Hidup Syakila hancur ketika orangtua angkatnya memaksa dia untuk mengakui anak haram yang dilahirkan oleh kakak angkatnya sebagai anaknya. Syakila juga dipaksa mengakui bahwa dia hamil di luar nikah dengan seorang pria liar karena mabuk. Detik itu juga, Syakila menjadi sasaran bully-an semua penduduk kota. Pendidikan dan pekerjaan bahkan harus hilang karena dianggap mencoreng nama baik instansi pendidikan maupun restoran tempatnya bekerja. Saat semua orang memandang jijik pada Syakila, tiba-tiba, Dewa datang sebagai penyelamat. Dia bersikeras menikahi Syakila hanya demi membalas dendam pada Nania, kakak angkat Syakila yang merupakan mantan pacarnya. Sejak menikah, Syakila tak pernah diperlakukan dengan baik. Hingga suatu hari, Syakila akhirnya menyadari jika pernikahan mereka hanya pernikahan palsu. Syakila hanya alat bagi Dewa untuk membuat Nania kembali. Ketika cinta Dewa dan Nania bersatu lagi, Syakila memutuskan untuk pergi dengan cara yang tak pernah Dewa sangka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akting Nania
Saat Syakila sudah terbang meninggalkan negara itu, Dewa justru masih berada di vila dan menunggu kabar dari tim penyelamat yang belum juga mendapatkan petunjuk apa-apa.
Gelombang air laut yang tinggi membuat proses pencarian semakin bertambah sulit. Belum lagi, kondisi cuaca yang terus berubah-ubah bagai sebuah maut yang siap menelan siapa saja tanpa terkecuali.
"Bagaimana?" tanya Dewa saat ketua tim penyelamat kembali datang menemuinya.
Pria itu menggeleng prihatin. Dia menepuk bahu Dewa sambil berkata, "Tuan Dewa harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Sepertinya, Nona Syakila memang sudah meninggal."
"Jangan asal bicara!" hardik Dewa penuh emosi. "Syakila tidak mungkin meninggal."
Pria berusia 50 tahunan dengan seragam merah menyala tersebut tampak mendesah samar. Sikap keras kepala Dewa membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
"Terserah, jika Tuan Dewa tidak percaya," lirihnya seraya berlalu.
Sepeninggal pria itu, Dewa kembali terduduk di bangku kayu panjang yang terletak dibelakang vila. Barbekyu hasil panggangan Syakila masih ada diatas meja. Meski sudah tercampur air hujan, namun Dewa masih memakan beberapa yang menurutnya masih bisa dinikmati.
Mungkin saja, ini makanan terakhir hasil buatan tangan Syakila yang akan ia nikmati seumur hidupnya. Dan, membayangkan kemungkinan itu, sudah membuat jantung Dewa terasa nyeri sekali.
"Dewa... Apa yang kamu lakukan?" pekik Nania sambil merebut makanan di tangan Dewa.
"Ini sudah tidak layak dikonsumsi. Apa kamu mau sakit perut, hah?" lanjut Nania mengomel sambil membuang semua makanan itu ke tanah.
Dewa tertegun. Dia menatap makanan itu dengan nanar. Emosinya seketika bergejolak. Dia reflek berdiri kemudian menggebrak meja dengan keras.
"Siapa yang menyuruhmu membuang makanan itu, hah?" hardiknya penuh emosi.
"De-Dewa... A-aku..."
"Jangan coba-coba melewati batas, Nania! Kalau tidak, aku bisa saja menceraikan kamu," peringat Dewa penuh penekanan.
Seluruh sendi di tubuh Nania seolah dipaksa lepas. Kata-kata Dewa bagai sebuah pedang yang menusuk tepat di jantungnya.
Sekarang, saat Syakila menghilang, perasaan Dewa justru semakin terlihat jelas. Dan, semua itu membuat Nania merasa semakin cemas dan gelisah.
"Dewa, maafkan aku. Tolong jangan marah lagi! Aku melakukan ini demi kesehatan mu juga. Kalau kamu sakit, nanti kamu tidak bisa mencari Syakila. Iya, kan?"
Dewa perlahan melunak. Ucapan Nania ada benarnya juga. Jika dia sakit, maka dia tak akan bisa mencari Syakila yang saat ini masih belum bisa ditemukan.
"Aku lelah. Aku ingin masuk berisitirahat."
"Aku temani, ya," ucap Nania sambil menyentuh lengan Dewa.
Lelaki itu tak berucap apa-apa. Dan, diamnya Dewa akan dianggap sebagai tanda setuju oleh Nania.
"Sebaiknya, kamu benar-benar mati, Syakila. Awas saja kalau kamu masih berani hidup," gumam Nania seraya tersenyum sinis.
****
"Dewa, bagaimana kalau kita pulang sekarang? Ini sudah tiga hari. Lebih baik, kita tunggu perkembangan pencarian di rumah saja," kata Nania yang berusaha membujuk Dewa untuk pulang.
"Tidak. Aku akan tetap di sini. Kalau kamu mau pulang duluan, silakan!" timpal Dewa yang hanya bisa menatap kosong ke arah laut lepas.
Harapan itu perlahan mulai padam. Keyakinan bahwa Syakila pasti bisa bertahan perlahan pupus bagai diterjang kerasnya ombak.
"Aku tidak akan pulang jika kamu juga tidak pulang. Kita suami istri. Sudah seharusnya kita selalu bersama dalam suka dan duka."
Kata-kata Nania mungkin terdengar manis. Namun, hanya Nania sendiri yang tahu jika kata-kata itu sangatlah palsu. Semuanya sekadar omong kosong tak berarti.
"Terimakasih," ucap Dewa sambil menggenggam erat tangan Nania.
Nania tersenyum. Namun, dalam hati dia mengumpat kesal.
"Sial. Aku harus cari cara agar bisa pulang ke rumah secepatnya," gumam Nania dalam hati.
Hari berikutnya, Nania membuat sandiwara yang sangat luar biasa. Dia berpura-pura hendak masuk ke dalam laut untuk mencari Syakila.
Beruntung, Dewa datang tepat waktu dan menemukannya yang mulai menenggelamkan diri di pantai. Kalau tidak, mungkin Nania akan berada dalam masalah besar karena dia pun sama seperti Syakila, tidak bisa berenang.
"Nania, apa yang kamu lakukan, hah? Apa kamu mau mati?" tanya Dewa penuh emosi.
Nania batuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Dia menatap Dewa dengan tatapan sendu.
"Dewa, semalam aku mimpi buruk. Syakila mendatangiku. Dia menyalahkan aku atas semuanya. Dia bilang, semuanya gara-gara aku yang terlalu serakah. Aku yang menginginkan seluruh miliknya. Dia..."
Nania mulai menangis tersedu-sedu. "Dia memaksaku untuk menemukannya. Kalau tidak, dia akan menghantui aku seumur hidup."
Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangisnya semakin dramatis. "Dewa, aku harus bagaimana? Aku benar-benar takut. Aku takut Syakila tidak akan pernah memaafkan aku."
Dewa menghela napas berat. Sepertinya, Nania mengalami trauma karena melihat Syakila yang bunuh diri tepat dihadapannya.
Dan, jika terus dibiarkan seperti ini, maka kemungkinan besar Nania akan kembali melakukan hal nekat seperti ini tanpa sepengetahuan dirinya.
"Bagaimana kalau kita pulang ke kota saja?" tanya Dewa kemudian.
"Jangan," tolak Nania. "Bukankah, kamu ingin tetap di sini sampai Syakila benar-benar ditemukan?"
"Tidak apa-apa," timpal Dewa. "Kita pulang saja. Kita tunggu kabar Syakila di rumah saja."
Nania mengangguk perlahan. Dia memeluk leher Dewa yang kini sedang menggendongnya menuju ke mobil.
Dengan berat hati, Dewa terpaksa harus meninggalkan tempat itu. Nania adalah perempuan yang paling Dewa cintai.
Dewa tidak mungkin membiarkan Nania sampai kenapa-kenapa hanya demi keegoisan dirinya.
Hingga tepat tujuh hari menghilangnya Syakila, ketua tim penyelamat akhirnya memberi kabar kepada Dewa yang hari itu sedang mengadakan rapat internal di perusahaannya.
"Tuan Dewa, jasad Nona Syakila sudah berhasil ditemukan."
Ponsel Dewa jatuh tanpa sadar saat ia mendengar kabar itu. Tubuhnya sedikit limbung. Beruntung, dia masih sempat berpegangan pada pinggiran meja.
"Jun, apa aku salah dengar?" tanyanya sambil memegang erat pundak sang asisten. "Syakila... tidak mungkin benar-benar meninggal, kan?"
Jun terdiam. Tak berselang lama, dia membaca sebuah pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Dia pun mendongak menatap sang atasan. Ekspresinya terlihat sedih.
"Tuan... Saya turut berdukacita."
Ruang rapat langsung heboh. Seluruh orang yang hadir dalam ruangan itu tahu bahwa istri Dewa adalah Syakila. Tak ada yang benar-benar tahu bahwa Dewa hanya memanfaatkan bahkan menipu Syakila.
Perempuan itu bukanlah pasangan asli Dewa. Perempuan itu hanya alat yang digunakan Dewa untuk mendapatkan wanita yang katanya adalah cinta sejati dalam hidupnya. Nania.
"Nyonya Syakila meninggal? Bagaimana bisa?" bisik seseorang kepada rekan disebelahnya.
"Aku juga tidak tahu. Tapi, sepertinya kabar itu memang benar. Lihat saja ekspresi Tuan Dewa yang tampak seperti orang yang benar-benar kehilangan."
lah
semoga syakila bahagia dan bisa membalas dendam terhadap keluarga dito yang sangat jahat
menanti kehidupan baru syakila yg bahagia...