Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Devan menoleh begitu cepat sampai ia tersedak napas sendiri, terbatuk keras karena kaget. Ia menatap Jovita dengan alis berkerut rapat, seolah memastikan apakah ia salah dengar. Tapi Jovita berdiri dengan ekspresi tenang, seakan yang ia ajukan barusan hanyalah ajakan main kartu, bukan… pernikahan.
“Kamu sadar dengan ucapanmu barusan?” tanya Devan, suaranya serak oleh keterkejutan.
Jovita mengangguk ringan, tanpa drama. “Hm, aku sadar,” jawabnya santai, seolah itu hal paling wajar di dunia.
“Jovita…” Devan hanya mampu menyebut namanya. Sisanya hilang, menguap.
“Kenapa?” Jovita menatap balik. “Anggap aja ini bayaranku karena kamu udah bantu aku. Sekarang gantian aku yang bantu kamu.”
Devan memejamkan mata, menarik napas panjang seakan butuh waktu untuk menata ulang logikanya. Ia memang menyukai perempuan itu sejak lama. Tapi pernikahan? Mendadak begini? Itu hal lain.
“Ayo aku antar pulang.”
Nada suaranya terdengar lelah, bukan marah, hanya… kewalahan. Ia berbalik masuk ke dalam, meninggalkan Jovita di balkon yang hanya bisa mengangkat bahu seakan berkata, ya sudah, terserah.
Perjalanan pulang berlangsung sunyi. Begitu mobil berhenti di depan rumah Jovita, wanita itu menoleh ke arahnya.
“Aku sungguhan,” katanya datar tapi jelas. “Pikirkan. Sebelum aku berubah pikiran.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan turun. Langkahnya mantap, tidak ragu sedetik pun.
Devan hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkahnya. “Itu beneran Jovita…? Atau jangan-jangan dia punya dua kepribadian?” gumamnya frustasi.
Ia hendak menjalankan mobil ketika matanya menangkap pantulan sesuatu di spion tengah. Mobil hitam yang sama. Mengikuti lagi. Napas Devan terhembus lebih berat.
***
Devan baru saja memejamkan mata ketika alarm ponselnya berbunyi nyaring. Ia membuka mata perlahan, wajahnya kusut, dan lingkaran hitam di bawah matanya makin jelas. Semalaman, kendati matanya tertutup, ia tidak bisa benar-benar tidur.
Ponsel itu tiba-tiba bergetar lagi. Dengan malas ia meraihnya. Sebuah pesan masuk dari Jovita. Hanya berisi lokasi dan satu kalimat singkat:
—ke sini sebelum berangkat kerja—
Devan mengernyit. Antara bingung, penasaran, dan sedikit takut dengan kejutan apa lagi yang akan datang darinya. Namun pada akhirnya, ia duduk, mengumpulkan tenaga, lalu bersiap memulai hari.
Mobil Devan melambat ketika ia tiba di alamat itu. Sebuah toko roti kecil, milik Airin. Seharusnya toko itu belum buka. Benar saja, papan yang tergantung di pintu masih menunjukkan tulisan.
TUTUP.
Tapi Jovita menyuruhnya ke sini. Jadi ia membuka pintu kaca itu perlahan. Ruangan gelap, tapi wangi roti hangat sudah memenuhi udara.
Dari belakang, terdengar langkah tergesa. Jovita menongolkan kepala dari dapur, wajahnya sedikit kaget melihat Devan benar-benar datang.
“Kamu beneran ke sini?” tanyanya sambil keluar. Apron masih menempel di tubuhnya, dan ada sedikit adonan di ujung jarinya.
“Kamu yang nyuruh,” balas Devan datar. Pandangannya menyapu toko itu, lalu berhenti pada Jovita. “Kamu kerja di sini?”
“Hm. Ini toko kakakku.”
Devan menyipitkan mata, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Kamu bisa bikin roti?”
Jovita mendecak, jelas tersinggung. “Meski ini punya kakakku, gak mungkin dia pekerjakan aku kalau aku gak bisa bikin roti.”
Devan mengangguk seolah percaya… tapi ekspresi mukanya jelas masih meragukan.
“Terus ngapain nyuruh aku ke sini?” tanyanya akhirnya.
Jovita hanya tersenyum samar, tidak menjelaskan apa pun. Ia berbalik menuju dapur. Devan menatapnya heran, tapi tetap menunggu.
Beberapa saat kemudian, Jovita kembali sambil membawa sebuah paper bag cokelat dengan logo toko roti itu. Ia menyerahkannya pada Devan.
“Untukmu,” ucapnya pendek.
Devan memeriksa isinya. Banyak sekali roti yang masih hangat, aromanya menggoda.
“Semuanya?” tanyanya tak percaya.
Jovita mengangguk. “Oh iya, tunggu bentar.”
Ia berbalik lagi, menuju meja kasir. Mengambil beberapa lembar brosur dari laci, lalu menyerahkannya pada Devan.
Devan melihat brosur itu, kemudian menghela napas sambil terkekeh pelan. “Jadi kamu nyuruh aku ke sini buat… promosiin ini?”
Jovita tersenyum puas sambil mengangguk. “Itu gak gratis.”
Devan menatap paper bag penuh roti, menatap brosur, lalu menatap Jovita. Ia hanya bisa menghela napas panjang.
Mau tak mau, akhirnya Devan menerima roti juga tumpukan brosur itu. Jovita ikut keluar untuk mengantar Devan. Tepat saat mereka tiba di depan pintu, seseorang mendekat.
Seorang pria.
“Jovita,” panggilnya dengan senyum lebar.
Jovita langsung menegakkan tubuh, senyumnya muncul refleks. Ia adalah Rama, teman SMA mereka, teman yang dulunya selalu mengikuti Jovita ke mana pun, sampai akhirnya mengungkapkan perasaannya dan ditolak halus.
Rama datang untuk mengambil pesanan. Selain menjual langsung, toko itu memang melayani pesanan.
“Kamu mau ambil pesananmu, kan?” tebak Jovita. Rama mengangguk. Jovita pun kembali masuk untuk mengambilnya.
Tinggal Devan dan Rama berdiri bersebelahan.
Devan menatapnya dari ujung mata, sorotnya terang-terangan tidak senang. Rama merasakan tatapan itu menusuk, ia menoleh bingung.
“Kenapa liatin aku gitu?” tanyanya, kening terangkat.
Devan tidak menjawab, hanya mengeraskan rahangnya.
Beberapa detik kemudian, Jovita kembali dengan dua paper bag besar. Ia menyerahkannya pada Rama.
“Aku bakal mampir lagi ke sini,” kata Rama sambil tersenyum.
Ucapan itu langsung membuat kepala Devan menoleh cepat. Alisnya terangkat, tak suka mendengarnya. Ia dulu tahu betul,Rama menyukai Jovita. Dan melihat bagaimana Rama kembali dekat… apalagi Devan tidak pernah mendengar Rama sudah menikah… membuat dadanya terasa panas.
“Hm. Datanglah. Pintu ini akan selalu terbuka lebar,” jawab Jovita senang, tanpa beban sama sekali.
Mata Devan menatap Jovita seperti tidak percaya apa yang ia dengar. Seramah itu?
Ia bahkan tidak tahu kenapa wajah Jovita yang tersenyum ke Rama bisa mengganggunya sedalam itu.
“Kalau gitu, aku pergi dulu,” pamit Rama. Jovita melambai padanya, sementara Devan di sebelahnya terlihat makin gerah.
Begitu Rama menjauh, barulah Jovita menatap Devan. “Kenapa melihatku begitu?” tanyanya bingung.
“Sejak kapan kamu dekat dengan dia?” tanya Devan, suaranya datar namun jelas mengandung sesuatu, keberatan, atau cemburu yang tidak mau ia akui.
Jovita mengerjap, tak mengerti. “Kita emang berhubungan baik selama ini.”
Devan terkekeh pelan, tapi tawanya terdengar pahit. Ia tidak menyangka jawaban itu bisa menusuk sedalam itu.
“Ada apa sih?” tanya Jovita, makin bingung melihat perubahan ekspresinya.
Namun Devan hanya mengalihkan pandangan, menahan emosi yang tiba-tiba datang dan membuatnya sendiri tidak paham.
“Aku pergi,” katanya akhirnya.
Tanpa menatap Jovita lagi, ia membuka pintu mobil dan membantingnya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Suara bantingan itu membuat Jovita tersentak kecil, tak sempat berkata apa pun.
***
Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu. Devan sibuk dengan pekerjaannya, tapi ternyata ia tidak benar-benar melupakan semuanya. Bayangan tentang Jovita dan ajakan menikah itu masih muncul sesekali.
Siang itu, setelah persidangan, Devan berhenti di lampu merah. Ia menarik napas pelan, namun pandangannya langsung tertarik pada dua orang yang keluar dari toko bahan kue di seberang jalan.
Jovita dan Rama.
Devan menegang. Tangannya otomatis mencengkeram setir lebih kuat.
“Mereka ketemu lagi?” gumamnya lirih.
Rangga yang duduk di sebelahnya mengikuti arah tatapan Devan. Ia langsung mengenali sosok Jovita, lalu menoleh ragu pada Devan.
“Pak… lampunya sudah hijau,” katanya pelan. Klakson dari belakang mulai terdengar.
Devan menghela napas panjang, lalu menginjak pedal gas. Tapi tekanannya terlalu kuat, mobil melesat agak cepat membuat Rangga kaget.
Wajah Devan tampak datar. Tapi jelas ada sesuatu yang sedang mengganggunya.
Begitu tiba di kantor, Devan masih belum bisa melepaskan rasa kesalnya. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan mulai membuat laporan, namun beberapa menit saja sudah cukup untuk membuatnya menyerah. Fokusnya berantakan.
Dengan helaan napas pendek, ia bangkit dari kursinya dan keluar ruangan. Devan menyalakan rokoknya, menghembuskan asap tipis sambil menatap kosong ke kejauhan.
Langkah seseorang mendekat. Seorang rekan kerja sekaligus mantan mentornya ikut menyalakan rokok dan berdiri di sebelahnya.
“Banyak pikiran?” tanyanya santai. Ia tahu betul, Devan jarang sekali meninggalkan meja kerjanya hanya untuk merokok.
“Enggak,” jawab Devan singkat, datar, jelas tak ingin menjelaskan.
Rekannya tertawa kecil, menghembuskan asap putih. “Wajahmu bilang sebaliknya,” ujarnya dengan nada menggoda. Mereka merokok tanpa bicara.
“Apa pun itu, jangan sampai ganggu pekerjaanmu.”
Ia berbalik hendak pergi, namun Devan buru-buru memanggilnya.
“Apa yang harus kulakukan? Kalau sesuatu… terjadi lagi?” ucapnya ragu, bahkan terdengar asing di telinganya sendiri.
Langkah rekannya terhenti. Ia menatap Devan dengan bingung, heran, karena dalam enam tahun mereka bekerja bersama, Devan tidak pernah meminta nasihat pribadi.
“Itu hal bagus atau buruk?” tanyanya hati-hati.
Devan menunduk sedikit, berpikir. “Entah. Tapi bikin gak nyaman.”
Rekannya mengangguk pelan. “Kalau gitu, selesaikan dengan baik. Jangan ulangi,” katanya singkat sebelum pergi.
Devan terdiam lama, menatap punggung rekannya yang semakin menjauh. Tatapannya lalu turun ke rokoknya yang sudah setengah, abu rapuh yang jatuh ke lantai sebelum ia sempat menyadarinya. Ia mematikan rokok itu dengan cepat, membuang puntungnya ke tempat sampah.
Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat kembali ke ruangannya. Sambil melangkah, ia mengetik sesuatu di ponselnya.
—ada waktu nanti malam, kan? Kita ketemu—
Pesan itu terkirim ke Jovita. Devan tidak menunggu balasan. Ia kembali ke meja kerjanya, menyibukkan diri dengan tumpukan tugas. Gerakannya cepat, rapi, fokus atau lebih tepatnya, seperti seseorang yang ingin secepat mungkin menyelesaikan semuanya agar bisa segera pergi.
***
Jovita duduk di kursi kafe. Tak lama kemudian, seorang waiter datang membawa affogato miliknya. Setelah pelayan itu berlalu, Jovita langsung menuangkan espresso panas ke atas es krim. Ia menyendoknya perlahan, menikmati perpaduan rasa yang menenangkan.
Sesekali, ia mengintip jam di layar ponselnya. Bibirnya mengerucut kecil. “Di mana dia? Katanya mau ketemu?” gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, pintu kaca kafe terbuka. Devan muncul. Ia sempat berhenti di ambang pintu ketika melihat Jovita. Ada sesuatu di dadanya yang menegang, membuat langkahnya tertahan sesaat. Setelah menarik napas, ia berjalan mendekat, langkahnya pelan namun pasti.
“Kenapa terlambat? Aku udah nunggu dari tadi,” keluh Jovita ketika ia tiba.
“Maaf, jalanan macet,” jawab Devan. Pandangannya turun ke affogato di depannya. “Katanya berhenti minum kopi?”
Jovita mengangkat bahu kecil. “Aku pikir juga gitu. Tapi aku suka. Untuk apa berhenti?”
Jawaban itu sederhana, tapi entah kenapa membuat Devan terdiam. Matanya menatap meja sejenak, seperti ada sesuatu yang berputar di dalam pikirannya. Ia menghela napas perlahan, seakan mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa.
“Jo,” panggilnya pelan namun serius.
Jovita menghentikan sendoknya, menatap Devan penuh tanda tanya.
“Ayo kita menikah,” ucap Devan akhirnya, tenang, jelas, dan benar-benar sungguh-sungguh.
To be continued