Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Julian membuka matanya perlahan, memandangi sekelilingnya, lalu memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Aku ada di mana ini?"
Dengan tergesa-gesa Vincent kembali ke ruang rawat Julian, ia melihat pria itu sedang beringsut duduk."Tuan, syukurlah sudah sadar," ucapnya, lalu membantu pria itu duduk.
"Aku, ada di mana? " tanya Julian dengan nada yang masih lemah.
"Tadi, Tuan sempat demam tinggi jadi aku bawa ke rumah sakit," jawab Vincent.
Melihat kondisi Julian yang masih seperti itu Vincent tidak tega memberitahu, kalau Raven juga dirawat di rumah sakit itu dan kelihatannya sedang sakit parah.
Melihat obat tergeletak di atas nakas, Vincent langsung teringat pesan dokter harus segera meminumkan obat itu keJulian. Ia mengambil beberapa obat itu dan sebotol air mineral. "Maaf, Tuan tadi dokter berpesan jika kau sudah bangun, aku disuruh memberikan obat ini untukmu," ucapnya seraya menyodorkan obat-obatan itu.
Julian menoleh, lalu meraih beberapa obat itu diteguk secara bersamaan. Ia meminum air mineral yang sudah disediakan oleh Vincent. "Kenapa wajahmu terlihat cemas seperti itu?" tanyanya heran melihat tingkah Vincent
Vincent tidak berani menatap pria itu. "Aku mengkhawatirkanmu, Tuan," ucapnya terpaksa berbohong. Padahal ia cemas karena memikirkan Raven yang sedang dirawat. Ia juga penasaran sebenarnya anak itu sakit apa.
"Kau tidak perlu mencemaskanku."pria itu merebahkan tubuhnya kembali. "Apakah tadi aku mengigau? karena sepertinya aku berhalusinasi melihat Raven ada di sini." sambungnya dengan nada penasaran.
Vincent menatap bingung ke arah pria itu, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus mau menjelaskan dari mana. "Raven, memang ada di sini, tap—i dia sedang dirawat di UGD," ucapnya tidak enak hati. Ia takut akan mengganggu kesehatan Julian.
"Apa! Raven sakit, antar aku ke sana Aku ingin bertemu." ucapnya terkejut, lalu bangun dari ranjang.
Terpaksa Vincent Vincent mengantar Julian ke ruang IGD, menggunakan kursi roda. karena pria itu belum kuat berdiri apalagi berjalan. Selang infus masih menancap di tangannya.
Aruna tampak menangis tersedu-sedu di luar ruangan UGD. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Raven, kenapa ia menangisinya seperti itu? seakan-akan penyakit anaknya begitu parah.
Seketika Julian memberi isyarat agar Vincent mendorongnya lebih cepat. Ia tidak tega melihat Aruna seperti itu. Perlahan ia mendekatinya, lalu menyentuh tangan wanita itu. Karena terkejut Aruna menoleh cepat ke arah Julian.
"Raven sakit? " tanya Julian, nada bicaranya sedikit bergetar, menahan air matanya agar tidak jatuh.
Aruna hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Julian bisa memahami itu bagaimana hancurnya hati seorang ibu ketika anaknya sakit. melihat anaknya terbaring lemah seperti itu dunianya serasa dikutuk oleh Tuhan. mulai saat ini ia berjanji, kalau Raven sembuh ia akan mempertemukan anak itu dengan ayah kandungnya. Ia menghapus air matanya mencoba kuat demi anak itu, lalu menoleh ke arah Julian.
"K-kau kenapa?" tanya yang baru menyadari kondisi Julian.
Julian menggelengkan kepalanya pelan, "Aku tidak apa-apa, bagaimana kondisi Raven di dalam?" tanyanya khawatir.
Aruna tertunduk lesu, "Dia harus segera dioperasi, karena ada pendarahan di otak. Tadi di rumah dia tidak sengaja jatuh dari tangga, saat kita sedang bercanda," jelas Aruna dengan bercucuran air mata. karena itu ia begitu menyesal sudah bercanda kelewatan dengan putranya itu.
Julian tidak mampu membendung air matanya lagi. Tubuhnya yang masih lemah semakin terasa lemas, bahkan nyaris pingsan. Dunianya hancur mendengar hal itu.
Aruna berlutut di depan Julian berusaha menenangkan pria itu agar tidak pingsan. "Maafkan Aku, aku tidak becus menjaga dia, Aku bukan ibu yang baik untuk dia," ucapnya tersentuh sendu.
Julian mengatur nafasnya dengan baik, lalu memeluk Aruna. "Kenapa kau minta maaf padaku bukankah itu anakmu?"
Aruna meremas ujung kemejanya memandang ke sembarang arah, lalu kembali menatap pria itu. "Karena kau orang pertama yang dipanggilnya ayah. Sebelumnya dia tidak pernah mempercayai siapapun untuk menjadi ayahnya," ucapnya beralasan.
Julian menatap tajam ke depan. "Baiklah aku akan menjadi ayah yang baik untuknya. Vincent panggilkan dokter," pintanya kepada anak buahnya itu.
"Baik, Tuan. "Vincent berlari ke ruang dokter, beberapa saat kemudian ia kembali dengan dokter itu.
"Maaf, Tuan ada apa memanggilku?" tanya dokter itu heran.
Julian menatap dokter itu. "Segera lakukan tindakan untuk anak yang ada di dalam. Biar asisten saya yang mengurus administrasinya," ucapnya dengan nada tegas dan serius. Ia sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu.
"Baiklah kalau begitu saya akan memeriksanya dulu, apakah kondisinya memungkinkan untuk dilakukan operasi hari ini." Dokter itu langsung masuk ke ruangan UGD, lalu memeriksa Raven. berkat kondisi fisiknya yang kuat maka operasi akan dilaksanakan hari itu juga. Beberapa menit kemudian, anak itu dipindahkan ke ruang bedah.
Wajah Aruna terlihat tegang. takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada anaknya. Tidak anti-hentinya mulutnya merapalkan doa untuk kesembuhan putranya itu.
Julian ikut menunggu operasi itu di luar ruangan bersama Aruna dan juga Vincent. Kondisinya sudah mulai membaik jadi ia memutuskan untuk melepas infus yang ada di tangannya.
Operasi berlangsung selama 6 jam, karena area yang harus dioperasi merupakan bagian yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa. Jadi tidak heran akan memerlukan waktu selama itu.
Perawat membawa Raven keluar dari ruang operasi, lengkap dengan selang-selang medis yang menempel di tubuhnya serta perban yang memenuhi kepalanya. Aruna menangis melihat itu. Namun, dia juga bersyukur anaknya bisa melewati masa kritis dan segera dipindahkan ke ruang rawat.
Julian memindahkan Raven ke kamar VIP agar anak itu lebih tenang dan nyaman. ia menoleh ke arah Aruna. "Sekarang aku sudah menjadi ayah yang baik untuknya, kau masih tidak mau mengakuinya kalau itu anakku juga?"
"Apa maksudmu?" wanita itu baik bertanya. Ia menggigit bibirnya mulai cemas.
Diam-diam Julian mengeluarkan selembar kertas hasil tes DNA, mengulurkannya ke arah wanita itu. "Kau bisa menjelaskan kenapa hasilnya 99% dia adalah anakku? "
Aruna tertegun tangannya gemetar memegangi kertas itu. Air matanya mengalir meluncur begitu saja hatinya terasa sesak. "mungkin itu hanya kebetulan," ucapnya dengan nada bergetar.
Julian terkekeh, ia mesti tidak menyangka karena masih tidak mau mengakui hal itu padahal bukti sudah jelas ada di depan mata. "kebetulan, kebetulan, kebetulan. Kau selalu mengatakan hal itu, padahal buktinya sudah jelas nyata ada di depan matamu. Kau masih bilang ini kebetulan? kau boleh membenciku, tapi jangan egois jika dia memang benar-benar anakku," ucapnya, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia menatap tajam ke arah wanita itu.
Aruna terisak, "Iya, dia memang anakmu. Aku tidak akan menutup-nutupi itu lagi, tapi satu hal yang perlu kau ingat, jangan merebutnya dariku!" ucapnya menegaskan kalimat terakhir.
Julian menatap Aruna dengan wajah serius ia tertegun sejenak, lalu memeluk Aruna. "Terima kasih kau sudah mau mengakuinya."
Aruna menganggukkan kepalanya, meneteskan air matanya di pelukan pria itu. Julian terlihat sangat bahagia bercampur sedih kenapa tidak dari dulu wanita itu mengakuinya.
"Sejujurnya aku tidak ingin merebut Raven darimu, aku hanya ingin tahu dan aku harus bertanggung jawab jika memang dia benar-benar anakku. Maafkan aku telah mengabaikan kalian terlalu lama. Tapi ada satu pertanyaanku untukmu, kenapa kau tidak mencariku selama ini? "
Aruna semakin terisak, mengingat kejadian 5 tahun yang lalu. "Aku sudah mencarimu, tapi aku diusir oleh kedua orang tuamu. Mulai saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan mencarimu lagi dan hidup bahagia hanya berdua dengan Raven, walaupun itu sangat sulit."
Julian semakin mengeratkan pelukannya, lalu menatap tajam ke depan. "Mereka tidak pernah menceritakan apapun kepadaku, aku minta maaf. Walaupun sudah terlambat, izinkan aku menjadi Ayah yang terbaik untuk Raven."
Aruna menganggukkan kepalanya. "Apapun akan aku lakukan untuk kebahagiaan Raven. Dia sangat menyayangimu."
Julian menggenggam kedua tangan Aruna menatap wanita itu penuh keyakinan. "Walaupun sudah terlambat, mari kita mulai hidup baru. Aku janji tidak akan meninggalkan kalian."
"Maaf, aku tidak bisa."
Terima kasih.