dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 23.
\-Di ruang rawat alana-
Suara beep mesin pemantau detak jantung berdetak lambat namun teratur. Di balik jendela kaca ruang ICU, senja mulai merayap ke langit. Hening. Hanya suara peralatan medis yang terdengar seperti irama kehidupan yang bergema di udara.
Tubuh Alana terbaring lemah di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban putih, dan selang infus menjulur di pergelangan tangannya. Wajahnya pucat, namun tenang, seakan sedang melawan badai dari dalam dirinya sendiri.
Tiba-tiba, kelopak matanya yang berat itu bergerak pelan. Sekilas. Lalu diam lagi. Namun beberapa detik kemudian, kelopak itu terbuka perlahan, seperti seseorang yang sedang bangkit dari tidur panjang dalam kegelapan.
"Alana?" suara Sean terdengar lirih dari sisi tempat tidur. Ia sudah duduk di sana sejak tadi, menggenggam tangan istrinya tanpa henti.
Mata Alana yang setengah terbuka tampak kosong. Namun hanya dalam hitungan detik, matanya mulai bergerak pelan, seperti mencari... sesuatu.
"Sayang... Ini aku, Sean...suamimu," ucapnya lagi, kali ini lebih dekat, suaranya gemetar menahan haru.
Air mata menggenang di pelupuk mata Alana, namun belum mengalir. Matanya masih terbata, tapi detik berikutnya, satu tetes air mata jatuh tanpa suara ke pipinya.
"S- suami?"
Suaranya lirih, disertai serak yang membuat kalimat itu nyaris tak terdengar. Sepasang mata hazel itu menatap lekat wajah pria yang duduk di dekatnya.
Sean mengangguk pelan dan merunduk, menggenggam tangan Alana lebih erat.
"Kau berhasil melewati ini... Kau masih di sini, Alana."
Bibir Alana bergerak sedikit, hampir tak terlihat. Ia berusaha bicara lagi, namun suara itu belum juga keluar. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya lemah. Tapi matanya... mata itu berbicara banyak. Ada rasa sakit, ada kesadaran, dan yang paling nyata...ada hangat yang menyelimuti saat menyadari keberadaan Sean di sisinya.
Namun, ia belum mampu mengenali dengan jelas sosok pria yang menggenggam tangannya itu.
Tak lama...
Seorang perawat masuk, segera memeriksa alat-alat di sekitar ranjang, lalu menatap Sean sambil tersenyum lembut.
"Он приходит в себя. Медленно, но это очень хорошее начало."
(Dia sudah sadar. Perlahan, tapi ini awal yang sangat baik.)
Sean mengangguk, tapi suaranya tercekat.
"Спасибо." (Terima kasih...)
Ia kembali mendekat, mengecup punggung tangan Alana, dan berbisik nyaris tak terdengar,
"Aku tidak akan ke mana-mana. Kita akan lewati ini... bersama."
Setelah perawat itu pergi, Ryuga masuk membawa sekantong buah segar dan satu buket bunga Gerbera Daisy yang melambangkan keceriaan dan harapan.
Sejenak, pemuda tampan dengan tinggi menjulang itu terdiam. Matanya berkaca-kaca saat menatap sang ibu yang kini telah siuman setelah melalui operasi besar.
"Mommy... Mom!"
Ryuga langsung memeluk Alana dan menangis terharu. Ia akhirnya bisa melihat ibunya sadar kembali.
Alana masih tampak bingung. Ia belum bisa mengenali siapa dua pria yang kini ada di hadapannya. Namun, tangan kirinya terangkat perlahan, seperti refleks... mengusap lembut rambut hitam sang putra.
Alana menoleh pelan ke arah Sean, yang membalas dengan senyum penuh haru. Pria itu mengangguk singkat, lalu berbicara,
"Dia Ryu, anakmu... putra tunggal kita, sayang."
"A- anak ki- ta? A- aku tidak bisa mengingat... apa pun?"
Lirihnya pelan, suaranya masih serak, bergetar.
Sean mendekat lagi. Ia mengusap kepala istrinya dengan sangat hati-hati, lalu mendongak menatap langit-langit ruangan untuk menahan air mata yang mulai tergenang.
"Tidak apa-apa... Tidak apa-apa. Terima kasih karena kau telah bertahan sejauh ini," ujarnya, berusaha menyemangati.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu kembali berbicara dengan suara yang tenang namun menguatkan,
"Jangan paksa dirimu untuk mengingat. Kita bisa mengisi kembali ruang-ruang kosong itu... perlahan. Kami tidak akan pernah membiarkanmu merasa asing, sayang."
Usai berkata begitu, Sean dan Ryuga memeluk Alana bersamaan.
Ada kehangatan. Ada kenyamanan yang begitu dalam saat kedua insan itu memeluk tubuhnya yang masih lemah di atas ranjang rumah sakit.
"Terima kasih..."
Ucapnya singkat, namun senyum tipis di sudut bibirnya lebih dari cukup untuk menggambarkan rasa syukur yang tak terucap.
Sementara itu...
Alejandro tetap setia berada di sisi Elena, yang kini berjongkok menaburkan bunga di atas makam sang ayah.
Gadis itu menunduk, menyeka air matanya. Mungkin, ini yang terakhir kalinya ia menangisi kepergian ayahnya.
Tangannya menggenggam erat tanah yang basah bercampur kelopak bunga.
Alejandro ikut berjongkok, lalu menahan kedua bahu Elena, membiarkannya meluapkan luka yang selama ini tertahan.
Sesaat, rasa bersalah menyelusup ke dalam benak Alejandro. Ia tahu... dialah pelakunya. Dan Elena, secara tidak langsung telah ia seret ke dalam rencana gelapnya.
Dialah orang yang membuat Elena kehilangan sosok cinta pertamanya...ayahnya sendiri.
Namun meski tindakannya itu salah, Alejandro tahu, ini langkah yang harus ia ambil... untuk membebaskan gadis itu dari belenggu luka yang selama ini menjeratnya.
"Elena, kita harus pulang sekarang. Langit semakin mendung... ayo," ucapnya lembut.
Ia membantu Elena berdiri, lalu menggenggam tangan dinginnya, mengalihkannya dari tanah basah itu.
Alejandro melepas jaket kulit yang ia kenakan, lalu menyampirkan nya ke pundak gadis itu dengan hati-hati.
Malam harinya...
Elena duduk memeluk lutut, menatap televisi tanpa ekspresi. Sejak pulang dari pemakaman, gadis itu kembali diam dan membisu. Alejandro mulai cemas.
Ia berinisiatif masuk ke dapur, membuatkan nasi goreng dan teh herbal untuk Elena.
Dengan sigap, ia meraih apron hitam yang tergantung di cantolan silver di dinding dapur.
Mendekati kulkas besar, Alejandro membuka pintunya dan memilih beberapa bahan seadanya.
Ini pertama kalinya ia memasak. Jadi, ia menonton video tutorial di YouTube.
Setelah 15 menit berjibaku dengan bahan-bahan asing, Alejandro akhirnya berhasil menata sepiring nasi goreng spesial buatannya di atas piring putih dengan penuh kebanggaan.
Dengan hati-hati, ia membawa nampan ke ruang tengah. Langkahnya perlahan, tapi pasti.
Elena menoleh ke belakang, aroma nasi goreng yang menggoda telah menyapa indera penciumannya.
"Emm... mungkin rasanya tidak sesuai ekspektasi, tapi aku membuatnya dengan sepenuh hati," ucap Alejandro sedikit gugup. Kedua tangannya tampak gemetar saat meletakkan nampan berisi nasi goreng dan teh herbal.
Elena menatap makanan itu, lalu mengangkat wajahnya melihat Alejandro.
Pria itu mengangguk, menyuruhnya mencoba.
Tanpa ragu, Elena menyendok satu suap dan memasukkannya ke mulut.
Alejandro menahan napas, cemas kalau masakannya gagal.
Namun, senyum Elena mengembang. Ia mengangguk mantap, lalu mengacungkan dua jempol ke arah Alejandro.
"Enak? Serius? Kau tidak bohong, kan?" tanyanya, masih ragu.
"Enak... enak kok. Rasanya seperti makan di pinggir laut," jawab Elena, tertawa kecil.
Alejandro penasaran. Ia ikut menyendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya... dua detik kemudian, ekspresinya berubah. Pria itu buru-buru menyemburkan nasi goreng ke tempat sampah.
"Astaga... asin! Ini sangat asin, Elena!"
Elena tertawa terbahak-bahak, tak mampu menahan geli melihat ekspresi Alejandro yang memerah karena keasinan.
"Kan aku sudah bilang tadi, rasanya seperti makan di pinggir laut. Sepertinya nasi goreng buatanmu tercampur air laut," ucapnya sambil tertawa.
Meski Alejandro gagal dalam membuat nasi goreng, tapi ia berhasil membuat Elena tertawa lebar malam itu. Dan bagi Alejandro, itu sudah lebih dari cukup. Ia merasa bangga... pada pencapaian kecil yang sangat berarti.
Tepat tengah malam.
Pukul dua belas lewat lima menit.
Sunyi menyelimuti kamar Elena yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja di sudut ruangan. Gadis itu tertidur pulas, terbungkus selimut tebal hingga ke dagu. Namun, ketenangan itu mendadak terusik.
Duk!
Suara keras, seperti sesuatu dilempar dan menghantam kaca membuat Elena terbangun dengan jantung berdebar.
Ia terdiam sejenak. Mendengarkan. Mencoba memastikan bahwa suara tadi bukan bagian dari mimpinya.
Duk!
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Lebih dekat.
Elena menyibak selimutnya perlahan. Telapak kakinya menyentuh dinginnya lantai kamar. Dengan napas yang mulai memburu, ia melangkah mendekati jendela yang tertutup tirai tipis.
Tangannya gemetar saat menarik tirai itu ke samping. Dan saat itulah matanya membelalak.
Kaca jendela kamarnya dipenuhi coretan merah pekat.
Tulisan itu besar, seperti dilukis dengan amarah atau darah.
"Sampai kapan pun hidupmu tidak akan tenang, Elena..."
"Kau harus mati... MATI!!!"
Elena mundur perlahan, tubuhnya melemas. Tangan menutup mulutnya sendiri agar tak berteriak. Matanya tak lepas dari jendela, dari tulisan mengerikan yang tampak meneteskan cairan merah ke ambang kusen.
Siapa yang menulisnya?
Kapan?
Bagaimana bisa seseorang mendekati jendelanya yang berada di lantai dua?
Pertanyaan-pertanyaan itu berloncatan dalam pikirannya yang mulai panik. Tapi satu hal yang pasti, seseorang pasti sedang mengincarnya.
Dan orang itu...
bisa jadi sedang mengawasinya saat ini juga.