Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugatan Diam Diam
Ayu buru-buru merapikan penampilannya, saat tau yang datang adalah Arkan. Beruntungnya lipstik merahnya sudah terhapus saat membersihkan sisa muntahan.
Ia segera menutup pintu kamar mandi, dengan Juan yang masih ada di dalam.
"Pak Arkan tahu, saya di sini?" tanya Ayu pura-pura tenang.
"Apa yang kamu berikan pada Mama, hah?" Emosi Arkan sampai ubun-ubun.
"Kenapa?" Ayu mendadak takut melihat ekspresi mengerikan suaminya itu.
"Apa maksudmu, hah? Kenapa kamu bikin mama kejang?" Arkan berapi-api, ia masuk tanpa melepas sepatu.
"Ke-jang? Apa maksudnya, pak?" Ayu jelas kebingungan.
'Kejang? Mama kejang?' kata itu jelas menabrak dinding pikirannya, ia tidak tahu ada salah dengan perbuatannya pada mertua pagi tadi.
"Pulang, kamu. Lihat keadaan mama di rumah sakit," Arkan menarik paksa tangan Ayu.
Tanpa melihat keadaan sekitar, Arkan berlalu dari pintu, bahkan ia tidak melihat sepasang sepatu pria yang tertata rapi di samping keset masuk.
Ayu bernapas lega. Namun, kegelisahan nya kini beralih pada Asri, sang mertua.
"Kenapa, Mas? Ada apa dengan Mama?"
Arkan terdiam, wajahnya kaku. Ia menyetir mobil seperti orang kesetanan. Kecepatannya di atas rata-rata.
Ayu tak berani bertanya kembali, perutnya terasa keram karena tekanan.
Di rumah sakit, bau obat-obatan bercampur antiseptik menguar di udara, Ayu melangkah gemetar, mengimbangi Arkan yang terlalu cepat.
Di balik tirai kamar rawat, Asri tergeletak lemah, di punggung tangannya menempel selang infus.
"Tekanan darah bu Asri drop, kejangnya sudah terkendali, Bu. Untung segera dibawa kesini, kalau tidak bisa bahaya," seorang dokter menjelaskan pada Nadia
Dia sudah lebih dulu tiba setelah Arkan menghubungi Umi Zahra, karena Ayu susah di telepon.
"Efek obat migrain yang diminum dua kali lipat," dokter itu menatap wajah Ayu sekejap, mungkin menyadari wajah biru dan bibir gemetarnya.
"Jadi karena efek overdosis obat, ya dok?" Nadia memastikan, penuh tekanan.
Ayu mematung di tempat. Dada sesak, matanya tertuju pada botol kaca berlabel sumatriptan 50 mg yang masih terbuka di meja. Ia ingat, tadi pagi saat Asri mengeluh pusing, tanpa pikir panjang, dia menuangkan dua butir pil di tangan mertuanya. Ia kira dosisnya sama dengan parasetamol biasa.
"Kamu lihat, kan?" Arkan membentak Ayu saat itu juga.
Ayu hanya menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia paham menjelaskan ketidak sengajaannya pun akan percuma di saat seperti ini.
"Gila, kamu, ya?! Mau ngebunuh mama?!" Arkan masih naik darah.
"Sudah, Mas. Biarin mama istirahat," Nadia memotong, lengkungan di bibirnya hampir keluar.
"Untung Nadia bisa cepat dihubungi, kalau tidak, sampai ada apa-apa terjadi sama mama, aku nggak akan diam aja!" Arkan berlalu keluar ruangan.
Nadia menatap Ayu dengan senyum mengejek, sementara Ayu di matanya seperti muncul kilatan api, sebelum pergi menyusul suaminya.
Nadia tidak menyangka sepeninggalnya, Arkan telah berubah sifat kepada istri barunya itu.
Ia tengah membetulkan letak selimut mertuanya, saat Asri menyentuh tangan Nadia lemah.
"Terima kasih ya, Nad. Kamu masih begitu baik sama, Mama."
"Ah, iya. Nggak papa, Ma. Lagian ini yang terakhir kalinya aku bisa ngejagain Mama, kok" jawab Nadia penuh misteri.
Di dalam tasnya, map berwarna krem berstempel pengadilan agama, terlipat rapi diantara barang bawaannya. Gugatan perceraian itu sudah ia masukkan diam-diam ke pengadilan.
Ia menatap mertuanya sebentar, ia tahu semua ini akan segera berakhir.
"Maksud kamu?" Asri beringsut membenarkan tidurnya.
Nadia hanya menjawabnya dengan sedikit senyuman.
"Istirahat ya, Ma. Aku keluar sebentar."
Langkah Nadia meninggalkan ruang rawat terlihat ringan, berbeda dengan isi tas nya, seperti beban berat yang ia simpan bertahun-tahun.
Sementara itu di koridor luar, Arkan berdiri dengan rahang mengeras, kedua tangannya berkacak pinggang. Dari ujung lorong terlihat Ayu tergesa menghampirinya.
"Pak," suaranya lirih, nyaris tertelan aroma antiseptik rumah sakit.
Arkan tetap memunggungi, napasnya tidak beraturan.
"Ah..." Ayu meringis kesakitan, rasa keram itu datang lagi, menusuknya lebih tajam.
Dengan enggan Arkan akhirnya berbalik. Raut wajahnya melunak melihat istrinya menahan perut.
"Kenapa?" kali ini suaranya berusaha ia buat selembut mungkin.
"Sa-kit, Pak," Ayu masih memegangi perutnya.
"Mau periksa?" nada khawatir mulai menggeser amarah tadi.
Ayu terpejam, menenangkan diri. "Baik, pak."
Arkan memapah istri barunya itu menuju UGD.
Sesampainya di ruang periksa, dokter kandungan yang bertugas saat itu, mengenakan masker sehingga sulit dikenali oleh mereka karena panik.
Perlahan dokter itu membalurkan gel dingin pada perut rata Ayu yang mulai membuncit, lalu menjalankan alat ultrasonografi perlahan.
Ayu masih sedikit meringis kesakitan, matanya terpejam.
"Sakit, bu?" tanyanya lembut.
Ayu mengangguk lemah, "keram, dok."
"Gapapa kok, ini. Janinnya bagus, cuman ibu nya aja jangan stress, ya?" dokter itu masih fokus pada layar.
"Udah, tenang ini gapapa. Aman, Yu." Arkan mengelus kepala Ayu lembut, wajah khawatir mulai menghilang dari sana.
"Ayahnya juga, ya. Jangan keseringan ditengok bayi nya," mata dokter itu sengaja berhenti pada mata pasangan pasiennya itu,
"kasian ini masih trisemester pertama, takutnya masih penyesuaian. Bisa, kan pak?"
Arkan mendadak diam, perasan bersalah, juga penasaran. Karena ia belum pernah menyentuh istrinya sama sekali setelah resmi menikahi Ayu.
Sedangkan Ayu sama piasnya, ia tidak menyangka dokter seakan tahu apa yang dilakukannya bersama orang lain siang tadi.
"Pak, Bu. Ini saya kasih vitamin penguat kandungan aja, ya?" setelah turun dari dari ranjang pemeriksaan, dokter itu mengedukasi.
"Jadi, Pak, Bu..." dokter itu menunjuk kalender meja,
"ini trisemester pertama ibu, sampai tanggal ini," dia menunjuk angka lima.
Sedangkan Ayu justru lebih fokus pada tagline kalender promosi yayasan itu, "Merangkul Kasih, Menumbuhkan Harapan" dengan satu foto besar bapak pendirinya yang telah wafat, H. Wicak Darto, S.Sos.
Bayangan tentang senyuman, rangkulan hangatnya, juga aroma bensin setelah benturan itu.
Ayu tidak lagi peduli dengan apa yang dokter kandungan itu katakan, napasnya sudah lebih dulu tersengal, rasa mualnya kembali menyerangnya. Ia buru-buru lari keluar dari sana.
Dokter itu seperti sengaja menunjukkan kalender yayasan Cinta Ibu, atas permintaan seseorang sebelumnya, ia tersenyum licik di balik masker medisnya.
"Maaf, sepertinya istri saya mual lagi, saya permisi ya, dok?" Arkan terburu-buru menyusul istrinya itu.
Dari luar jendela, Nadia tersenyum tipis, jemarinya mengetuk kaca pelan, ia mengangguk pada dokter itu, "Bagus, Dio," bisiknya nyaris tak terdengar.
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..