Setelah kesalahan yang dilakukan akibat jebakan orang lain, Humaira harus menanggung tahun-tahun penuh penderitaan. Hingga delapan tahun pun terlewati, dan ia kembali dipertemukan sosok pria yang dicintainya.
Pria itu, Farel Erganick. Menikahi sahabatnya sendiri karena berpikir itu adalah kesalahan diperbuat olehnya saat mabuk, namun bertemu wanita yang dicintainya membuat Farel tau kebenaran dibalik kesalahan satu malam delapan tahun lalu.
Indira, sang pelaku perkara mencoba berbagai cara untuk mendapat kembali miliknya. Dan rela melakukan apapun, termasuk berada di antara Farel dan Humaira.
Sebenarnya siapa penjahatnya?
Aku, Kamu, atau Dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Mengungkapkan
"Apa setelah ancaman waktu itu, om Alex mengunjungi kamu lagi lain hari?" tanya Farel sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
Humaira juga mengelap tangan dan mulutnya. "Enggak ada. Aku rasa papanya Indira baru beraksi kalau ada kesenjangan pada keadaan, dan aku yang menjaga batasan nggak mungkin papa Indira macam-macam. Awal-awal tahun aku memang merasa diawasi, tapi lama-lama papanya Indira kayak nggak mempermasalahkannya lagi. Aku sangat kaget papanya Indira muncul semalam."
"Ini berbahaya. Om Alex adalah mafia ekspor-impor obat-obatan terlarang di beberapa negara, punya pengaruh yang cukup kuat, dan berurusan dengannya akan memicu ke banyak hal. Karena itu, hari ini aku berencana bertemu Ed- maksudku Imam untuk membahasnya, kita akan pergi sebentar lagi," tutur Farel berekspresi cemas sampai kedua tangannya saling meremat di atas meja.
Humaira meraih kepalan tangan itu, dan tersenyum lembut. "Baiklah, kita temui Imam. Enggak papa, semua akan baik-baik saja."
Farel menaikkan telapak tangan menjadi dirinya yang menggenggam tangan Humaira. "Selain Om Alex, siapa lagi yang mengancammu? Apa Omaku datang, atau Indira?"
"Oma lebih dulu datang ketimbang om Alex di hari pernikahan kamu dnegan Indira. Beliau mengancam juga, tapi aku berhasil mengatasinya. Awal-awalnya Oma menyuruh orang mengirim ayam mati ke rumah almarhum Khalisah, tapi setelah aku melapor kepala desa, para warga menangkap orang dan membawanya ke kantor polisi, setelah itu nggak pernah ada lagi teror bangkai ayam. Cuma sebulan sebelumnya waktu kita bertemu kembali, aku kembali mendapat teror bangkai ayam dua kali. Kalau Indira, dia tak pernah mengganguku," jelas Humaira.
Kali ini dia benar-benar mengatakan hampir semuanya pada Farel.
Farel menghela napas. "Maaf ya, kamu harus ngalamin itu semua gara-gara aku." Matanya sudah memerah hendak menangis, tapi mendapati istrinya menahan tawa langsung saja air matanya masuk kembali.
Humaira tersenyum lebar. "Aku beneran nggak papa, ya nggak papa selama keluarga aku aman. Tapi aku tidak bisa menjamin nggak akan membenci orang-orang itu atau bahkan mungkin kamu juga, jika keluargaku terluka."
"Aku mengerti. Aku akan melindungi keluargaku," tutur Farel tersenyum meyakinkan.
"Bagaimana dengan Rifqa? Dia anak kamu sama Indira?" tanya Humaira dilanjutkan tersenyum saat teringat bocah penggemar dirinya.
"Bukan, aku nggak pernah berhubungan badan sama Indira di masa pernikahan kami. Malam itu Indira juga mengalami hubungan satu malam dengan orang yang membenciku secara paksa, dan dia mendatangiku dalam keadaan hamil," aku Farel.
"Begitu ya. Apa itu alasan Rifqa tak terurus, karena dia anak dari pria lain?"
"Iya, aku baru mengetahuinya baru-baru ini tentang Indira yang benci melihat Rifqa. Gara-gara itu para pelayan berani menelantarkan Rifqa, karena tahu kami tidak akan mengeceknya." Farel menunduk.
"Aku ayah yang buruk."
"Ya, kamu ayah yang buruk, aku tidak akan membantahnya. Aku beberapa kali menyumpah serapah dirimu karena itu," jawab Humaira tersenyum, dan Farel membalasnya dengan tawa kecil.
"Aku akan memperbaikinya, aku mau menjadi ayah menjadi ayah yang baik untuk Rifqa. Dan untuk ibu, kamu mau menjadi ibunya?" tanya Farel penuh harap. Walau sudah melihat reaksi Humaira kemarin tetap saja ia perlu bertanya.
"Boleh, lucu juga dipanggil Bunda oleh Rifqa kemarin. Tapi apa nggak masalah? Kenyataannya Rifqa bukan anak kandungmu, bukankah artinya kamu nggak berhak terhadapnya?"
"Ya, aku nggak berhak. Tapi Rifqa sudah bersamaku sadari janin itu ada, hanya aku yang dikenal sebagai sosok ayahnya. Jika tiba-tiba Exel mengakui dirinya sebagai ayah kandungnya pada Rifqa, aku yakin Rifqa bakal tetap memilihku."
Humaira dapat merasakan tangan yang menggenggamnya itu bergetar. "Baiklah. Untuk ukuran anak kecil, pikirannya terbuka. Aku yakin Rifqa bakal menyayangi siapapun yang menyayanginya."
"Kamu benar. Rifqa langsung dekat Abi-Ummi dan orang lain saat aku bawa ke sana, Rifqa berinteraksi dengan baik. Rifqa pasti lebih senang bersamaku."
Humaira bungkam. Tak tahu harus menyahut bagaimana perkataan Farel yang menuntut itu.
Farel bakal mencuci otak Rifqa dengan kebersamaan yang membahagiakan, membuat Rifqa tetap memilih bersamanya. Itu bagus, aku berharap tidak akan menjadi rumit ke depannya.
"Ngomong-ngomong, Humaira.... Apa Kamu hamil setelah kejadian malam itu?" tanya Farel, menyentak kesadaran Humaira yang berpaling.
"Alhamdulillah, enggak. Aku sangat takut anak kita mengalami kerugian gara-gara perbuatan orang tuanya," jawab Humaira penuh rasa syukur.
"Aku juga bersyukur kamu tidak hamil setelah mengetahuinya. Lalu aku juga bertanya pada Abi tentang Rifqa, dan beliau bilang jika Rifqa lahir dari setelah ikatan nikah Indira, dia mahram dengan ayahnya. Namun karena hubungan Indira dan Exel diluar nikah, berarti Exel bukan mahram bagi Rifqa. Aku berpikir bisa menggunakan itu jika Exel tiba-tiba datang dan meminta hak asuh Rifqa." Farel menjadi kesenangan, sementara Humaira tersenyum simpul.
Suara bel rumah yang menggema mengalihkan keduanya.
"Tolong kamu buka pintu ya? Aku bereskan ini dulu," ujar Humaira yang bangkit dan membawakan alat makan ke wastafel.
"Oke, tapi siapa yang datang ya? Seingatku nggak ada orang yang mau ke rumah hari pertama jadi pengantin," gerutu Farel sembari berdiri dan berjalan ke pintu utama.
Humaira tersenyum.
Bel terus ditekan tanpa jeda menunjukkan ketidaksabaran orang di luar.
Farel menarik napas dalam-dalam, bersiap memarahi orang yang mau menganggu momennya bersama Humaira. Begitu pintu ditarik Farel malah tercengang.
"السلام علیکم، Farel."
Di hadapan Farel berdirilah sosok perempuan berhijab dan baju gamisan yang sedang tersenyum ke arah Farel.
"I-Indira?" Mata Farel berkedip beberapa kali sampai menggosoknya juga untuk memastikan penglihatannya.
"Farel nggak jawab salam, bukannya jawab salam itu wajib?" tanya Indira sumringah.
وعلیکم السلام،" jawab Farel kaku.
Sementara itu, dari dapur Humaira menoleh ke pintu utama yang tidak terlalu terbuka. Memandangi suaminya yang sepertinya tidak beranjak dan membiarkan tamunya masuk. Buru-buru Humaira menyelesaikan cuci piringnya di wastafel agar bisa mengecek juga tamu yang datang.
"Apa maksudnya ini, Indira?" tanya Farel mulai meninjau situasi. Emosinya naik secara bertahan yang ditunjukkan dari kerutan keningnya.
"Aku masuk Islam dan ikatan pernikahan kita kembali tersambung, itu yang dikatakan pak ustadz," jelas Indira lalu tersenyum. Senang sekali melihat Farel tidak berkutik.
Ilmu Farel belum sampai ke sana, makanya ia kebingungan memberikan jawaban logis agar bisa mengusir Indira. Suaranya cuma meninggi mengatakan, "Memang apa hubungannya? Aku sudah mengajukan perceraian kita, otomatis kita bukan lagi suami-istri."
"Aku tidak menandatangani suratnya, jadi secara hukum negara kita masih suami-istri. Dan juga kamu masuk Islam baru sebulan, masa iddahku belum selesai. Jadi kalau aku masuk Islam kita kembali jadi sepasang suami-istri," tutur Indira bangga karena cukup baik dalam mengcopy kata-kata pak ustadz kemarin.
Farel bungkam, pembahasan ini belum dipahaminya. Namun jujur kemarahan mulai mendominasi dirinya.
Abi bilang aku nggak boleh menyalahkan ilmu orang lain, karena bisa saja orang lain itu benar. Tapi Indira.... Aku tidak percaya dia mengupayakan segala cara untuk tetap bersamaku.
...🌾🌾🌾🌾...