Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Apa-apaan
Tapi hari ini ini berbeda. Suara Leo terdengar jauh, gaungnya dilemahkan oleh ingatan tentang pengakuan Reygan yang canggung dan tulus.
“Ini dapurku,” bisik Nokiami pada keheningan apartemen. “Dan aku mau membuat kue.”
Gerakannya pada awalnya ragu-ragu, seolah sedang mempelajari kembali ritual yang terlupakan. Ia mengeluarkan mangkuk besar, pengocok, dan cetakan kue. Ia menyalakan oven, dan deru apinya yang menyala terasa seperti genderang perang kecil melawan hantu-hantu masa lalunya.
Ia memecahkan telur, satu per satu. Suara cangkang yang retak terasa memuaskan. Ia menuangkan gula pasir, butirannya berkilauan seperti kristal di bawah lampu dapur. Ia tidak menakarnya dengan perasaan bersalah, melainkan dengan antisipasi.
“Gula adalah musuh,” bisik suara Leo.
“Gula adalah energi,” balas Nokiami dalam hati, sambil mulai mengocok adonan dengan kecepatan penuh.
Deru mesin pengocok menenggelamkan semua suara lain. Ia fokus pada adonan yang perlahan berubah warna, dari kuning pucat menjadi putih dan mengembang. Ia menambahkan mentega yang telah dilelehkan, aromanya yang gurih langsung menguar. Lalu, tepung terigu, yang ia ayak perlahan-lahan, menyaksikannya jatuh seperti salju lembut ke dalam adonan. Terakhir, beberapa tetes ekstrak vanila.
Aroma vanila yang manis dan hangat memenuhi udara, mengusir sisa-sisa aroma mentol yang samar. Ini adalah aromanya. Aroma pilihannya.
Ia menuangkan adonan ke dalam cetakan dan memasukkannya ke dalam oven. Sambil menunggu, ia tidak duduk diam dengan cemas. Ia membersihkan semua peralatan, mencuci setiap mangkuk dan sendok dengan saksama. Ia merebut kembali teritorinya, seinci demi seinci.
Empat puluh menit kemudian, kue itu matang. Sebuah butter cake sederhana, berwarna keemasan, dengan permukaan yang sedikit merekah. Sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Nokiami mengeluarkannya dari oven, kehangatannya menjalari lengannya. Ia meletakkannya di rak pendingin, dan untuk beberapa menit, ia hanya berdiri di sana, menatap hasil karyanya.
Ini lebih dari sekadar kue. Ini adalah sebuah manifesto. Sebuah pernyataan bahwa ia berhak menikmati hal-hal yang baik, bahwa makanan bukanlah musuh, dan bahwa tubuhnya adalah miliknya, bukan milik opini orang lain.
Setelah sedikit dingin, ia memotong seiris. Uap tipis mengepul dari bagian dalamnya yang lembut. Ia mengangkat garpu ke mulutnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia makan tanpa menghitung kalori, tanpa mendengar suara penghakiman. Rasanya luar biasa. Manis, gurih, dan hangat. Rasa kebebasan.
Ia menghabiskan irisan itu dengan perlahan, menikmati setiap gigitannya. Setelah selesai, ia menatap sisa kue di atas meja. Masih banyak sekali. Terlalu banyak untuknya seorang.
Tiba-tiba seperti sambaran petir di hari yang cerah, sebuah ide gila terlintas di benaknya.
Jantungnya mulai berdebar lebih kencang. Ini bodoh. Ini impulsif. Ini terasa benar.
Ia membungkus sepotong besar kue dengan kertas roti, mengikatnya dengan seutas tali rami yang ia temukan di laci. Tampilannya sederhana dan jujur, sama seperti kue di dalamnya.
Kemudian, dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka aplikasi pengiriman di ponselnya. Ia tidak butuh apa-apa, tetapi ia harus memesan sesuatu. Ia mencari-cari toko terdekat, menemukan sebuah minimarket, dan memasukkan sebotol air mineral ke dalam keranjangnya. Pesanan termurah yang bisa ia pikirkan.
Ia menekan tombol ‘Pesan’, napasnya tertahan. Menunggu sesuatu yang selama ini selalu ingin dihindarinya. Menunggu nama itu muncul.
Mencari pengemudi …
Layar ponselnya berkedip.
Pengemudi ditemukan! Reygan Pratama sedang dalam perjalanan.
Nokiami tersenyum manis. Tentu saja dia yang ia tunggu. Ia meletakkan ponselnya dan bungkusan kue di meja dekat pintu. Ia menunggu, debaran di dadanya kini bercampur antara gugup dan geli. Apa yang akan dikatakannya? Apa reaksi Reygan nanti? Apakah pria itu akan menuduhnya mencoba menyuap atau meracuninya?
Kemungkinannya tak terbatas.
Ting-tong.
Bel pintu berbunyi, nyaring dan tegas seperti biasa.
Nokiami menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia meraih bungkusan kue, berjalan ke pintu, dan membukanya dengan senyum canggung yang sudah ia siapkan.
“Hai. Ini, buat ka—”
Kalimatnya terpotong. Reygan berdiri di sana, memegang sebotol air mineral di satu tangan dan ponselnya di tangan yang lain. Tapi ia tidak menatap Nokiami. Matanya terpaku pada layar ponselnya, dan ekspresi di wajahnya adalah sesuatu yang belum pernah Nokiami lihat sebelumnya. Bukan jengkel, bukan sinis, bukan pula lelah.
Itu adalah amarah yang dingin dan terkendali. Rahangnya mengeras hingga buku-buku tulangnya terlihat jelas, dan matanya menyala dengan kilat yang berbahaya.
“Ada apa?” tanya Nokiami, senyumnya langsung luntur. Bungkusan kue di tangannya tiba-tiba terasa berat dan konyol.
Reygan tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ponselnya perlahan, menyodorkan layarnya ke depan wajah Nokiami.
“Ini,” desisnya, suaranya rendah dan penuh ancaman. “Jelaskan padaku apa-apaan ini!”