HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kabar yang Mengubah Segalanya
Dua hari kemudian. Pagi hari.
Dewanga memberikan uang belanja pada Tini—lima puluh ribu untuk beli sayur dan lauk.
Tapi ia salah hitung—seharusnya enam puluh ribu, ia hanya kasih lima puluh ribu.
Tini menghitung uang itu. Wajahnya langsung berubah.
"LO NGASIH KURANG!"
Dewanga terkejut. "Hah? Berapa, Tini?"
"INI CUMA LIMA PULUH! HARUSNYA ENAM PULUH! LO PIKIR GUA GAK BISA ITUNG?!"
"Maaf, Tini! Aku salah hitung—"
Tini melempar uang itu ke wajah Dewanga—lembaran-lembaran uang berserakan di lantai.
"NGITUNG AJA GAK BISA! DASAR BODOH!"
Lalu ia mengambil gelas plastik di meja, melemparnya ke dinding.
PRANG!
Gelas itu pecah—serpihan plastik berserakan.
Dewanga terdiam—tidak berani bergerak.
Tini berdiri, berjalan ke kamar, lalu—
BRAK!
Pintu ditutup keras—sangat keras sampai dinding bergetar.
Lalu terdengar suara langkah kaki di dalam—berjalan bolak-balik dengan hentak keras, sangat keras, seolah ingin menghancurkan lantai.
THUD! THUD! THUD!
Dewanga berdiri sendirian di ruang tamu—menatap uang yang berserakan, menatap serpihan gelas, menatap pintu yang baru saja dibanting.
Dari kamar Bimo, tidak ada suara—tapi Dewanga tahu adik iparnya pasti terbangun, pasti mendengar, tapi memilih diam.
Eka keluar dari kamarnya—menatap ayahnya dengan wajah takut. "Ayah... Mama kenapa?"
Dewanga tersenyum lemah—berusaha terlihat baik-baik saja. "Gak papa, sayang. Mama lagi capek. Ayah yang salah. Ayo, Ayah anterin Eka sarapan."
Eka mengangguk pelan. Ia memeluk Dewanga sebentar—pelukan kecil yang hangat, satu-satunya kehangatan di rumah itu.
Dan Dewanga menangis dalam diam—air matanya jatuh tanpa suara, sementara tangannya mengusap kepala Eka dengan lembut.
"Ayah sayang Eka..." bisiknya parau.
"Eka juga sayang Ayah..."
Dan siang itu, setelah Tini keluar kamar dengan wajah
sudah tenang—seolah tidak terjadi apa-apa—mereka kembali seperti biasa.
Tidak ada yang membahas kejadian tadi.
Tidak ada yang minta maaf secara tulus.
Hanya siklus yang berulang—bertengkar, diam, berdamai, lalu bertengkar lagi.
Itulah rumah tangga Dewanga.
Dua minggu setelah kejadian itu, Tini mulai sering mual.
Setiap pagi, ia berlari ke kamar mandi—muntah-muntah, wajahnya pucat, tubuhnya lemas.
Dewanga khawatir. "Tini, lo sakit? Mau aku anterin ke puskesmas?"
"Gak usah. Biasa aja. Mungkin masuk angin."
Tapi kondisi Tini tidak membaik. Bahkan semakin parah—ia tidak nafsu makan, sering pusing, sering lelah.
Bapak Tini yang akhirnya membujuk. "Tin, periksa aja ke bidan. Bapak khawatir."
Tini akhirnya setuju—dengan wajah kesal.
Sore itu, Dewanga mengantar Tini ke Bidan Lia—bidan kampung yang sudah puluhan tahun praktik.
Mereka duduk di ruang tunggu sederhana—bangku kayu tua, dinding cat kusam, poster imunisasi yang sudah menguning.
"Tini, masuk." Bidan Lia memanggil dari dalam.
Tini masuk sendirian. Dewanga menunggu di luar dengan jantung berdebar—entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Lima belas menit kemudian, pintu terbuka.
Tini keluar dengan wajah datar—tidak ada ekspresi.
Dewanga langsung berdiri. "Tini? Gimana? Sakit apa?"
Tini menatapnya lama. Lalu ia berbisik pelan—suaranya datar, tanpa kegembiraan.
"Aku hamil."
Hening.
Dewanga terpaku. Jantungnya berhenti sejenak. "Hamil...?"
"Iya. Udah dua bulan."
Dewanga merasakan dadanya sesak—tapi kali ini bukan karena sakit. Ini adalah perasaan yang aneh... campur aduk antara bahagia, takut, dan bingung.
"Tini... kita... kita mau punya anak...?" Suaranya bergetar.