Cinta akan menemukan pemiliknya. Sebuah ketidaksengajaan, keterpaksaan, dan perjodohan, bisa menjadi jalan untuk menyatukan dua hati yang berbeda.
Seorang gadis SMA bernama Aira, terjebak dalam sebuah pernikahan dengan seorang duda bernama Affan yang merupakan ayah sahabatnya, Faya.
Mengapa pernikahan itu bisa terjadi?
Akankah pasangan beda usia itu bisa saling mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ria aisyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Tidak Bisa Berjanji
Aira dan Affan duduk di teras sambil menikmati secangkir coklat hangat yang disajikan oleh Netti. Di luar hujan turun dengan derasnya sehingga minuman itu membuat tubuh mereka menjadi hangat.
"Kenapa Faya belum sampai juga, ya?" Affan terlihat khawatir.
"Mungkin karena hujan jadi pak Toni mengemudi pelan-pelan, Om."
"Hmm." Affan mengangguk.
Hingga minuman di gelas mereka habis, Faya belum juga sampai. Akhirnya mereka berdua pun memutuskan untuk menunggunya di dalam.
Bimo datang menggunakan mobil Affan. Affan yang baru mencapai pintu pun menoleh saat satpam di rumahnya membukakan pintu untuk Bimo. Tidak lama kemudian Pak Toni pun datang menyusul di belakang mobil Bimo.
"Assalamualaikum, Boss!" sapa Bimo.
"Wa'alaikum salam. Masuk, Bim. Aku mau nunggu Faya dulu," jelas Affan.
Aira yang berdiri di samping Affan menunduk lalu berjalan keluar menghampiri mobil Pak Toni. Dia tidak menyapa Bimo dan hanya menunduk sebentar ketika melewatinya.
"Apakah ini nyonya muda, Boss?" bisik Bimo setelah Aira pergi menjauh.
Affan tersenyum penuh arti. Wajahnya tersipu terlihat seperti seorang yang sedang jatuh cinta.
"Pantas Bu Amanda sampai begitu marah dan menghadangku di jalan semalam, ternyata nyonya muda begitu cantik."
Senyum Affan memudar ketika mendengar ucapan Bimo. Rasa ingin tahunya memaksanya untuk menarik asistennya itu untuk pergi menepi.
"Apa kamu bilang? Amanda menghadangmu?" tanya Affan dengan kening berkerut.
Bimo pun menceritakan apa yang terjadi saat kepulangannya dari meeting bersama Affan. Amanda berpikir jika dia adalah Affan. Wanita itu hampir membuatnya celaka karena menghentikan mobilnya tiba-tiba di depannya.
Wajah Affan terlihat dingin. Amanda bisa saja melakukan hal yang nekat lebih dari ini. Dia harus waspada dan menjaga Aira dengan baik. Rasa sakit dan patah hati bisa membuat orang menjadi gelap mata.
"Mulai besok, sediakan sopir untukku. Aku tidak ingin Amanda membuat hal yang gila untuk memfitnahku. Sebenarnya dia orang yang baik, tetapi seseorang bisa saja menjadi khilaf saat pikirannya sedang kacau." Affan tidak ingin pergi sendirian setelah ini.
"Baik, Boss."
Mereka berdua segera masuk ke dalam untuk menyusul Aira dan Faya yang telah masuk lebih dulu. Keduanya sudah sampai di ruang keluarga dan terus berjalan ke kamar tamu. Aira memapah Faya dengan hati-hati.
"Bim, kamu tunggu di sini dulu. Aku mau lihat keadaan anakku dulu," pamit Affan.
Tanpa menunggu jawaban dari Bimo, Affan melangkah tergesa menyusul anak dan istrinya ke kamar tamu. Ketika dia sampai terlihat Aira sedang membantu Faya berbaring.
"Apa yang terjadi padamu, Sayang?" tanya Affan duduk di samping Faya berbaring.
"Aku juga tidak tahu, Ayah. Tiba-tiba saja tubuhku demam dan kepalaku merasa pusing," jelas Faya.
Affan menempelkan punggung tangannya di kening Faya untuk memeriksanya. Sedangkan Aira pergi ke dapur untuk mengambilkan minum dan makanan untuk Faya.
"Badanmu panas sekali, Faya. Ayah akan memanggilkan dokter untukmu."
Faya meraih tangan ayahnya.
"Tidak usah, Ayah. Aku minum obat dulu saja."
Affan kembali duduk.
"Baiklah! Nanti kalau belum turun ayah akan membawamu ke rumah sakit."
Faya mengangguk.
Tidak lama kemudian Aira datang membawa nampan berisi teh hangat dan makan siang untuk Faya.
"Ayah temui Om Bimo, gih. Aku sama mama saja." Faya tidak ingin ayahnya mengkhawatirkannya.
"Baiklah. Aira, tolong jaga Faya, ya," pamit Affan.
"Tidak perlu khawatir, Om." Aira duduk di tempat Affan duduk sebelumnya setelah Affan beranjak dari sana.
"Makanlah dulu walau sedikit, Faya. Biar perutmu tidak perih setelah minum obat."
"Iya, Ma." Faya membetulkan posisi bantalnya agar merasa lebih nyaman.
Dengan telaten Aira menyuapi Faya. Keduanya terlihat seperti seorang kakak beradik, tidak seperti seorang anak dan ibu sambungnya.
Faya tidak menghabiskan setengah dari makanan yang diambilkan oleh Aira. Itu sudah cukup untuk mengganjal perutnya dan membuatnya tidak gemetaran setelah minum obat.
Affan menyediakan beberapa macam obat di dalam kotak P3K. Aira mengambil obat yang cocok untuk Faya lalu membantu untuk meminumnya.
"Beristirahatlah, Faya. Aku akan menemanimu." Aira membantu Faya berbaring lalu menyelimuti tubuhnya.
"Terimakasih, Mam. Aku senang memiliki ibu sepertimu. Jangan pernah meninggalkan ayah apapun yang terjadi." Faya meraih tangan Aira dan menggenggamnya erat.
"Hmm." Aira mengangguk.
"Berjanjilah padaku." Faya belum merasa yakin dengan jawaban Aira.
"Segala janji adalah milik Allah, Faya. Aku akan berusaha untuk tetap berada di sisi ayahmu selagi dia menginginkannya. Saat ini, aku sedang belajar untuk memantaskan diri menjadi istri dan ibu yang baik."
Jawaban Aira yang begitu dewasa membuat Faya terharu. Mereka saling tersenyum dan menguatkan satu sama lain. Tidak lama kemudian Faya yang sedang dalam pengaruh obat pun terlelap.
Di ruang keluarga Affan dan Bimo terlihat sedang mengobrol serius. Mereka sedang membicarakan bisnis dan beberapa pekerjaan penting ketika Aira melintas untuk membawa piring kotor ke dapur.
"Aira, bisakah kalau kamu kemari sebentar?" panggil Affan.
Bi Sumi yang kebetulan lewat mengambil nampan dari tangan Aira dan membawanya pergi.
Aira berjalan menghampiri Affan dan berdiri mematung di depannya. Affan menepuk tempat kosong di sampingnya, memberi isyarat pada Aira agar dia duduk di sana. Aira pun duduk di tempat itu.
Bimo terus memandangi Aira tanpa berkedip. Dia terpesona saat melihat kecantikan dari istri atasannya itu.
"Jaga pandanganmu, Bimo!" seru Affan membuat Bimo gelagapan dibuatnya.
****
Bersambung ....