Malam itu, mereka mengubur seorang dukun. Yang bangkit adalah mimpi buruk mereka.
Kematian brutal Ki Anom melahirkan sumpah terkutuk. Kesalahan fatal saat pemakamannya melepaskan arwahnya dalam wujud Pocong pendendam. Desa Sukawaringin nyaris hancur oleh amukannya.
Lima tahun berlalu. Kedamaian yang mereka rebut dengan susah payah kembali terkoyak. Sebuah korporasi ingin mengosongkan desa mereka, dan mereka menyewa seorang ahli teror gaib, Ki Jagaraga, untuk melakukannya.
Ki Jagaraga tidak mengulangi sejarah. Ia menyempurnakannya.
Ia membangkitkan Ki Anom sebagai panglima pasukan orang mati, dan bersamanya... tiga Pocong Wedon. Arwah tiga wanita yang mati tragis, masing-masing membawa metode teror unik: satu dengan isak tangis di tepi sungai, satu dengan obsesi gila di sumur tua, dan satu lagi dengan nyanyian merdu yang menghipnotis.
Desa Sukawaringin kini dikepung. Warganya diteror satu per satu. Ini bukan lagi hantu yang tersesat, ini adalah invasi arwah yang terencana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Habibi Nurpalah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retak di Benteng Pertahanan
Pagi hari di Desa Sukawaringin kini memiliki ritual baru yang menyedihkan. Bukan lagi membuka jendela untuk menghirup udara segar, melainkan saling bertanya dari balik pintu yang terkunci: "Siapa yang kena giliran semalam?"
Kabar ganda—tentang Agus yang nyaris terhipnotis oleh pocong penyanyi dan patroli siskamling yang dibubarkan oleh kemunculan pocong panglima—menjadi paku terakhir di peti mati keberanian warga. Pagi itu, tidak ada lagi diskusi atau bisik-bisik. Yang ada hanya keheningan yang berat, keheningan orang-orang yang sudah pasrah.
Di halaman balai desa, sekelompok kecil warga berkumpul. Mereka bukan lagi datang untuk mencari solusi, melainkan untuk menyuarakan keputusasaan mereka. Pak Karta, Mang Soleh, dan Pak Asep—tiga korban teror—berdiri di depan, wajah mereka tampak sepuluh tahun lebih tua hanya dalam beberapa malam.
"Sampai kapan kita harus begini, Pak Kades?!" teriak Mang Soleh, suaranya parau. "Semalam anak saya hampir diculik arwah! Apa kita harus menunggu sampai ada yang benar-benar jadi korban jiwa?!"
"Benar!" sahut istri Pak Karta. "Pengusaha itu menawarkan ganti rugi! Mungkin tidak seberapa, tapi setidaknya nyawa kita selamat! Lebih baik hidup di kontrakan kecil daripada mati konyol di sini!"
Suara-suara persetujuan mulai terdengar dari kerumunan. Retakan pertama di benteng pertahanan desa telah muncul. Warga mulai terpecah. Sebagian masih ingin bertahan, namun sebagian besar lainnya, yang kewarasannya sudah terkikis oleh teror malam demi malam, mulai berpikir untuk menyerah. Persis seperti yang diinginkan Hartono.
Bowo, sang kepala desa, berdiri di hadapan mereka dengan hati yang hancur. Ia mencoba menenangkan, mencoba membangkitkan lagi semangat persatuan, namun kata-katanya terdengar hampa di hadapan ketakutan yang begitu nyata.
Di dalam kantor balai desa, Juna membanting tumpukan kertas ke atas meja dengan frustrasi. Ustadz Badrul hanya bisa menatapnya dengan prihatin.
Juna:
"Ini yang mereka mau! Mereka berhasil! Mereka tidak perlu mengusir kita, kita yang akan pergi sendiri satu per satu!"
Ustadz Badrul:
"Ketakutan adalah senjata yang paling ampuh, Jun. Dan musuh kita tahu persis bagaimana menggunakannya."
Juna:
"Kalau begitu kita tidak bisa terus bertahan seperti ini, Ustadz! Bertahan sama saja dengan menunggu giliran untuk diteror. Kita... kita harus menyerang balik."
Pak RT yang baru saja masuk menggelengkan kepala. "Menyerang apa, Jun? Kita bahkan tidak tahu di mana musuhnya berada."
Juna kembali duduk di depan laptopnya yang ia bawa dari rumah. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard.
Juna:
"Aku sudah memikirkannya semalaman. Dari risetku, dukun-dukun seperti ini, yang bekerja untuk proyek besar, biasanya tidak tinggal di hotel bintang lima. Mereka butuh tempat yang tenang, terpencil, dan dekat dengan alam untuk menjaga kekuatan mereka. Tempat yang tidak akan dicurigai siapa pun."
Ia membuka sebuah aplikasi peta satelit sederhana yang ia temukan di internet. Ia memperbesar tampilan wilayah di sekitar Desa Sukawaringin.
Juna:
"Lihat," ujarnya, menunjuk ke sebuah area berhutan sekitar lima kilometer di sebelah utara desa. "Ini namanya Hutan Larangan. Orang desa kita saja jarang ada yang berani masuk ke sana. Katanya angker."
Ia memperbesar lagi. Di tengah-tengah area hijau pekat itu, ada sebuah titik kecil. Sebuah bangunan.
Juna:
"Menurut peta topografi lama, di tengah hutan itu ada sebuah pesanggrahan tua peninggalan zaman Belanda. Sudah puluhan tahun terbengkalai. Tempat yang sempurna untuk dijadikan markas, bukan?"
Sebuah keheningan menyelimuti ruangan itu saat mereka semua menatap titik kecil di layar. Sebuah ide gila, sebuah spekulasi yang didasari oleh keputusasaan, namun itu adalah satu-satunya petunjuk yang mereka miliki.
Bowo:
(Masuk ke dalam ruangan dengan wajah lelah setelah menenangkan warga)
"Apa yang kalian lihat?"
Juna:
(Menatap Bowo dengan sorot mata yang baru, bukan lagi sorot mata korban, melainkan sorot mata seorang pemburu)
"Aku rasa... aku tahu di mana sarang ularnya, Mas."
Malam itu, teror kembali datang. Kali ini, sasarannya adalah rumah Pak RT. Bukan pocong wanita, melainkan pocong Ki Anom sendiri yang berdiri mematung di halaman rumahnya, menatap lurus ke arah jendela kamar tidur. Ia tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri di sana sepanjang malam seperti patung kematian, sebuah perang psikologis yang membuat seluruh keluarga Pak RT tidak bisa tidur dan hanya bisa berdoa dalam ketakutan.
Namun, di tengah teror yang sedang berlangsung itu, sebuah rencana rahasia sedang disusun.
Di sebuah saung di tengah sawah, jauh dari pemukiman, Juna, Bowo, dan Ustadz Badrul berkumpul di bawah cahaya lampu minyak.
Juna:
"Kita tidak bisa membawa banyak orang. Terlalu berisiko dan akan menarik perhatian. Cukup kita bertiga."
Bowo:
"Kapan kita berangkat?"
Juna:
"Besok. Tepat setelah Subuh. Saat fajar baru menyingsing, konon saat itulah kekuatan gaib berada di titik paling lemah setelah semalaman aktif. Kita akan menyelinap ke Hutan Larangan itu."
Ustadz Badrul menatap kedua pemuda di hadapannya. Ia melihat ketakutan di mata mereka, namun ia juga melihat sesuatu yang lain: tekad. Tekad untuk tidak lagi menjadi mangsa.
Ustadz Badrul:
"Ini adalah pertaruhan yang sangat besar. Jika kita salah, kita mungkin tidak akan kembali. Tapi jika kita benar..."
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah desa yang diselimuti kegelapan dan ketakutan.
Ustadz Badrul:
"...kita akan membawa perang ini langsung ke depan pintu rumah musuh."
Keputusan telah dibuat. Mereka tidak akan lagi menunggu di dalam benteng yang sudah retak. Besok pagi, tiga orang akan berjalan memasuki sarang iblis, membawa serta sisa-sisa harapan terakhir dari Desa Sukawaringin.
jangan lupa paket lengkapnya juga ya