Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 23~ Awalnya berteman
Sekar
Mereka bercengkrama santai sedikit bergurau. Ada tawa senang apalagi jika tau setelah ini akan mendapatkan bayaran besar.
Tapi Sekar, ia melihat setiap inci jalan yang membawanya kian mendekati keraton dengan hati getir. Entahlah, sejak tadi hatinya risau berkepanjangan. Jalanan yang bersih, tertata nan rapi....tak ada potret kemiskinan yang terpampang, inilah desa sekitar keraton.
Tapi apakah ini hanya topeng di wajah masyarakat? Atau memang kondisi sebenarnya sampai, warga desa luar berbondong-bondong ingin bermukim disini? Apakah kehidupan mereka dijamin tanpa perlu bekerja keras?
Guncangan mobil membawa Sekar semakin dekat dengan keraton, jantungnya kian cepat berdegup.
Gerbang kompleks pertama keraton, yang biasa dijadikan museum dan wisata sejarah terlihat dan mereka lewati begitu saja ke arah lebih dalam. 3 hari, rasanya Sekar lupa berapa lama itu, namun rasanya baru beberapa menit ia menatap bangunan megah kebanggaan kota ini saja rasanya seperti sudah 2 tahun. Apalagi jika harus tinggal, rasanya ia tak sanggup.
Sekar turun setelah teman-temannya, amih turun dari mobil. Pandangannya menyapu sekeliling, disini para keturunan da rah biru itu tinggal.
"Wah, aslinya bagus banget. Selama ini aku cuma tau kompleks depan, itu juga kalo lagi wisata bareng temen SD. Terus sekali waktu sama keluarga juga."
"Monggo mampir," kelakar Yani seolah-olah ia pemilik rumah dan mereka tertawa, "kapan rumahku bisa begini."
"Salah pertanyaan mu Yan, yang tepat, kapan aku bisa tinggal disini?"ujar amih.
"Maksudnya gelar tenda di parkiran?" tanya nyai Mirah berseloroh dan mereka kembali tertawa termasuk Sekar.
*Bahureksa*
Amih Mahiswar memberitahukan, jika sanggar Mayang akan datang keesokan harinya, ada sedikit rasa kecewa sebab ia bela-belain pulang cepat dari sentra batik hanya demi bisa menyambut para rombongan penghibur itu. Namun nyatanya sanggar Mayang tak datang hari itu.
Ia pergi ke gazebo untuk merokok, bermaksud mengurangi rasa stress yang akhir-akhir ini mengekang kepalanya. Belum lagi pertemuannya dengan Anjarwati tempo hari, bukannya mendapat rasa relaks, wanita itu benar-benar mendominasi, padahal jadi permaisuri saja belum.
Merasa dirinya hebat, pintar dan sejajar, beradu argumen dan ucapannya itu seolah selalu berujung menyindir pedas Bahureksa. Bagaimana nanti kehidupan setelah menikah? Semakin hari bayang-bayang Sekar lah yang mengisi pikirannya, pikiran ter-liarnya bahkan telah membayangkan saat sosok gadis itu akan manis dan menurut mengikuti segala maunya.
Hanya dengan membayangkannya saja, ia dapat tersenyum. Ia menatap jempol yang waktu itu mengusap bibir Sekar dan diji lat gadis itu, rasanya....lidah dan bibir Sekar masih menempel disana. Ia baru sadar, jika ia telah digulung oleh permainannya sendiri.
Dan diantara lamunan asiknya itu, Amar datang....adiknya yang selalu mengacau, tapi tak ia pungkiri, Amar sangat membantunya dalam hal pekerjaan. Adik kesayangan sekaligus yang ia benci sebab apapun yang ia sukai, Amar pasti menyukai juga. Termasuk hari ini....
Amar mengakui jika ia menyukai Sekar. Dan itu, akan menjadi ketakutan berikutnya untuk Bahureksa. Karena ia selalu tau siapa pemenangnya di akhir.
Pagi ini, ketika ia masih bersantai menyesap kopi seorang biyung memberitahunya.
"Permisi Gusti Raden Anom, rombongan sanggar Mayang baru tiba." Ia tersenyum lebar dan bergegas beranjak meninggalkan kopi yang masih hangat-hangatnya.
Namun rasa bahagia itu mendadak sirna, saat ia melihat Amar telah ada disana duluan, tangannya mengepal kuat.
Amar
Ia masih santai pagi ini, sengaja...sebab akan datang siang ke kampus.
Entahlah, ia hanya ingin berlari santai saja di sekitaran keraton, atau mungkin pergi keluar untuk sekedar membeli camilan di luar keraton sambil menatap....masa depan? Ia melihat satu rombongan yang ia kenali saat sedang memakai sepatunya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sekar...gadis itu ada disana. Ia berlari demi menyambut kedatangannya.
"Wilujeng sumping, selamat datang di keraton ..." langkahnya melambat berubah jadi kalem, padahal tak tau saja tadi ia berlari secepat kilat.
Mereka terkejut, untuk kemudian menoleh dan membungkuk, "Raden bagus ..."
Amar, lelaki itu selalu memasukan tangannya ke dalam celana, kali ini celana training nya ia rogoh.
"Hatur nuhun Raden bagus, suatu kehormatan untuk kami...." dan ocehan itu masih terus saja di ucapkan amih Mayang, padahal sejak tadi ia sudah mencuri-curi pandang ke arah Sekar yang justru membuang muka, mengalihkan pandangan darinya, sombong sekali! Lalu malam kemarin yang peluk-peluk perut saya siapa?
"Penghibur lain sudah datang sejak kemarin, dan masuk ke pendopo tamu. Silahkan untuk ke sana, beristirahat sejenak..." Amar membuat gestur seperti seorang penerima tamu dan diangguki amih Mayang serta rombongan.
"Hatur nuhun aden, sekali lagi."
Ia tersenyum lebar, dan saat Sekar melewatinya seraya menenteng tas, ia menangkap tangan gadis itu.
"Hay." nyengirnya. Sekar memandangnya, praktis berusaha menarik tangan dari genggaman Amar, "den maaf, saya tertinggal dari rombongan." Ucapnya berusaha melepaskan tangan.
"Nanti bisa saya antar. Ngga perlu khawatir...." Amar memajukan wajahnya, "kamu sombong sekali, pura-pura ngga kenal begitu, minimalnya senyum gitu, udah pernah diantar pulang." Lantas Amar melepas tangan Sekar yang segera melangkah menyusul.
Tidak menyerah begitu saja Amar mengikuti dan menyamai langkah Sekar, dengan langkah terbaliknya, seperti yang biasa Imas lakukan.
"Kamu disini 3 hari kan?" tanyanya kesenangan. Sekar hanya melirik tanpa menjawab. Benar-benar gadis ini!
"Kamu tau ngga, aturan utama di sini apa?"
Sekar menghentikan langkahnya namun pandangannya jelas menatap ke arah punggung rombongannya.
"Wajib senyum." Aturan macam apa itu Amar?!
"Oh ya? Masa?" kini Sekar mau bersuara, Amar mengangguk, "apalagi saat di depan keturunan menak."
Alis Sekar naik sebelah, sangsi. Namun sejurus kemudian Sekar justru tersenyum kaku lalu kembali ke stelan juteknya, membuat Amar tertawa.
"Ih, bisa-bisanya den bagus saja kan itu!" sembur Sekar, "sudahlah! Saya ketinggalan rombongan itu .." omelnya lagi. Amar tersenyum senang, Sekar akhirnya mau mengomel padanya seperti yang ia lakukan pada Imas malam itu.
"Saya antar, tenang saja....disini, ruangan apa yang saya ngga tau. Sampai lubang semut pun saya hafal. Mau bukti? Yuk saya ajak tur keliling, emhhh ...untuk pertama-tama saya ajak kamu ke kaputren, kamarnya anak raja ..."
Sekar menggeplak punggungnya, "dasar anak raja mesum." Namun Amar justru tertawa.
"Sekar, apa kabar? 2 hari kamu tidak bertemu dengan saya, saya penasaran....kamu teringat saya, ngga?" tanya nya terang-terangan membuat Sekar menggeleng, bersiap meninggalkannya, namun sial...rombongannya sudah tak terlihat, dan ia tak tau kemana arah mereka pergi. Sekar mende sah lirih.
"Tuh kan, rombongan saya mana tadi?! Ini gara-gara Aden kebanyakan ngomong."
Amar kembali tersenyum, "saya antar. Hayu atuh..." ajaknya.
"Kemana?" tanya Sekar membulatkan mata polos nan indahnya itu, ya ampun! Amar tak kuat.
"Ke KUA."
Lantas air muka Sekar berubah dan mengayunkan langkahnya meninggalkan Amar. Amar kembali tertawa, "hey! Jalan ke pendopo tamu bukan kesitu! Belok kanan---kanan, eh kiri!" teriaknya dengan tawa renyah, menyusul gadis yang tak pernah menoleh itu.
Tapi rupanya Sekar pintar, sebab tak langsung percaya padanya, ia justru menghampiri seorang abdi dalem, "biyung, maaf....mau tanya kalo pendopo tamu kemana arahnya, ya?"
"Dari sini ke kiri neng, nanti ketemu Mande (bangunan pendopo tanpa dinding)3 belok kanan lurus saja."
"Saya kan sudah bilang tadi, ke kiri, yayi....mari saya antar." Ujarnya membuat abdi dalem itu membungkuk dan pergi, "den bagus."
Sekar menoleh sinis, "saya tidak percaya lagi."
"Maaf, habisnya kamu lucu saja. Ngga pernah senyum tiap ketemu saya....Sekar, bisakah kita berteman?" rayunya mengulurkan tangan, ia hanya ingin menyentuh Sekar dengan perlahan dan hati-hati.
Sekar masih mematung dengan mere mas tali di tasnya, memandang nyalang tangan yang terulur dari Amar.
"Setidaknya saya punya satu teman dari Cikahuripan. Jika sedang ada kunjungan kerja kesana..." bujuknya lagi.
"Yang bisa bantu saya buat jinakin ular dan ngga takut apapun." Tambahnya lagi. Sekar mendengus, ia ragu...ia tau batasannya, Mak sudah berulang kali mewanti-wanti. Tapi----ia tau Amar juga cukup pintar untuk membatasi bergaul dengannya, lagipula....dunia mereka berbeda, Amar tidak mungkin akan terus bersinggungan dengannya, kan?
Sekar hanya melihat dari sisi amannya saja saat ini, dimana ia sedang bertandang ke rumah Amar, Amar tuan rumahnya, bukankah sebaiknya ia bisa jaga sikap?
Sekar merambat membalas uluran tangan Amar, "semoga tidak menyesal berteman dengan saya, den."
Tanpa tau, jika Amar justru sudah memiliki seribu satu cara untuk memanfaatkan pertemanan mereka ini, "oke teman. Sebagai teman yang baik, ayo...saya antar ke pendopo tamu!"
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏