Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan
Sesampainya di sekolah, Diajeng segera menjalankan tugasnya untuk sekedar memberikan tugas, karena Diajeng masih harus menyelesaikan beberapa berkas untuk persiapan akreditasi dua hari lagi.
"Pak Hadi nanti jam duabelas, pas jam istirahat siang, saya ijin dulu ya." kata Diajeng kepada waka kesiswaan.
"Oh, ya bu. Ada urusan mendesak ya bu?" tanya pak Hadi, karena pak Hadi tau, bahwa Diajeng bukan tipikal guru yang mudah ijin, kecuali jika ada sesuatu yang krusial.
"Iya pak."
Jam dua belas siang, tepat setelah bel berbunyi, Diajeng keluar dari sekolahan.
"Mau ke mana bu Ajeng?" tanya Bayu sang scurity yang begitu perhatian kepada Diajeng.
"Ada perlu bentar, InshaaAllah nanti saya kembali." kata Diajeng.
Diajeng memang tak suka menceritakan perihal keluarganya kepada orang lain, sehingga dalam kondisi bapaknya di RS pun, Diajeng bersikap seolah semua baik-baik saja.
"Baik bu, hati-hati."
"Okey."
Diajeng segera melajukan mobilnya ke RS terdekat dari sekolahannya. Setelah sampai RS, Diajeng segera berjalan menuju ruangan pak Sabari, namun sebelum sampai di sana, Diajeng melihat bu Indri sedang memohon pertolongan kepada dokter, untuk mencarikan donor darah untuk Adnan. Diajeng segera mendekat, dan memastikan golongan darah Adnan. Karena seingat Diajeng, saat dulu mengurus SKCK untuk sertifikasi, Diajeng dan Adnan pernah tes golongan darah di PMI, dan mereka tersenyum bersama, tatkala mengetahui golongan darah mereka sama.
"Nanti, kalau kamu butuh darah, berarti aku bisa membantumu 'kan sayang." kata Adnan.
"Iya, begitupun denganmu." kata Diajeng.
Seketika memori itu terputar kembali. Dan lagi-lagi Diajeng ingin turut serta membantu mantan kekasihnya itu.
"Maaf dokter, apakah benar, pasien membutuhkan golongan darah B?" tanya Diajeng.
"Benar mbak, tetapi kebetulan di rumah sakit ini sedang kosong." jawab dokter setengah baya.
"Golongan darah saya B, dok. Mungkin bisa dicek dulu darah saya." tawar Diajeng.
Dengan senang hati dokter itu segera mengajak Diajeng ke ruang transfusi darah. Dan benar saja, darah Diajeng cocok dan sehat, sehingga bisa digunakan untuk tranfusi darah.
Setelah menunggu beberapa waktu, Diajeng keluar ruangan dengan wajah lebih pucat dari yang tadi. Bu Indri melihat kehadiran Diajeng yang telah mendonorkan darahnya untuk Adnan putra kebanggaannya.
"Terimakasih, anda telah mendonorkan darah untuk anak saya." kata bu Indri dengan sungkan dan kaku.
"Sama-sama bu. Kalau begitu, saya permisi " kata Diajeng berusah tetap santun dengan wanita paruh baya yang dahulu menolaknya mentah-mentah, karena Diajeng bukan dari keturunan darah biru. Diajeng langsung menuju lantai 6, tempat bapaknya dirawat.
💜💜💜💜💜💜💜💜
Sementara itu, sejak pagi pak Sabari memang benar ditemani pak Hanif, selaku direktur utama rumah sakit ini. Kedua putranya juga seorang dokter di luar jawa.
"Bari, Bari, jagoan kok tumbang." ejek pak Hanif saat memasuki ruang rawat inapnya. Karena dimata Hanif, Sabari adalah seorang pahlawan yang berotot kawat tulang besi. Dia adalah pahlawan di kelasnya Hanif, karena seringnya dia berkelahi, dan mengalahkan para musuhnya.
"Jagoan juga manusia kali, Nif." bela pak Sabari. Pak Hanif pun duduk disamping pak Sabari.
"Kemana ART mu? Katanya ditunggu ART." kata pak Hanif."
"Tak suruh pulang Nif, biar beres-beres rumah dulu. Lagian katanya kamu mau temenin aku ngobrol, jadi ya wis, tak suruh pulang aja." jawan Pak Sabari.
"Woalah... Oya, ini kamu sakit apa? Kok sampai harus opname di sini?" tanya Hanif.
"Ya... biasa, sakitnya orang tua, Nif." jawab Pak Sabari masih tak mau mengaku.
"Darting?"
"Opo kui?"
"Darah Tinggi, Ri..."
"O... iya. Lah, memang kalau dokter itu ga bisa dibohongi perkara penyakit ya?" pasrah pak Sabari.
"Engga juga. Sebenere tadi aku ke ruang jaga, aku tanya perawatnya." jawab Hanif.
"Owalah, tak kira emang beneran dokter pinter membaca penyakit orang." jawan Sabari sambil terkekeh.
"Hahaha, engga bro. Aku ga sebegitu jenius kok." jawab Pak Hanif.
"Hipertensi itu terjadi bukan hanya pola makan lho, Ri, tapi ada pula yang wajib kamu ketahui, yaitu pola pikir. Kamu itu sebenarnya mikir apa? Sampai hipertensi segala?" tanya Hanif.
"Ya, biasa. Orang tua kalau masih punya anak perawan sampai kelewat umur, tetap jadi pikiran to Nif. Maunya di hari tua itu tinggal mikir tentang ibadah, lha ini masih mikirin anak wedoknya belum ada yang mendampingi. Stress aku, Nif." keluh Sabari Akhirnya.
"Lho, bukannya dulu dia sudah punya calon ya?"Tanya Pak Hanif.
"Iya, sudah. Tapi sekarang anakku ditinggal. Dia malah nikahin perempuan lain." geram pak Sabari masih belum hilang dalam ingatannya.
"Oh begitu? Lha biar ga stres, apa kita jodohkan saja?" tanya pak Hanif.
"Ya kalau ada, ya gapapa. Masalahe anakku wedok ini bukan lagi anak gadis berumur duapuluh tahunan, Nif. Dia, itu udah kelewat umur." keluh pak Sabari.
"Ya adalah lah. Tinggal anaknya mau apa tidak." jawab pak Hanif.
"Tadi malam udah tak bilangin, harus mau kok, Nif. Harus mau sama pilihan bapak." kata pak Sabari.
"Wah, jalur pemaksaan ini."
"Iya, demi kebaikan dia juga. Daripada pacaran lagi, ga jelas sama komitmennya."
"Ya wis, kalau memang begitu, kita jodohkan saja sama keponakanku. Anaknya Ijah." usul pak Hanif.
"Ijah?" gumam pak Sabari.
"Iya, Ijah. Khadijah, adekku." jelas pak Hanif.
"Ijah...yang..." pak Sabari masih mengingat-ingat.
"Yang dulu aku comblangin sama kamu, biar kita bisa jadi ipar, eh tapi kamu malah sudah punya pilihan, akhirnya adekku yang naksir berat sama kamu, kami jodohkan sama orang lain." kata Hanif.
"Owalah, dek Ijah ya? Yang biasanya buatin kita minum kalau pas main ke rumahmu?"
"Iya."
"Dia punya anak bujang?" tanya pak Sabari.
"Punya, bujang kelewat umur juga, sama kaya anakmu. Umurnya udah 35, tapi belum juga menikah." keluh pak Hanif.
"Lah, kenapa?" tanya pak Sabari penasaran.
"Kalau ganteng, jane yo ganteng. Tapi mungkin karena dia kurang terbuka saja sama perempuan, sehingga dia membujang sampai sekarang. Lagipula, sejak dia SMP, dia sudah harus menjadi tonggak buat keluarganya, setelah bapaknya meninggal." kata pak Hanif menjelaskan.
"Suami Ijah meninggal?" tanya pak Sabari.
"Iya, sejak anaknya yang kecil itu baru umur lima tahun. Dan sampai sekarang, sama kaya kamu, dia tidak ingin menikah lagi." jawab pak Hanif.
"Ya sudah, kita jodohkan mereka saja." kata pak Sabari mengambil keputusan.
"Baiklah. Bismillah ya, semoga mereka berjodoh." kata pak Hanif.
"Oya, sudah mau adzan dzuhur, kamu mau tak antar wudlu dulu?" tawar pak Hanif.
"Ndak usah, Nif. Nanti saja, aku nunggu anakku. Katanya dia mau ke sini kalau jam istirahat." tolak Pak Sabari.
"Ga usah sungkan, Ri. Daripada terlambat sholatnya, mending aku antar saja, biar nanti kalau anakmu datang, dia tinggal temani kamu makan saja. Bagaimana?" tanya pak Hanif.
"Ya wis, kalau tidak merepotkanmu, ya gapapa."
Pak Sabari pun diantarkan pak Hanif ke toilet untuk mengambil air wudlu, lalu bantu untuk menunaikan sholat dzuhur di hospital bad.
"Kalau begitu, aku tinggal dulu ya, Ri. Cepat sembuh ya." kata Hanif.
"Iya, Terimakasih, Nif."
"Sama-sama."
Kepergian pak Hanif meninggalkan jejak harapan pada diri pak Sabari.
"Semoga." gumam pak Sabari setelah punggung pak Hanif tidak nampak lagi dari balik pintu.