Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA YANG TAK TERBALASKAN
Seo Ryeon dan Jae Hyun mulai membereskan sisa makanan. Tawa kecil mereka mengisi ruangan, menjaga suasana tetap ringan.
Tiba-tiba, pintu geser terbuka pelan. Terlihat seorang dokter muda bersama dua perawat masuk.
"Selamat pagi. Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir. Mohon maaf, untuk keluarga pasien bisa menunggu di luar sebentar?" pinta perawat dengan sopan.
Seo Ryeon dan Jae Hyun saling pandang sejenak, lalu serempak mengangguk dan berjalan keluar, menutup pintu geser perlahan.
"Selamat pagi, Tuan Han. Bagaimana perasaan Anda?" tanya dokter, senyumnya ramah. Ia segera mulai memeriksa Seo Han menggunakan stetoskop dan mengecek denyut nadi. Sementara itu, seorang perawat mencatat suhu badan dan tekanan darah.
Seo Han menatap dokter penuh harap. "Bagaimana, Dokter? Apa saya sudah boleh pulang?"
Dokter melepas stetoskopnya, memasukkannya ke saku jubah. "Karena demammu sudah hilang dan kamu pulih dengan cepat, kamu sudah boleh pulang hari ini." Dokter tersenyum. "Tapi ingat, harus banyak-banyak istirahat total di rumah, ya."
Suster dengan cepat melepaskan infusnya. Rasa jarum yang dicabut dari pergelangan tangannya terasa seperti kebebasan nyata.
"Perawat akan mengurus kepulanganmu. Kalau begitu saya permisi dulu." Dokter keluar, diikuti oleh dua perawat yang memberinya anggukan hormat.
Seo Ryeon dan Jae Hyun, yang langsung berdiri cemas di depan pintu, segera mendekat.
"Bagaimana, Dokter, kondisi Seo Han?" tanya Jae Hyun cepat, suaranya sarat kecemasan.
"Syukurlah, dia sembuh dengan cepat dan boleh pulang hari ini," jawab Dokter.
Seo Ryeon dan Jae Hyun spontan saling pandang, senyum lega langsung merekah di wajah mereka. Dokter berjalan meninggalkan mereka yang masih memproses kabar gembira tersebut.
"Untuk keluarga pasien, ada yang bisa ikut saya ke meja administrasi untuk mengisi surat kepulangan?" tanya salah satu perawat, berbalik badan.
"Saya saja, Sus," jawab Jae Hyun cepat. Ia melirik Seo Ryeon. "Kamu masuk saja temani Seo Han, urusan kertas-kertas biar aku yang bereskan."
Seo Ryeon mengangguk setuju, tahu Jae Hyun lebih cepat dan terorganisir. "Oke. Terima kasih, Hyun."
Jae Hyun mengekor perawat menuju meja administrasi. Sementara itu, Seo Ryeon menarik napas, berbalik, dan mendorong pintu geser hingga terbuka.
⚡ Sentuhan Listrik
Langkah Seo Ryeon terhenti, kakinya membeku di ambang pintu.
Seo Han sedang berusaha mengganti baju rumah sakit dengan kaus miliknya, dan saat ini, tubuh bagian atasnya terbuka sepenuhnya. Mata Seo Ryeon tak sengaja menangkap pemandangan itu: bahu yang lebar dan kokoh, lengan yang sedikit kekar, dan garis abs tipis tampak jelas di perutnya.
Wajahnya langsung panas, rasanya seperti terbakar. Seo Ryeon reflek berteriak kecil, "Aaa, Seo Han!" Ia buru-buru membalikkan badan, menutup pintu geser kembali dengan cepat. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuk seperti drum yang dimainkan terburu-buru.
Seo Han, yang sama terkejutnya, langsung menarik kausnya dan segera memakainya.
"Sudah! Kamu bisa masuk!" katanya cepat, suaranya sedikit teriak karena kaget.
Seo Ryeon perlahan membuka pintu lagi. Ia berdiri mematung. Pandangannya terpaku pada lantai, tidak berani mengangkat kepala. "Ehh, aku minta maaf banget! Aku harusnya ketuk pintu dulu," jawabnya canggung, pipinya langsung terasa panas membakar.
"Kamu bikin aku jantungan," ujar Seo Han, berusaha menenangkan napasnya. Senyum usil kini sudah menggantikan keterkejutannya.
"Ya maaf! Lagian kamu kenapa coba buka baju segala di sini! Tidak bilang-bilang!" Seo Ryeon memalingkan muka, pura-pura menyalahkan.
"Ya kan mau pulang?" tanya Seo Han, senyum usilnya melebar. Ia melangkah mendekat. "Bentar, pipimu kenapa merah?"
Seo Han dengan iseng memajukan tangan, menyentuh pipi Seo Ryeon yang memanas. Sentuhan mendadak itu membuat Seo Ryeon tersentak, seperti tersengat listrik.
Seo Ryeon langsung gelagapan, berusaha menepis tangan Seo Han sambil menutupi pipinya dengan telapak tangan. "Ahh, tidak-tidak! Mana ada! Itu... itu karena aku buru-buru tadi dari luar," dalihnya, kata-katanya hampir tidak jelas.
Seo Han tertawa kecil, membiarkan kebohongan Seo Ryeon. Ia tahu Seo Ryeon malu, dan momen canggung yang manis ini, anehnya, justru membuat hatinya terasa lebih ringan. Di tengah semua masalah, kehangatan dan kebodohan kecil ini adalah pengalih perhatian yang ia butuhkan.
"Aku cuma mau ambil ini," kata Seo Ryeon, suaranya tercekat. Ia berjalan kaku mengambil tas bekas makanan mereka, bertekad untuk melarikan diri dari ruangan yang terasa semakin sempit itu. "Aku tunggu di mobil."