NovelToon NovelToon
MANTU RAHASIA

MANTU RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Nikah Kontrak / Dokter Genius / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 Mantu Rahasia

"Aku akan bunuh dia sekarang juga!"

Rama menggeram marah, siap mengejar Gunawan yang melarikan diri.

"Rama! Kalau kamu berani kejar dia, habis sudah hubungan kita!" seru Ayu dengan suara tinggi.

Mendengar itu, Rama langsung menghentikan langkahnya.

Selama lebih dari setahun menikah dengan Ayu, Rama memang sudah lama menaruh rasa pada Ayu perempuan luar biasa dalam segala hal.

Melihat Rama berhenti, Ayu dengan cepat merebut pisau buah dari tangannya. Tangannya masih gemetar.

"Aku nggak nyangka kamu bisa se-emosional ini," katanya dengan gigi terkatup, kekecewaan dalam matanya begitu jelas.

"Ayu, maaf... Aku cuma nggak bisa nahan emosi," ujar Rama lirih, senyum pahit terpancar di wajahnya.

"Dasar bodoh, kamu Rama!" maki Bu Heni dari samping. "Sekarang setelah kamu mukul Gunawan, Grup Hartono pasti bakal nyerang balik ke keluarga Ningrum. Proyek besar di HAR Mall bisa-bisa batal. Kamu tunggu aja, aku bakal telepon ayahnya Ayu biar urus kamu!" katanya sambil bergegas menelepon.

Ayu menatap Rama dalam-dalam dan berkata tegas, "Aku tahu Gunawan memang bikin kamu muak, tapi kekerasan bukan jalan keluar. Kita hidup di negara hukum, Rama. Kalau kamu main pukul, kamu yang masuk penjara. Paham?"

Rama melihat ketakutan yang masih tergambar jelas di mata Ayu. Dia tak tahan, lalu mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Ayu dengan lembut. Saat hendak bicara, wajah Rama tiba-tiba menunjukkan kebingungan.

Karena entah bagaimana, Rama bisa melihat langsung kondisi tubuh Ayu seakan-akan tembus pandang dan tahu persis apa yang sedang dia alami.

Kemampuan ini datang dari bangkitnya Garis Keturunan Pendekar dalam dirinya, bersamaan dengan warisan Pengobatan Terkuat.

"Ayu, kamu lagi datang bulan, ya? Perutmu sakit? Biar aku bantu pijit."

"Diam!" potong Ayu dengan marah. "Aku lagi ngomong serius, malah kamu asal omong nggak jelas! Mau bikin aku makin kesal? Pergi! Sekarang juga, jauhi aku!"

Rama pun sadar bahwa ucapannya barusan memang tidak pantas.

Rama menghela napas dan berkata pelan, “Jangan marah, aku pergi saja, ya. Aku mau cek kondisi Kakek. Kalau kamu butuh sesuatu, tinggal hubungi aku.”

Setelah mengatakan itu, Rama langsung melangkah keluar dari rumah.

Dari kejauhan, ia masih samar-samar mendengar makian ibu mertuanya, tapi Rama memilih untuk tidak peduli. Fokusnya hanya satu segera kembali ke tempat kakeknya untuk mengobatinya.

Sebagai pewaris ilmu Pengobatan, Rama yakin bahwa ia bisa menyembuhkan kakeknya.

Namun, yang tidak ia tahu, kakeknya telah meninggal setengah bulan lalu—tepat di hari ketika Rama pingsan dan Ayu belum sempat memberitahunya.

Melangkah menjauh dari rumah mewah keluarga Ningrum, Rama berjalan cepat di sepanjang trotoar. Anehnya, sekarang dia bisa langsung mengetahui kondisi kesehatan orang-orang yang ia lewati hanya dengan sekilas pandang.

Hal itu membuat Rama bersemangat bukan main!

Dengan Darah Keturunan Pendekar dan Tabib, dua kemampuan luar biasa yang ia warisi, Rama merasa tak ada yang mustahil baginya untuk meraih kesuksesan besar di masa depan.

Semakin ia memikirkannya, semakin membuncah semangatnya. Sampai akhirnya...

Bruk!

Tanpa sengaja, Rama menabrak seorang wanita yang datang dari arah berlawanan.

“Aduh...” desis wanita itu, menarik napas sambil mengusap dahinya yang terantuk.

Rama sendiri tidak merasa sakit apa-apa. Ia buru-buru menunduk dan berkata, “Maaf banget, itu salahku.”

“Gak apa-apa, kok,” jawab wanita itu lembut, tanpa sedikit pun nada marah.

Saat wanita itu menengadah, Rama tertegun. Wajahnya berbentuk oval sempurna, dengan tubuh ideal yang bisa membuat siapa pun terpesona.

Meskipun Rama sudah terbiasa dengan pesona Ayu yang luar biasa, dan selama ini cukup kebal terhadap kecantikan biasa, dia tetap terpana untuk sesaat.

“Kamu mandangin aku karena aku secantik itu, ya?” celetuk si wanita sambil tersenyum manis, tangan kecilnya masih mengusap dahinya. Benjolan itu tampaknya tidak terlalu parah.

Rama tersenyum, membalas dengan ringan, “Kamu memang cantik... tapi tetap belum secantik istriku.”

“Oh, baiklah. Hati-hati ya lain kali. Jangan sampai nabrak orang lagi. Sampai jumpa!” katanya sambil tersenyum dan melangkah pergi.

“Tunggu, aku belum selesai bicara,” Rama menghentikannya.

“Kenapa lagi? Jangan-jangan kamu mau minta tukeran kontak WhatsApp dan ngajak selingkuh atau semacamnya?”

Wanita cantik itu berkata dengan nada lembut namun menyimpan senyum misterius senyum yang sebetulnya bukan senyum.

“Bukan,” jawab Rama tenang. “Aku sudah menabrakmu dan merasa bersalah. Sebagai permintaan maaf, aku ingin membantumu menyembuhkan penyakitmu.”

“Hah? Maksud kamu?”

“Kamu punya masalah serius di tulang leher bagian belakang. Aku bisa menyembuhkannya. Ini, aku tinggalin nomorku ya. Telepon aku nanti. Sekarang aku harus buru-buru ke rumah Kakek.”

Tanpa banyak bicara lagi, Rama mengambil ponselnya dan menyimpan nomor miliknya sendiri di ponsel wanita itu.

Setelah itu, Rama langsung bergegas pergi.

“Jangan-jangan aku baru saja ketemu tabib jalanan yang sakti? Menarik juga…”

Perempuan cantik itu memandangi punggung Rama yang menjauh dengan penuh rasa penasaran.

Rama segera kembali ke rumah tempat tinggal kakeknya, tapi begitu sampai di sana, rumah itu kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan adiknya, Lestari, ataupun sang kakek.

Jantung Rama langsung berdegup kencang. Panik, ia buru-buru menelepon adiknya.

“Tari, kalian di mana? Kamu sama Kakek pergi ke mana?”

Begitu telepon tersambung, Rama bertanya dengan cemas.

“Kak… Kakek sudah meninggal setengah bulan yang lalu…”

“Apa?!”

Jedarrrr!!

Rama seperti disambar petir di siang bolong.

“Kak… Kakek meninggal dengan tenang, kok. Jangan terlalu sedih ya…”

"Beliau menyuruhku untuk memberitahumu sebelum meninggal bahwa meskipun langit runtuh, kamu tidak boleh meninggalkan Keluarga Ningrum. Terserah kamu mau menurut pesan Kakek atau tidak. Tapi setelah tahu bahwa kamu baik-baik saja akan membuatku merasa tenang."

Ucap Lestari.

"Tari, apa… apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kamu di mana sekarang?"

"Aku pergi ke luar kota bersama pacarku buat mulai usaha. Kakak, jangan khawatir. Aku bisa jaga diri sendiri. Nanti kalau aku pulang, aku akan bayar semua utang yang Kakak Ipar talangi buat kita. Aku nggak akan bikin kamu malu," kata Lestari.

"Ayu yang lunasi semua utangnya?"

"Iya, lebih dari empat ratus juta rupiah. Dia yang tanggung semuanya. Dia juga yang ngurus pemakaman Kakek, bahkan pakai baju duka menggantikanmu. Kakak Ipar itu memang kelihatan dingin dan cuek, tapi menurutku dia orangnya baik."

Hati Rama campur aduk mendengar ucapan adiknya.

"Di mana makam Kakek?"

"Di kebun belakang."

Setelah menutup telepon, Rama pergi sendiri ke makam kakeknya. Ia duduk di sana dari pagi buta sampai senja, lalu dari senja sampai fajar.

Kenangan masa kecil datang membanjiri pikiran dan hatinya, seperti binatang buas purba yang terbangun dari tidur panjang.

Dulu, ia sering ikut kakeknya ke ladang, bertani di lereng gunung, atau memotong rumput sepulang sekolah.

Saat itu, ia sangat ingin cepat dewasa berpikir bahwa saat ia besar nanti, ia bisa hidup bebas dan melakukan apa pun yang ia mau.

Tapi sekarang, di depan makam yang sepi dan sunyi itu, Rama sadar momen-momen paling membahagiakan dalam hidupnya telah direnggut tanpa ampun oleh waktu.

"Kakek, maafkan cucumu yang tidak berbakti ini. Aku akan datang menjengukmu saat aku punya waktu."

Rama mencium papan nisan, lalu berdiri dengan tatapan penuh tekad.

Mulai hari ini, dia tak akan lagi hidup dengan kepala tertunduk.

---

Rama kembali ke rumah Ayu. Begitu melangkah masuk, sebuah apel setengah dimakan tiba-tiba melayang ke arahnya.

Syut!

Berkat kebangkitan Garis Keturunan Pendekar dalam tubuhnya, refleks Rama kini sepuluh kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia dengan mudah menghindar.

Saat menengadah, ia melihat ayah mertuanya, Pak Sidik, yang ternyata melempar apel itu.

Pak Sidik menunjuk Rama dengan wajah pucat karena marah dan berteriak:

"Kamu masih punya muka buat pulang?! Kamu tahu berapa banyak masalah yang udah kamu buat?!"

"Ayah, tolong tenang dulu, kita bisa bicarakan baik-baik..." kata Ayu cepat-cepat mencoba menengahi.

"Proyek Grup HAR di mal itu gagal total, dan semua gara-gara bajingan ini! Aku udah muak ngomong sama dia! Bajingan sialan, hari ini aku akan hajar kamu sampai mampus!"

Pak Sidik meraih bangku kayu, matanya membara karena amarah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!