Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desahan Di Balik Pintu Kamar itu...
Langit tampak redup sore itu, seolah ikut menyerap luka yang tak kasat mata. Rania memarkir mobil di depan rumah dengan hati lega karena berhasil menjemput Ibra, anak tirinya tepat waktu. Bocah sepuluh tahun yang duduk di bangku belakang, asyik bercerita tentang pelajaran seni dan temannya yang berulang tahun.
Begitu Rania membuka pintu rumah, hawa di dalam langsung menyeruak.. lembap, hangat, dan asing. Ada aroma samar di udara.. wangi sabun yang tak ia kenal, bercampur jejak parfum lembut yang biasa dipakai wanita. Bau itu bukan milik rumah ini. Bukan milik Rania. Tapi menggantung di langit - langit seperti sisa kenangan yang tak ingin pergi.
Ibra duduk di ruang tamu, melepas sepatu dan lelahnya sebentar. Sementara Rania beranjak ke ruang tengah, tapi saat ia hendak melangkah, terdengar suara. Samar, tapi jelas.
Derit ranjang. Teratur. Pelan. Diselingi desah napas yang ditahan, lalu dilepas dalam ritme halus, hampir seperti rintih yang dibisikkan.
Pintu kamar utama tidak sepenuhnya tertutup. Celah sempit itu seperti sengaja menyiksanya.
Di dalam sana, Niko.. suaminya berlutut di atas tubuh seorang perempuan, Wulan. Kedua tangannya menopang tubuh, kepalanya menunduk, bibirnya menciumi leher Wulan dengan gerakan lambat, sensual, dan penuh kenangan.
Tubuh Wulan melengkung, kedua pahanya terbuka, mengimbangi setiap dorongan. Jemarinya mencengkram seprai. Desah tertahan keluar dari mulut Wulan.
Kemeja Niko separuh terbuka, dan dari arah Rania berdiri ia bisa melihat bagaimana tangan mantan istrinya menelusuri dada pria yang dulu hanya jadi miliknya.
Deru napas mereka makin berat. Desahan Wulan lebih terdengar sekarang.. tinggi, patah, mendesak. Ranjang berguncang pelan, menciptakan irama erotik yang terus menghantam telinga Rania.
Rania berdiri mematung.
Jantungnya tidak berdetak. Ia bahkan tak yakin maish bernapas.
Itu bukan hanya pengkhianatan.
Itu penyiksaan.
Suaminya mencumbu mantan istrinya.. di ranjang yang selama ini menjadi saksi kelelahan dan kesetiaan Rania. Seprai yang ia ganti, sarung bantal yang ia cuci, kasur yang tiap malam ia tiduri sambil menatap langit - langit dan bertanya, "Apa aku cukup?"
Jawabannya kini tergambar jelas di balik celah pintu itu.
Rania menoleh cepat, berharap Ibra masih duduk manis di ruang tamu dan tak melihat perbuatan menjijikkan kedua orang tuanya. Setengah berjinjit… Rania menyusul Ibra, menyuruh Ibra untuk ke kamar dan mengganti baju. Anak itu menurut tanpa banyak tanya, berlari kecil ke arah kamarnya sambil membawa tas.
Rania berdiri mematung. Tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak melempar atau memaki. Yang ada hanya kehancuran yang dingin... hampa dan mengerak. Ia memilih mundur perlahan, menutup pintu pelan seperti seseorang yang tak sengaja membuka kamar orang lain di hotel.
Di dapur, ia menarik napas dalam - dalam, menatap dirinya di kaca kulkas yang kusam. Kemudian berjalan ke kamar Ibra, mendapati bocah itu tengah mengganti kausnya dengan wajah polos.
"Sayang," katanya lembut, menahan gemetar di ujung lidah.
"Mau makan bakso nggak?"
Ibra menoleh, matanya berbinar. "Mau, tapi Papa mana, Ma?”
Rania tersenyum samar, menusuk dirinya sendiri. "Papa sedang tidur. Kita makan berdua aja, ya."
Dengan jaket tipis dan langkah ringan, mereka keluar rumah. Sementara di dinding kamar utama, ranjang itu masih berderit, berirama dengan pengkhianatan yang belum selesai.
Dan Rania, menggandeng tangan Ibra erat - erat, seolah itu satu - satunya bagian hidupnya yang masih bisa diselamatkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bakso sore itu tak terlalu enak, tapi Ibra makan dengan lahap. Rania duduk di depannya, mengaduk - aduk kuah yang mulai dingin, pikirannya entah ke mana. Sesekali ia tersenyum ketika Ibra bercerita, pura - pura hadir seutuhnya, padahal jiwanya tertinggal di ranjang yang tak lagi suci.
Mereka pulang menjelang maghrib. Rumah sudah hening. Rania tahu Niko dan Wulan pasti telah selesai, mungkin sudah mandi, mungkin sudah membereskan tempat tidur... seolah bisa membersihkan dosa dengan air dan parfum.
Rania mengetuk pintu kamar Ibra, mencium kening anak itu sebelum tidur, lalu berjalan ke ruang keluarga di mana Niko duduk santai, menatap layar televisi yang entah menayangkan acara apa.
"Hai," sapa Niko datar, nyaris biasa.
Rania tersenyum tipis. "Hai juga."
Ia duduk di sofa, tidak terlalu dekat.
Ada jeda antara tubuh mereka, seolah ruang itu tahu betapa mereka kini bukan lagi suami - istri dalam makna sebenarnya.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Suara televisi menjadi latar absurd bagi dua manusia yang sama - sama sedang menyembunyikan sesuatu.
Sampai akhirnya Rania membuka suara, suaranya ringan, nyaris ceria.
"Oh iya..... kamu ketiduran ya? Sampai nggak nanyain aku sama Ibra kenapa belum pulang."
Niko menoleh singkat, lalu kembali ke layar TV.
"Ya maaf, tadi kecapekan."
Rania tertawa kecil. Dingin. "Iya, aku ngerti. Pasti capek sekali kalau... ya, habis kegiatan fisik yang intens begitu."
Niko mematung sejenak. Tapi tidak berkata apa - apa. Tak mengakui. Tak membantah. Dan itu, bagi Rania, adalah bentuk pengakuan yang lebih telanjang dari apapun.
"Ngomong - ngomong soal Ibra," lanjut Rania, mencondongkan tubuh sedikit ke depan menatap lekat mata suaminya, seolah ingin mencari sisa kejujuran di wajah Niko.
"Kapan Wulan mau datang? Maksudku, bukannya dia bilang hari ini mau datang ya? Mumpung ada aku… gak baik kalau kalian bertemu hanya berduaan”
Mata Niko sedikit melebar. Tak ada yang salah dengan kalimat itu.Tidak secara eksplisit. Tapi nadanya... nadanya menusuk. Menohok.
"Entahlah," jawab Niko akhirnya, perlahan. "Aku nggak tahu."
Rania mengangguk pelan. "Sayang, ya. Aku pikir kalian sekarang… cukup akrab untuk ngobrol soal anak."
Hening lagi. Udara jadi berat. Tapi Rania masih tersenyum, tenang, seperti wanita yang tidak baru saja menyaksikan suaminya menggauli perempuan lain di ranjang yang masih menyimpan bekas tubuhnya sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rumah telah sunyi. Ibra sudah terlelap di kamarnya, dan Niko di sofa depan TV... entah benar - benar tidur atau pura - pura. Tapi bagi Rania malam belum berakhir. Ada satu hal yang masih mengganggunya sejak ia kembali ke rumah ini, seprai di ranjang kamarnya.
Ranjang itu.
tempat di mana siang tadi tubuh suaminya menyatu dengan wanita lain. Di bawah atap rumahnya. Di tempat yang seharusnya milik berdua.
Dengan langkah pelan, Rania masuk ke kamar. Lampu ia nyalakan setengah, cukup terang untuk melihat, tapi tak terlalu menyilaukan. Tangannya langsung menarik seprai berwarna off white itu. Masih hangat, masih menyimpan aroma asing yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin parfum Wulan, mungkin keringat mereka. Entahlah, tapi setiap helainya membuat perutnya mual.
Ia menggantinya tanpa suara. Mencabut sarung bantal, menarik seprai dari empat sisi, lalu menggulung semuanya ke dalam keranjang cucian. Ia buka lemari, mengambil seprai baru berwarna biru lembut, warna favorit Niko dulu.
Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Tapi di matanya, ada badai yang mulai pecah.
Setelah kamar tertata, Rania masuk ke kamar mandi. Ia duduk di lantai dingin, menyandarkan tubuh ke dinding keramik, dan disanalah ia membiarkan segalanya tumpah.
Tangisnya keluar tanpa suara. Hanya isak tertahan. Air matanya jatuh perlahan, tapi deras, seperti aliran luka yang tak pernah benar - benar sembuh. Kepalanya tertunduk, kedua tangan menutupi wajah.
Ia merasa hancur sehancur - hancurnya.
Bukan karena ia tak cukup kuat, tapi karena ia terlalu sering menahan. Terlalu sering menjadi istri yang baik, ibu yang bertanggung jawab, namun tak satu pun dihargai.
Dan malam itu, lantai kamar mandi menjadi saksi yang paling jujur dari seorang perempuan yang hancur karena masa lalu yang tak bisa ditinggalkan.
(Bersambung)...