dan mungkin kehilangan lima ratus juta rupiah dalam denda kontrak."
"Lima ratus juta itu bukan uang kecil."
"Tidak. Tapi kamu bukan sesuatu yang bisa dikuantifikasi dengan uang." Doni mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa mata mereka bertemu. "Aku datang ke sini untuk delapan ratus juta. Aku dapat kamu. Itu pertukaran terbaik dalam hidupku."
Air mata jatuh. Naira tidak mencoba menahannya. Hanya membiarkan mengalir, hangat di pipi yang dingin. Doni mengusapnya dengan ibu jari, tapi air mata terus datang.
"Kenapa kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan?" Suaranya bergetar, patah di tengah kalimat.
"Karena aku cuma bilang yang aku rasa." Ia mencium keningnya. Lama. Lembut. Bibir berlama-lama di sana, seperti berkat. "Aku mencintaimu, Naira. Aku tahu kita baru bicara soal ini pagi tadi. Aku tahu ini cepat. Tapi aku sudah merasakan ini sejak lama. Dan aku tidak bisa tidak mengatakannya lagi."
"Aku mencintaimu juga." Tangannya naik ke wajahnya, menangkup pipi. Kasar dari janggut yang mulai tumbuh, hangat di bawah telapaknya. "Aku pikir aku tidak akan pernah bisa mencintai lagi. Setelah Rendra, setelah semua yang dia lakukan, aku pikir hatiku sudah mati. Tapi kamu... kamu hidupkan lagi."
"Kamu juga hidupkan hatiku." Doni menutup mata, bersandar pada sentuhan itu. "Setelah Sari, aku pikir cinta itu sesuatu yang cuma datang sekali. Tapi aku salah. Ini beda dari Sari. Tapi tidak kalah nyata. Tidak kalah dalam."
"Aku tidak mau jadi pengganti dia."
"Kamu bukan pengganti. Kamu bab baru." Ia mencari kata yang tepat. "Kamu alasan aku percaya masa depan masih layak dijalani."
Naira menariknya ke ciuman lagi. Lebih lambat kali ini. Lebih lembut. Tidak ada urgensi, hanya keinginan untuk dekat. Untuk merasakan. Untuk mengatakan dengan tubuh apa yang kata-kata tidak cukup ekspresikan.
Saat berpisah, ia berbisik ke bibirnya, "Aku mau kamu tetap. Setelah kontrak. Aku mau kita. Entah bagaimana caranya, kita cari jalan."
"Kita akan cari jalan." Doni berjanji. Dahi bertemu lagi. Napas bercampur. "Kita bertahan sampai sekarang. Kita akan bertahan sampai akhir. Dan setelah itu, kita bebas."
"Delapan ratus tujuh puluh hari."
"Terdengar lama."
"Tapi juga tidak cukup untuk semua yang aku mau rasakan denganmu." Jemari Naira terjalin di jemarinya. Pas. Hangat. "Aku mau setiap hari. Setiap pagi bangun dan tahu kamu di dapur. Setiap malam seperti ini. Setiap ciuman yang kita curi. Aku mau semua."
"Kamu akan dapat semua." Doni mencium jemarinya satu per satu. Pelan. Penuh perhatian. "Aku janji."
Mereka duduk sampai udara terlalu dingin untuk diabaikan. Tubuh Naira menggigil walau sudah pakai jaket. Doni mengusap lengannya, tapi tidak cukup.
"Kita harus masuk," katanya, walau tidak mau. "Kamu kedinginan."
"Sebentar lagi." Tapi giginya mulai gemeletuk. "Lima menit lagi."
"Naira, kamu bisa sakit."
"Aku tidak peduli." Keras kepala. Tapi tubuhnya mengatakan sebaliknya, gemetar semakin kuat.
Doni berdiri, menariknya berdiri juga. Ia melepas jaketnya dari bahunya, tapi kemudian menariknya ke pelukannya lagi, lengan melingkupi tubuhnya dari belakang. Dagunya bertumpu di puncak kepalanya.
"Ini lebih hangat," katanya. Dan memang. Panas tubuh mereka berkumpul di antara mereka, menciptakan kepompong kecil dari kehangatan. "Lima menit. Lalu kita masuk."
"Deal." Naira bersandar padanya, berat tubuhnya diserahkan sepenuhnya. Percaya ia akan menopang. Dan ia menopang.
Lima menit berlalu terlalu cepat. Tapi janji adalah janji. Mereka berjalan kembali ke rumah, tangan terjalin, langkah pelan. Tidak ada yang mau malam ini berakhir.
Di pintu belakang, mereka berhenti. Satu ciuman terakhir. Panjang. Lembut. Penuh janji untuk besok, dan besok, dan semua besok setelahnya.
"Selamat malam," bisik Naira.
"Selamat malam." Doni mengusap pipinya sekali lagi, tidak bisa berhenti menyentuh. "Mimpi indah."
"Semua mimpiku sekarang tentang kamu."
Ia masuk duluan. Doni menunggu sampai ia mendengar langkah di tangga, pintu kamar tertutup pelan. Baru kemudian ia masuk, mengunci pintu belakang, dan berjalan ke kamarnya sendiri.
Di tempat tidur, ia berbaring menatap langit-langit. Bibirnya masih terasa hangat dari ciuman. Tubuhnya masih mengingat bentuk tubuhnya di pelukannya. Hidungnya masih menangkap aroma lavendernya.
Ia tersenyum dalam gelap.
Delapan ratus tujuh puluh hari.
Mereka akan bertahan.
Harus.
...---•---...
...Bersambung...