Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sehabis bangun tidur, Aurora langsung menengok kucingnya, karena semalam dia kelelahan dan langsung istirahat tanpa melihat dua kitten tersebut.
Matanya berbinar ketika kedua kucing itu semakin gemuk dan bersih.
Melihat sang nona datang, Black dan White berlari ke arah Aurora dan mengelus kan tubuh mereka ke kaki Aurora.
"Astaga, kalian semakin menggemaskan!" Aurora mengangkat keduanya dan memeluknya dengan erat. "Berapa hari aku tidak bertemu kalian? Satu, dua, lima, sepuluh? Berapa ya?"
"Meong~"
"Aku baru bangun, tapi kalian sudah makan banyak, ya?" Aurora menurunkan keduanya ke lantai, takut Skala tiba-tiba masuk. Kan dia tidak diperbolehkan Skala untuk memegang kucing.
"Bibi memang pandai merawat kalian, haruskah aku meminta Skala untuk menaikkan gaji mereka?" Aurora mengetuk dagunya seraya berfikir.
"Sepagi ini?"
Aurora terkejut mendengar suara berat Skala. Ia berbalik dan mendapati Skala yang sudah rapi dengan pakaian kerja nya.
"Aku merindukan mereka, jadi aku datang untuk menjenguk," jawab Aurora sambil mengusap hidungnya.
Skala melirik kedua kucing yang berdiri di belakang Aurora. Mereka tumbuh dengan sehat dan cepat. Rasanya baru kemarin dia melihat Aurora menemukan mereka di pinggir jalan.
"Ayo sarapan," ajaknya. Ia langsung menarik tangan Aurora. Sedangkan Aurora malah melambaikan tangannya pada Black dan White.
"Kamu tidak ingin istirahat dulu? Apa kamu tidak kelelahan?" tanya Aurora pada Skala.
"Tidak."
Aurora cemberut mendengar jawaban singkat itu.
"Hari ini ada les biola?"
Aurora mengangguk. "Iya. Tapi mulai sekarang jadwalnya berganti. Jam tiga sore les nya dimulai," jelasnya.
Skala mengangguk paham. Mereka berdua pun sarapan bersama seperti biasa.
Lalu, ketika mereka sudah selesai makan, Aurora berkata, "Aku ingin membuat cookies dari resep mommy, apa boleh aku—"
"Tidak." Skala meminum airnya hingga tandas, lalu kembali menatap Aurora dengan datar. "Sekali tidak tetap tidak."
Aurora cemberut. Entah kenapa dia ingin membantah kali ini.
"Aku juga ingin kamu mencoba masakanku. Bukan hanya masakan bibi pelayan saja yang kamu makan. Kata mommy, seorang istri harus bisa memasak agar suami semakin cinta. Lalu, siapa istrimu di sini, aku atau bibi pelayan?" Aurora menatap Skala dengan kesal. Namun, bukannya terlihat seram, dia malah terlihat menggemaskan di mata Skala.
"Aku janji akan hati-hati. Dibantu bibi juga nanti. Ya ya ya? Boleh, ya?" Aurora menangkup tangannya di depan dada dan menatap Skala dengan tatapan puppy eyes.
Skala menghela nafas. Dia menahan senyumnya melihat betapa menggemaskan nya Aurora.
"Tidak gratis," ujar pria itu.
Alis Aurora mengerut. "Haruskah aku membayar dengan dollar?"
Skala menggeleng. Dia menunjuk pipinya. "Kiss me."
Mata Aurora memicing curiga. Apa ini? Kiss? Sekarang membayar sesuatu bisa menggunakan kiss?
Demi bisa memasak dan memegang peralatan dapur, Aurora tanpa ragu melakukannya. Dia langsung mengecup basah pipi Skala hingga berbunyi decakan.
"Sudah?" Mata bulatnya menatap Skala dengan polos.
"Sebelahnya."
Aurora kembali mengecup pipi Skala dengan cepat hingga membuat si pria tersenyum. Tanpa Aurora duga, Skala balik mencium pipinya dengan gemas. Bukan hanya mencium, pria itu juga sedikit menggigitnya lantaran gemas.
"Akh sakit!" Aurora mendorong dada Skala, tapi Skala tidak mau menjauh.
"Skala," rengek Aurora.
Skala terkekeh, akhirnya dia menjauh.
"Maaf," ucapnya seraya mengusap lembut pipi sang istri. "Sakit?"
"Sedikit," jawab Aurora.
Ya bagaimana tidak sakit? Skala saja menggigitnya lumayan keras.
"Pipi kamu tumpah-tumpah, sangat menggemaskan," ujar Skala.
"Gendut, ya?" Aurora menangkup kedua pipinya. "Sepertinya aku harus diet."
Kening Skala mengerut tidak suka. "Tidak boleh!"
Proporsi tubuh Aurora sudah sangat pas sekarang, berisi di bagian tertentu, terutama pipi yang kini sudah menjadi favorit Skala untuk ia gigit.
"Kenapa? Jelek tau!"
"Siapa yang bicara sepeti itu? Katakan padaku, biar aku robek mulutnya." Skala menatap tajam Aurora, seolah dia tidak main-main dengan ucapannya.
Aurora mengembungkan pipinya. Suaminya ini sok galak sekali, ya. Baiklah, kalau begitu, dia akan diam-diam diet, tanpa memberi tahu Skala.
"Ya sudah."
"Ya sudah apa?" tanya Skala.
"Tidak diet."
Seketika wajah Skala berubah sedikit ramah. "Bagus. Kamu harus menurut. Tapi..." Dia menggantung ucapannya, matanya menatap Aurora dengan peringatan. "Kalau sampai kamu diet atau apapun itu tanpa sepengetahuan ku, aku akan menghukum mu. Mengerti?"
Aurora menghela nafas. Gagal sudah rencananya. "Ya," jawabnya dengan malas.
Skala menepuk-nepuk puncak kepala Aurora. "Pintar. Baiklah, aku sudah terlambat. Aku pergi dulu." Dia mencium kening istrinya, dan Aurora balik mencium rahang tegas sang suami.
"Hati-hati."
Skala mengangguk, setelahnya dia segera berangkat ke kantor.
****
Alunan nada dan irama bersahutan begitu indah di sebuah ruangan yang berisi beberapa manusia itu.
Biola yang mereka mainkan menciptakan nada yang begitu khas. Dua puluh murid sedang fokus, sedangkan salah satu wanita paruh baya terlihat mengawasi mereka sembari berjalan di antara murid yang berdiri.
Hingga dua menit kemudian, ruangan itu kembali hening. Para murid yang tadinya berdiri, kembali duduk di kursi mereka masing-masing.
Seorang guru bernama Yasmine berdiri di depan mereka dengan raut tegasnya.
"Bagus, skill kalian semakin meningkat. Aku senang mendengar nada yang kalian ciptakan. Waktu yang cukup singkat untuk menjadi sebagus ini. Aku yakin, kemampuan kalian akan semakin meningkat jika kalian mengasahnya. Jadi, selain di sini, berlatih lah di rumah juga. Mengerti?"
"Mengerti, Miss!" sahut para murid.
Singkat saja les hari ini. Setelah semua selesai, mereka akan pulang. Tas yang mereka bawa hanya tas khusus biola.
"Aurora."
Aurora yang sedang memasukkan biola nya ke dalam tas pun menoleh. "Ya?"
"Aku dengar, di dekat sini ada caffe yang sedang viral. Menu di sana juga banyak, kamu ingin mencoba ke sana bersamaku?" tawar Randy. Lelaki dengan senyum manisnya.
Di sana bukan hanya perempuan saja, tapi ada laki-laki juga, tapi lebih dominan perempuan.
Aurora melihat jam tangannya. Masih jam lima sore sebenarnya. Tapi, apakah Skala akan marah? Bagaimana kalau pria itu sudah pulang?
"Umm ... sepertinya tidak bisa, Randy. Ini sudah terlalu sore," jawab Aurora. "Maaf, ya?" imbuhnya.
Raut wajah Randy terlihat kecewa, namun dia segera tersenyum agar Aurora tidak salah paham. "Ah, tidak apa-apa. Benar katamu, ini terlalu sore," katanya.
Aurora mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku pulang dulu." Dia memakai tasnya lalu melambaikan tangan pada Randy. Setelahnya ia keluar dari sana.
Randy menghela nafas. Aurora, gadis itu sudah mencuri perhatiannya ketika menjadi murid baru di sini. Aurora itu menggemaskan, lugu dan polos, membuat Randy tertarik untuk mendekatinya. Tapi, sepertinya Aurora bukanlah tipe orang yang mudah didekati, karena sudah beberapa kali Aurora menghindar. Oh, atau kah memang Tuhan tidak merestui mereka?
Di sisi lain, Skala menunggu Aurora di depan gerbang.
Tempat les ini bukanlah rumah, melainkan gedung bertingkat. Setiap lantai nya berbeda. Ada les gitar, piano, biola, dan lainnya. Tidak terlalu banyak yang ikut les, setiap kelas ada yang sepuluh, lima belas, bahkan lima orang. Namun, justru tempat les ini adalah tempat les musik terbaik. Hanya saja, peminatnya sedikit. Jaman sudah canggih, mereka bisa belajar melalui internet, tapi Aurora dan anak murid lainnya lebih baik ikut les seperti ini.
Aurora melambaikan tangannya ketika Skala membuka kaca mobil. Gadis itu berlari dan masuk ke dalam dan meletakkan biolanya ke kursi penumpang bagian belakang, sedangkan dia duduk di samping Skala.
"Bagaimana hari ini?" tanya Skala, ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Seperti biasanya," jawab Aurora.
"Ada kendala?"
"Tidak ada." Aurora tersenyum. Pertanyaan simple, tapi begitu berarti bagi Aurora. Ini adalah salah satu bentuk kepedulian dari Skala, itu sebabnya Aurora merasa senang ketika Skala bertanya seperti itu.
"Bagus kalau begitu," ujar Skala. Ia meraih susu kotak yang ada di saku bajunya, lalu memberikannya pada sang istri.
"Terimakasih!"
Susu kotak rasa stroberi ini juga sering Skala berikan setiap menjemput Aurora di tempat les. Simple, tapi bermakna. Tentunya hal ini akan membuat hubungan mereka semakin erat.
bersambung...
lanjuuuut