—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Yang kini berdiri di depan Ferlay adalah seorang gadis dengan sorot mata yang tidak bisa lagi ia anggap sebagai anak-anak.
Rambut Lyeria menjuntai melewati bahunya, bergelombang indah, hitam legam dengan semburat biru keabuan yang hanya muncul saat cahaya menyentuhnya dari sudut tertentu. Rambut itu dulu hanya kusut dan penuh pita saat ia berlari memanggil-manggilnya, menyeretnya untuk bermain rumah-rumahan. Sekarang… rambut itu membingkai wajah yang terlalu cantik untuk anak seusianya.
Wajah Yuki.
Dengan sedikit perbedaan: lebih lembut, lebih segar. Dan matanya—mata itu—tidak lagi menatapnya sebagai seorang kakak pengganti, atau pelindung. Bukan setiap waktu. Kadang, Ferlay menangkap sorot berbeda. Penasaran. Takut. Dan entah kenapa… ingin.
Gadis itu tak tahu. Atau pura-pura tidak tahu. Bahwa ia telah tumbuh menjadi sosok yang tak bisa lagi disembunyikan dari dunia.
Bunganya mulai merekah. Dan Ferlay tahu, ia bukan satu-satunya yang menyadari. Beberapa pelayan laki-laki mulai diam-diam menatap lebih lama dari seharusnya. Anak-anak muda bangsawan yang bertamu mulai mencari alasan untuk bicara lebih banyak dengannya. Beberapa bahkan mencoba menulis surat.
Semua itu Ferlay bakar.
Dia memutus semua akses. Tidak ada lagi anak lelaki di dekatnya. Tidak ada undangan pesta, tidak ada pertemanan di luar pengawasan. Lyeria tidak tahu semua upaya itu. Tidak tahu bahwa Leon pernah diam-diam mengusulkan agar Lyeria dikenalkan secara resmi di kalangan istana. Ferlay menghentikannya. Bahkan Ellion, saudara seibunya, tak bisa melawan ketika Ferlay berkata, “Biarkan dia menjadi gadis biasa.”
Tapi bahkan di dalam rumah pun, bahkan di bawah pengawasannya sendiri, Ferlay tahu dia tidak bisa membendung waktu.
Hari itu, Lyeria baru saja kembali dari kediaman istri Leon. Wajahnya sedikit merah, suaranya agak ragu saat ia mengetuk ruang latihan Ferlay.
“Kau sibuk, Kak?”
Ferlay hanya menoleh sekilas. Bajunya masih basah oleh keringat latihan, pedangnya baru saja ia letakkan. Tapi matanya tetap gelap, teduh, seperti selalu menahan sesuatu yang tak boleh muncul ke permukaan.
“Ada yang ingin kubicarakan,” ucap Lyeria, mencoba terdengar santai. Tapi langkahnya pelan, penuh pertimbangan. “Soal… sesuatu yang penting.”
Ferlay tidak menjawab. Ia hanya duduk, mengusap tengkuknya, menunggu.
Lyeria berdiri di ambang batas cahaya sore.
“Istri Raja menawariku memilih guru—tentang pernikahan. Pendidikan… semacam itu.”
Ia berhenti sebentar, lalu menatap Ferlay dengan sorot mata yang tidak lagi bisa disebut polos. “Tapi aku pikir, kalau aku harus belajar soal itu… kenapa bukan denganmu?”
Sunyi menggantung seperti jaring laba-laba.
Ferlay mengangkat wajahnya perlahan. Tak ada emosi yang muncul di sana. Tapi sejuk matanya berubah jadi dingin.
“Kau masih kecil, Lyeria.”
Suaranya datar. Bukan karena dia tidak terguncang, tapi karena ia tak ingin menunjukkan seberapa dalam luka itu bisa terbuka. “Tidak sepantasnya kau bicara seperti itu. Apalagi padaku.”
“Tapi umurku sudah lima belas,” jawab Lyeria pelan. “Sebentar lagi enam belas. Aku akan menikah suatu hari. Aku hanya ingin tahu, Kak… apa aku tidak pantas belajar? Tidak pantas dicintai? Kau satu-satunya yang kupercaya untuk melakukannya kak”
“Lyeria.”
Lyeria tersenyum. Manis, polos, tapi ada kilat berbahaya di baliknya. “Kau tidak tertarik mengajarkanku?”
Ferlay berbalik. Ia tidak sanggup menatapnya lebih lama.
“Tidak.”
“Karena kau jijik padaku?”
Ferlay menggertakkan gigi. Ia tahu ini jebakan. Gadis itu sedang mengujinya. Atau mungkin… menguji dirinya sendiri.
Ferlay berdiri.
Satu langkah. Dua langkah. Cukup dekat untuk membuat Lyeria menahan napas, tapi tak cukup dekat untuk menyentuh.
“Kalau kau bicara seperti itu lagi,” ucap Ferlay perlahan, “aku akan membuatmu menyesal telah tumbuh dewasa.”
Ferlay berjalan pergi meninggalkan ruangan dengan kasar.
Lyeria menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang Ferlay. Hatinya berdentum pelan, tapi keras. Kata-kata Ferlay menggantung di udara, menusuk lebih tajam dari pedang mana pun:
“Aku akan membuatmu menyesal telah tumbuh dewasa.”
Tapi gadis itu tidak menangis. Tidak kali ini.
Ia berdiri di sana beberapa saat, lalu menarik napas panjang, seperti sedang menyusun ulang tekadnya yang baru saja retak.
Dia tahu, Ferlay tidak benar-benar membencinya.
Dia hanya menolak. Dengan cara yang kasar, dingin, dan… menyakitkan. Tapi Lyeria juga tahu satu hal: Ferlay selalu menjaga apa yang berharga baginya dengan cara yang paling keras—termasuk dirinya.
Dan karena itu, ia tidak akan menyerah.
Bagaimana pun, dunia akan datang. Surat lamaran akan terus berdatangan.
Cepat atau lambat, akan ada orang asing yang mencoba mencuri momen-momen pertamanya.
Dan jika itu akan terjadi…
Lebih baik Ferlay yang melakukannya.
Orang yang selama ini menjaganya, melindunginya, mengurungnya dari dunia luar dengan alasan-alasan yang ia belum sepenuhnya pahami. Tapi mungkin… hanya Ferlay yang cukup dekat untuk menyakitinya—dan karena itu, cukup berharga untuk dipilih.
Lyeria tersenyum kecil.
Dia akan menunggu waktu yang tepat. Mencari celah.
Karena kalau Ferlay berpikir dia bisa lari dari ini… dia belum mengenal Lyeria sepenuhnya.
...****************...
Lyeria menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia biarkan tergerai, bukan lagi dikepang. Wajahnya ia poles tipis, sekadar memberi warna. Gaun tidurnya malam itu bukan kebetulan. Ia memilihnya karena menurut teman-teman perempuannya, itu jenis gaun yang dipakai wanita saat ingin dianggap wanita.
Parfumnya samar, namun hangat. Seperti bisikan diam-diam yang menyusup ke ruang yang tak diundang.
Dia tahu Ferlay menyukai wanita matang—tenang, percaya diri, dewasa. Lyeria, yang terlalu muda dan terlalu jujur, tahu dirinya bukan seperti itu. Tapi jika ia bisa sedikit lebih berani, mungkin Ferlay akan menoleh.
Ia membuka pintu kamar Ferlay perlahan. Tidak terkunci. Tidak dijawab saat diketuk. Ia tahu Ferlay belum tidur.
Dan ia benar.
Ferlay duduk di sofa panjang, membalik halaman buku. Tatapannya terangkat ketika Lyeria masuk. Ia tidak berkata apa pun. Tapi sorot matanya cukup untuk menghentikan langkah siapa pun—kecuali gadis sekeras kepala Lyeria.
“Ada apa?” tanya Ferlay, tenang, netral. Tapi nadanya turun setengah oktaf.
Lyeria melangkah lebih dekat. “Aku hanya ingin bicara. Atau… duduk sebentar saja, jika kau tidak keberatan.”
Ferlay menutup bukunya.
Tatapannya turun, menelusuri gaun tidur Lyeria. Hanya sepersekian detik—tapi cukup untuk membuat darah Lyeria berdesir campur malu dan gugup.
“Kau harus tidur,” ucapnya. Tegas, namun masih tenang. “Sudah lewat tengah malam.”
“Aku tidak mengantuk.”
“Lyeria.” Nada itu berubah. Tajam. Tak butuh teriakan untuk menyakitkan.
Tapi Lyeria menahan diri. Dia tetap berdiri di sana, meski tubuhnya sudah gemetar sedikit.
“Aku hanya ingin tahu…” Suaranya lirih. “Apa aku masih terlihat seperti anak-anak bagimu?”
“Keluar,” potong Ferlay. “Dan ganti bajumu.”
Lyeria menahan napas, merasa pipinya panas. “Kau tahu aku tidak tahan dingin, aku—”
Ferlay melangkah mendekat. Satu langkah. Dua. Sampai ia berdiri tepat di hadapan gadis itu.
“Lyeria.”
Nadanya berubah. Berat. Tegas. Tanpa ruang untuk ditawar.
“Ganti. Bajumu. Sekarang.”
Tatapannya menusuk. Dingin seperti bilah es, namun tenang seperti badai yang tahu tak perlu berteriak untuk membuat orang takut.
“Jika kau tetap di ruangan ini lebih dari satu menit lagi dalam pakaian seperti itu, aku akan membawamu keluar sendiri, dan kau tidak akan suka caraku melakukannya.”
Lyeria membeku.
Beberapa detik kemudian, ia berbalik. Diam-diam, tanpa membantah, ia keluar dari kamar itu. Tak mengatakan sepatah kata pun.
⸻
Saat ia kembali—masih dengan wajah merah dan tatapan bersalah—ia mengenakan pakaian tidur lamanya. Lengan panjang. Kaus kain lembut dengan gambar bintang. Celana panjang kain katun.
Ferlay hanya melirik singkat, lalu kembali membaca bukunya tanpa mengatakan apa pun.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Lyeria benar-benar merasa… masih terlalu muda.
Lyeria menghentakkan kakinya.
“Kalau aku memang masih anak-anak, anggap saja aku mimpi burukmu malam ini,” desisnya.
Dengan langkah keras, ia berjalan ke ranjang Ferlay. Matanya menantang, tetapi suara hatinya bergetar oleh canggung dan harapan yang tak bisa ia pahami sendiri.
“Aku akan tidur di sini bersamamu malam ini.”
Ferlay tidak menjawab.
Tidak satu pun gerakan keluar dari tubuhnya yang tinggi dan tenang itu. Ia masih memegang bukunya, seolah keberadaan gadis itu tak mengubah apa pun. Tapi Lyeria tahu, ia didengar.
Lalu tanpa meminta izin, ia naik ke ranjang. Berbaring membelakangi Ferlay dan menarik selimut hingga ke dagunya. Dingin. Tapi bukan karena suhu ruangan.
Ferlay menutup bukunya.
Lalu berdiri.
Langkah kakinya mendekat. Namun tak ada tangan yang menarik selimut Lyeria. Tak ada suara lembut atau gertakan. Hanya keheningan, dan suara napas mereka berdua yang saling mendengarkan.
“Kalau kau mau tetap di sini,” ucap Ferlay pelan namun jelas, “jangan bergerak mendekat. Jangan bicara. Dan jangan menatapku.”
Lyeria tidak menjawab. Ia tidak tahu apakah harus merasa menang… atau kalah.