Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 Kabar tak terduga
Pagi itu, suasana rumah keluarga Hamuangka terasa tegang.
Hujan semalam masih menyisakan udara dingin, namun di ruang makan justru panas oleh amarah yang ditahan.
Riko turun dari lantai dua dengan langkah tergesa, pakaiannya belum rapi, wajahnya kusut karena kurang tidur. Ia langsung mengambil kunci mobil di meja tanpa berniat sarapan.
Nyonya Merti yang sedang menyeruput teh, mendongak dengan tatapan tajam.
“Riko, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanyanya dengan nada yang sudah jelas penuh kecurigaan.
“Bukan ke kantor, Ma. Aku mau cari Adinda lagi,” jawab Riko singkat sambil menatap ke arah pintu.
Baru selesai kalimat itu meluncur, gelas teh di tangan Nyonya Merti terhenti di udara. Tubuhnya menegang, wajahnya berubah kesal.
“Riko!” bentaknya tiba-tiba. “Setiap hari terus begitu! Apa tidak ada kerjaan lain selain mengejar perempuan itu?”
Riko meremas kunci di tangannya, mencoba menahan diri. “Ma, aku harus cari dia. Aku harus ketemu dan sel—”
“Selesaikan apa?” potong Nyonya Merti tajam.
“Perempuan itu sudah tidak pantas kamu cari! Dia sudah kamu ceraikan, bikin malu keluarga ini! Dan kamu masih saja… masih saja membela dia!”
Riko mengembuskan napas berat, menahan naiknya emosi.
“Ma, jangan menyalahkan Dinda begitu. Semua yang terjadi itu—”
“Sudah! Mama tidak mau dengar!”
Nyonya Merti berdiri, menunjuk ke arah Riko. “Mama tidak suka Adinda! Mama tidak pernah suka! Dari awal dia masuk rumah ini saja, Mama sudah merasa ada yang aneh pada anak itu!”
“Cukup, Ma,” ujar Riko, suaranya rendah namun tegas.
Namun Nyonya Merti tidak berhenti.
“Kamu itu dibutakan perasaan! Sekarang lihat? Dia pergi, hilang, tidak jelas, dan kamu dibuat seperti orang linglung setiap hari!”
Riko terdiam, rahangnya mengeras.
“Pokoknya, Mama larang kamu mencari dia lagi!” tegasnya, tangan terlipat di dada.
Riko mendongak, menatap ibunya lurus-lurus untuk pertama kalinya sejak pagi itu.
“Maaf, Ma… tapi kali ini aku tidak bisa nurut.”
Nyonya Merti membelalak. “Riko!”
“Kalau Mama mau marah, marah saja. Tapi aku tetap akan cari Dinda. Dia bukan perempuan buruk seperti yang Mama pikir.” Riko melangkah mundur, bersiap pergi. “Dan sampai aku menemukan dia, aku gak akan berhenti.”
Tanpa menunggu jawaban, Riko membalikkan tubuh dan pergi.
Nyonya Merti berdiri di tempat, kedua tangannya mengepal keras.
Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena ketakutan kehilangan kendali atas putra yang paling ia andalkan.
“Anak itu…” gumamnya gemetar, “sungguh membuatku naik darah.”
Sementara di luar, suara mesin mobil menyala.
Riko pergi…
membawa keresahan ibunya, dan membawa keyakinan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya.
----------
Sedangkan di rumah sederhana itu, suasana sarapan terasa hangat. Meja kecil yang biasanya sepi kini terisi penuh oleh empat orang, yakni Vikto yang duduk bersebelahan dengan Dinda, Mbak Tia yang sibuk menambahkan menambahkan porsi, Ziro yang makan dengan lahap sambil sesekali mencuri pandang, memandangi pasangan baru itu dengan ekspresi geli sendiri.
Adinda mencuri-curi pandang pada suaminya. Tiap kali mata mereka bertemu, pipinya memerah dan ia menunduk cepat-cepat. Vikto hanya tersenyum kecil, seolah menikmati setiap reaksi malu istrinya.
“Masakan Mbak Tia memang juara,” puji Ziro sambil mengacungkan jempol.
“Bisa aja, kamu,” balas Mbak Tia sambil melirik.
Semuanya berjalan tenang dan ceria… hingga tiba-tiba ponsel Vikto bergetar keras di atas meja.
DRRT! DRRT!
Mendengar nada khusus dari rumah kediaman Kesuma, raut wajah Vikto langsung berubah. Ia menatap layar, lalu bergegas menerima panggilan.
“Halo? Ada apa—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, suara dari seberang membuat tubuhnya sontak menegang.
“Apa?! Papa di rumah sakit?!”
Seruan itu membuat seluruh ruangan terdiam. Dinda reflek menutup mulutnya, jantungnya berdebar cepat. Sementara Ziro langsung menegakkan tubuhnya, siap kapan saja mengikuti perintah.
Vikto tak sempat berkata banyak. Ia langsung memutus panggilan, meraih jaket yang tersangkut di kursi, lalu bangkit dengan wajah pucat dan tegang.
“Ziro, ambil mobil. Sekarang,” perintahnya cepat.
“Siap, Bos!” Ziro langsung berlari keluar.
Adinda berdiri di tempatnya, tubuhnya sedikit gemetar. Rasa takut dan gelisah menyergap begitu saja. Ia menggigit bibir, menahan cemas yang menumpuk di dadanya.
“Kak… Papanya Kak Vikto kenapa?” tanyanya pelan.
Vikto menghela napas panjang, namun nadanya tergesa dan berat.
“Aku belum tahu. Tapi mereka bilang kondisinya tidak stabil.”
Adinda mencengkeram jemarinya sendiri, bersalah.
“Jangan-jangan… Papa jatuh sakit karena tahu kita sudah menikah?”
Vikto menatapnya, sedikit mengerutkan kening namun suaranya tetap lembut.
“Dinda, jangan menyalahkan diri sendiri. Papa memang tidak setuju, tapi itu bukan salahmu.”
Meski begitu, kecemasan di mata Adinda tidak mereda. Di kepalanya, bayangan Nyonya Wirna dan Tuan Abdi saat marah seakan kembali menghantui. Ia tahu betapa tidak sukanya mereka pada dirinya. Dan jika benar mereka mengetahui ia sudah menjadi istri Vikto, ia takut badai besar menanti di depan.
“Aku ikut,” ucap Adinda lirih.
Namun Vikto menggeleng pelan.
“Kamu dan Mbak Tia tunggu di rumah dulu. Aku tidak mau kamu menghadapi amarah mereka dalam keadaan begini.”
“Tapi Kak—”
“Aku janji akan kabari begitu sampai di sana,” potong Vikto lembut, meski matanya jelas memendam kegelisahan yang sama.
Mobil Ziro sudah menunggu di depan rumah. Vikto menatap istrinya sekali lagi, lalu menyentuh pipi Dinda dengan lembut.
“Doakan Papa baik-baik saja.”
Dinda mengangguk, meski hatinya terasa diremas.
Vikto pun pergi dengan langkah tergesa, sementara Dinda berdiri di teras, menatap kepergian suaminya. Angin pagi yang tadinya hangat terasa berubah dingin, membuatnya memeluk diri sendiri erat-erat.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..