Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Helena menutup pintu kamar Lucian perlahan, tidak membiarkan suaranya berderit. Wajahnya tegar, meski dalam hati ucapan terakhir Lucian masih menusuk. Namun alih-alih melemah, tekadnya justru semakin mengeras.
Ia turun ke lantai bawah, melewati ruang tamu yang temaram. Jam dinding menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Helena mengambil mantel tipis, kunci mobil, dan tas kecilnya.
"Jika Lucian tidak mau jujur, maka aku harus mencari jawabanku sendiri."
Langkahnya mantap saat keluar rumah. Udara malam menusuk kulit, tapi ia tidak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu tempat: apartemen Amara.
Alina pernah bilang, pagi kemarin ia melihat seorang pria keluar dari sana. Helena tidak bisa berhenti memikirkan siapa pria itu. Rafael? Atau seseorang yang lain?
Perjalanan ke apartemen terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu-lampu kota berkelebat di jendela mobil, sementara Helena menggenggam erat setir. Dalam hatinya bercampur rindu pada Amara, kemarahan pada sikap dingin Lucian, dan rasa ingin tahu yang semakin menguasai dirinya.
Sesampainya di gedung apartemen, Helena berhenti sejenak di parkiran bawah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Gedung itu terlihat sama, sunyi, dingin, dan menyimpan rahasia.
Ia masuk melalui lobi, melewati satpam yang sudah terbiasa melihatnya beberapa kali datang. Tatapan satpam itu sempat mengikuti langkahnya, seolah ingin bertanya, tapi Helena menunduk dan mempercepat langkah menuju lift.
Denting lift terdengar, pintu terbuka, dan Helena masuk. Jemarinya menekan lantai tempat Amara tinggal. Cermin di dinding lift memantulkan wajahnya yang tegas, tanpa keraguan.
"Siapa pun pria itu… malam ini aku harus menemukan jawabannya."
Lift berhenti, pintu terbuka. Koridor panjang dan sepi menyambutnya. Helena berjalan cepat menuju pintu apartemen Amara. Lampu-lampu lorong redup, bayangan panjang mengikuti langkahnya.
Sesampainya di depan pintu, ia merogoh kunci duplikat yang dulu pernah dibuatnya diam-diam. Tapi sebelum sempat memasukkannya ke lubang kunci, Helena tertegun~karena gagang pintu apartemen itu… sedikit terbuka.
Helena berdiri di depan pintu apartemen Amara dengan jantung berdebar. Ia tidak langsung masuk. Ada rasa ragu, rasa yang membuatnya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya.
Ketika ia hendak melangkah lebih dekat, pintu apartemen sebelah terbuka. Keluar seorang wanita paruh baya dengan daster sederhana, membawa kantong belanjaan kecil berisi sayur segar. Wajahnya ramah, meski garis-garis lelah terlihat jelas di mata. Helena spontan menunduk sedikit, lalu memberanikan diri mendekat.
“Permisi, Bu…” suara Helena pelan namun terkontrol. “Saya… adiknya Amara.”
Wanita itu berhenti, menatap Helena dengan alis terangkat. “Oh, jadi kamu Helena? Wajahmu agak mirip… iya, iya. Aku sering lihat kamu waktu dulu masih suka main ke sini.”
Helena tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. “Benar, Bu. Saya… sebenarnya ingin menanyakan sesuatu. Kemarin, ada yang melihat seorang pria keluar dari apartemen kakak saya. Apa Ibu… sempat melihat orang itu?”
Wanita paruh baya itu mengernyit, seperti sedang berusaha mengingat. Lalu ia menghela napas panjang. “Iya, ada. Bukan hanya kemarin, Nak. Beberapa kali aku melihatnya keluar masuk. Orangnya tinggi, berwajah tegas, selalu berpakaian rapi. Tapi ada sesuatu… entah apa, tatapannya membuatku merasa tidak nyaman.”
Helena merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa Ibu tahu siapa dia?” tanyanya hati-hati.
Wanita itu menggeleng. “Tidak. Tapi aku yakin dia punya kedekatan dengan Amara. Hanya saja… akhir-akhir ini, aku tidak pernah lagi mendengar suara atau melihat tanda-tanda Amara di dalam apartemen itu. Rasanya seperti kosong, padahal kadang lampu masih menyala.”
Helena menelan ludah, pandangannya perlahan beralih ke pintu apartemen Amara yang tampak sepi. Ada rasa dingin menjalari tubuhnya.
“Aku… boleh tahu satu hal lagi, Bu?” suara Helena nyaris berbisik. “Apa Ibu pernah melihat… Amara keluar belakangan ini?”
Wanita itu memandang Helena dengan tatapan berat, sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Tidak pernah. Sama sekali.”
Helena merasakan dadanya semakin sesak, tetapi ia berusaha tetap tenang. Tatapannya kembali pada kunci cadangan di tangannya. Kata mereka Amara kembali? Tapi kenapa dia tidak kembali ke apartemennya?
"Terimakasih Bu,"
Ibu itu mengangguk lantas berlalu pergi dari depan Helena.
Helena menatap kunci di tangannya cukup lama, hingga jemarinya terasa dingin.
Helena menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri. "Kalau aku terus menunda, aku tidak akan menemukan apa-apa."
Dengan langkah hati-hati, ia menarik gagang pintu. Helena menoleh sekali lagi~tetangganya sudah masuk ke dalam, tak ada orang lain yang memperhatikan.
Perlahan ia membuka pintu. Aroma samar parfum Amara langsung menyeruak. Helena masuk, menutup pintu pelan.
Apartemen itu rapi, terlalu rapi. Semua perabotan masih di tempatnya, seakan Amara baru saja keluar sebentar. Tetapi ada sesuatu yang janggal: segelas air di meja masih setengah penuh, dan majalah yang tergeletak di sofa terbuka di halaman tengah, seperti ditinggalkan terburu-buru.
Helena berjalan pelan, jemarinya menyentuh permukaan meja, merasakan debu tipis di sana. “Kak…” bisiknya lirih, meski ia sudah berjanji pada dirinya tidak akan membiarkan air mata jatuh lagi.
Ia melangkah ke kamar Amara. Pintu tidak terkunci, dan saat dibuka, Helena tertegun. Di atas meja rias, ada sehelai saputangan putih terlipat rapi, tapi di salah satu ujungnya ada noda merah samar seperti bekas darah yang sudah mengering.
Helena mendekat, tangannya bergetar ketika hendak menyentuh benda itu.
Tiba-tiba suara berderit halus terdengar dari arah dapur.
Helena menoleh cepat, jantungnya langsung berpacu. Ia tidak datang sendirian.
Helena segera mundur selangkah, menahan napas. Ia memutuskan tidak gegabah. Dengan cepat, ia merapat ke dinding dekat pintu kamar Amara, mencari sudut yang cukup gelap untuk bersembunyi. Jemarinya mencengkeram ujung pintu, berusaha menahan suara sekecil mungkin.
Suara dari dapur terdengar lagi, kali ini jelas seperti langkah pelan, berusaha hati-hati tapi tetap meninggalkan derit lantai kayu.
Helena menahan napas lebih dalam. Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, ia bisa melihat bayangan samar seseorang melewati lorong menuju ruang tamu. Sosok itu tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang ditarik menutupi kepala.
Helena menunduk, jantungnya berdegup kencang. Siapa dia? Apa mungkin… pria yang dilihat Alina?
Sosok itu berhenti di depan meja ruang tamu. Ia tampak meneliti gelas setengah penuh di atasnya, lalu menggerakkan tangan seperti memeriksa sesuatu. Sesaat, Helena merasa sosok itu tidak asing, gerakannya tenang, seperti seseorang yang sudah sering berada di tempat ini.
Lalu tiba-tiba, sosok itu berbalik, menatap ke arah kamar.
Helena buru-buru menutup pintu sedikit lebih rapat, punggungnya menempel ke dinding, menahan detak jantung yang terasa begitu keras di telinga. Ia takut bayangan itu akan menyadari keberadaannya.
Dalam hening yang mencekam, ia mendengar langkah-langkah mendekat ke arah kamar.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...