NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:712
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23 RASA MU

Zia meletakkan loyang panas di atas alas kayu, uap tipis mengepul dari pinggiran kue yang baru matang. Aroma cokelat pekat langsung mengisi ruangan, hangat dan manis—seperti sesuatu yang datang dari masa kecil yang tak sempat dimiliki.

“Kau suka bagian tengah atau pinggir?” tanyanya tanpa menatap Viren.

Viren mendekat, menarik kursi, duduk lebih dekat ke meja dapur.

“Pinggir,” jawabnya, singkat.

Zia mengangguk, mulai memotong perlahan. Ia memberinya potongan cokelat dengan sisi keras dan sedikit gosong, lalu menaruhnya di piring kecil, menyodorkannya tanpa berkata apa-apa.

“Terima kasih,” ucap Viren, lalu mencicipi perlahan. Hangatnya kue masih terasa, meleleh ringan di lidah. Ia menatap Zia yang masih sibuk memotong kue untuk dirinya sendiri.

“Kau yang buat ini?” tanyanya setelah menelan gigitan pertama.

Zia duduk di seberangnya, mengangguk. “Resep dari wanita tua yang dulu tinggal di rumah. Katanya, kalau hari terasa berat, panggang sesuatu yang manis.”

Viren menatapnya lebih lama dari biasanya. “Kau percaya itu?”

Zia mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi memang... saat oven menyala, rumah terasa lebih hidup.”

Hening sejenak. Hanya suara sendok yang menyentuh piring, lalu langkah waktu yang pelan-pelan membawa mereka ke tempat yang lebih nyaman.

Zia menyendok kue dari piring kecil. Kue itu sedikit menempel di ujung bibirnya, dan ia tidak menyadarinya. Viren berdiri di depannya, bersandar pada meja dapur dengan satu tangan menyilang di dada, memperhatikan.

"Bagaimana rasanya," Tanya Zia sambil mengunyah pelan.

"Lumayan?" Jawab Viren, suaranya rendah.

"Lain kali akan ku buatkan kue yang membuatmu memintanya sampai habis.”

Viren tersenyum samar, "Akan aku tunggu."

Hening menyusul, tapi bukan jenis hening yang membuat canggung. Justru terasa seperti dua napas yang saling menyamakan irama, tanpa perlu suara.

Tatapan Zia melirik Viren sebentar, lalu kembali menunduk ke piringnya. Tapi Viren tak berpaling. Pandangannya tertuju padanya, dalam dan tak berkedip.

"Ada noda di sini," ujarnya pelan, menunjuk ke sudut bibir Zia.

Zia, refleks menyeka, tapi meleset. Ia tertawa kecil, "Sudah hilang?"

Viren tak menjawab. Sebaliknya, ia bergerak maju.

Jarinya menyentuh kulit halus di tepi bibir Zia. Sentuhan itu sepele, nyaris tidak berarti, tapi ia merasakan tarikan kecil di dadanya—bukan karena sentuhan itu sendiri, tapi karena reaksi Zia yang membeku seperti rusa tertangkap cahaya.

Zia terdiam. Nafasnya tertahan, matanya hanya berani melihat leher baju pria di depannya. Tapi ia tak mundur.

Viren menatap bibirnya sebentar, lalu mata Zia. Saat ia mendekat, tak ada kata yang keluar. Hanya desakan halus dari ruang dan rasa.

Dan kemudian, bibirnya menyentuh bibir Zia—singkat, lembut, seperti sebuah pertanyaan yang tidak menuntut jawaban. Zia tak bergerak, tapi detak jantungnya terasa sampai ke ujung jari. Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat waktu seolah berhenti.

Saat akhirnya ia melepaskan, ia masih bisa melihat keterkejutan di mata Zia. Wajahnya merah padam. Mulutnya membuka sedikit seperti hendak bicara, tapi yang keluar hanya suara terbata.

“A-apa yang barusan... k-kau…”

Viren tidak menjawab. Ia hanya memerhatikan. Cara Zia duduk lebih kaku, menyibakkan rambut, menunduk dalam kebingungan.

Viren menarik napas pelan, nadanya tenang. “Sejak tadi aku hanya ingin tahu... apakah rasamu semanis kue itu.”

"Dan aku tetap penasaran," kata Viren, "Mungkin aku harus mencoba lagi nanti."

Jantung Zia berdegup kencang. Pria itu benar-benar diluar dugaan dan sulit di prediksi. Tapi ia tidak memprotes, atau bisa di bilang ia lebih menyukainya.

“Kau panik,” ujarnya akhirnya. Nadanya seperti biasa. Tapi dalam hatinya, ia ingin tertawa kecil.

“T-tentu saja aku panik! Itu tadi... itu tadi bukan... aku tidak tahu harus bagaimana…”

“Kau tidak perlu tahu,” ucap Viren. Kalimat itu keluar tanpa beban, tapi di kepalanya, ia tahu: ia sedang menguji sesuatu. Bukan keberanian Zia, tapi kedewasaannya. Seberapa jauh gadis itu bisa menanggung kedekatan tanpa lari.

Kalau dia benar-benar tak suka, ia akan menjauh. Tapi Zia… tidak.

“Bukan salah,” katanya pelan. “Hanya saja… aku belum pernah…”

Itu kalimat yang membuat Viren menatap sedikit lebih lama. Ia tahu Zia polos, tapi mendengar langsung pengakuan seperti itu, ada bagian dari dirinya yang mendadak lembut.

Ia berdiri, merapikan piring, dan menyimpulkan waktunya sudah cukup.

“Aku akan ke ruang kerja. Kalau kau masih gelisah, aku di sana.”

Ia meninggalkannya.

Tapi saat berjalan keluar, ia tetap bisa merasakan tatapan Zia di punggungnya. Penuh tanya. Penuh rasa yang belum bisa diurai.

Dan ia tersenyum kecil—tanpa siapa pun melihat.

Zia masih mematung di depan meja dapur. Tangannya masih menyentuh bibirnya yang terasa hangat, seolah jejak itu belum benar-benar hilang. Seukir senyum perlahan tumbuh di wajahnya. Pipinya memanas, merah muda merambat hingga ke telinga.

Ternyata... sesuatu yang tak terduga itu, tidaklah buruk.

Ia menghela napas pelan, seperti mencoba menenangkan degup jantung yang belum juga stabil. Sisa kue hangat ia simpan ke dalam kulkas dengan gerakan pelan, lalu melangkah kembali ke kamar. Langkahnya ringan, namun pikirannya masih tersesat—dalam perasaan baru yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Sementara itu, di ruang kerja, Viren berdiri membelakangi pintu. Tubuhnya membisu di depan jendela yang mulai menggelap. Di tangan kirinya, ponsel menyala, menyambungkan suara ke seberang.

“Jake...” ucapnya lirih, tapi penuh tekanan. “Cari tahu semua panti yang pernah mengalami kebakaran... di kota ini.”

“Siap, Tuan,” jawab Jake dari seberang.

Langit perlahan berubah warna. Jingga membentang seperti luka yang terbuka di ufuk barat, menandai pergantian siang ke malam.

Viren menurunkan ponselnya. Genggaman di tangan mengeras. Banyak hal kini berjalan di luar perkiraan—dan ia tahu, satu saja lengah, segalanya bisa runtuh.

...----------------...

Malam telah turun sepenuhnya. Kota kembali menjadi lautan cahaya.

Lampu kendaraan membentuk arus merah dan putih yang meliuk di sepanjang jalan raya, seperti sungai yang tidak pernah tidur. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, pantulan lampu mereka menyatu dengan langit, seolah menjadi gugusan bintang buatan.

Di lantai lima sebuah rumah sakit, seorang pria duduk sendirian di ranjangnya. Perban menutupi sebagian besar wajahnya, terutama di pelipis dan rahang. Gigi depannya hilang. Matanya masih bengkak. Luka sayatan di dahinya semakin memburuk, membiru di bawah cahaya lampu ruangan.

Noah memejamkan mata.

Tapi yang datang bukan tidur.

Yang datang adalah bayangan. Ingatan. Teror.

Bukan karena rasa sakit—melainkan ketakutan. Murni. Telanjang. Menggerogoti tubuhnya dari dalam.

Wajah itu...

Bukan wajah yang dikenalnya saat membuat kesepakatan dengan Cinderline. Bukan Samuel. Bukan pengacara. Bukan yang biasanya duduk di meja rapat rahasia.

Wajah itu asing. Tapi menakutkan.

Seorang pria bertopi, dengan luka sayatan di pipinya... dan mata—mata itu!—hijau menyala, seperti binatang liar dalam gelap. Seperti ular yang memandang tanpa kedip.

Noah menggenggam selimutnya erat-erat.

Ia tahu. Semua ini takkan terjadi jika malam itu ia tidak mencoba memancing Cinderline ke pelabuhan.

Flashback

Malam itu, langit bertabur bintang namun udara berbau busuk dari dermaga. Pelabuhan Distrik barat sepi seperti kuburan terbuka. Hanya suara ombak kecil yang menemani langkah Noah.

Ia datang bukan sebagai pembeli. Bukan klien biasa.

Ia datang untuk memancing mereka keluar. Untuk melihat langsung bagaimana organisasi Cinderline bekerja di bawah tekanan.

Ia menyebut alasan hukum: menyewa pengacara Cinderline untuk membelanya dari tuduhan jual beli manusia.

Tapi tujuan sejatinya: memecah celah pertahanan mereka. Menganalisis. Menyusup.

Dan mereka datang.

Tapi bukan pengacara.

Melainkan Samuel.

Bintang malam itu. Sang eksekutif. Sang Bos.

Penampilannya membuat semua jadi nyata.

Namun bukan negosiasi yang terjadi. Begitu Samuel melangkah ke tengah dermaga, orang-orang bersenjata keluar dari balik kontainer. Tanpa aba-aba. Tanpa rencana cadangan.

Kekacauan pecah.

Samuel dipukul. Ditendang. Didorong ke lantai pelabuhan hingga berdarah.

Dan Noah... hanya menonton.

Ia berdiri di kejauhan, tidak bergerak. Tak berusaha menghentikan. Tidak menolong. Hanya menonton, seperti menonton seekor harimau ditikam oleh kawanan anjing.

Lalu—sebuah isyarat.

Entah siapa yang memberikannya. Entah siapa yang salah membaca.

Tapi satu peluru dilepaskan.

DOR.

Darah menyembur. Samuel roboh.

Wajah Noah berubah. Untuk sesaat, ada rasa panik, tapi segera ia kubur. "Ini tidak seharusnya terjadi," gumamnya. “Kita hanya ingin memberi mereka peringatan!”

Tapi nyatanya, darah sudah mengalir.

Tubuh Samuel tergeletak seperti beban mati di atas beton. Setetes demi setetes darah membasahi tanah.

Dan bagian kecil dari diri Noah... menyesal.

Bukan karena Samuel. Tapi karena satu hal pasti:

Ia tidak bisa kembali.

Dari dalam mobil, suara seseorang terdengar. Datar. Dingin.

“—Tinggalkan dia. Kita tidak pernah ada di sini."

Flashback end

Ia mengembuskan napas keras. Sudah beberapa hari ia dirawat di rumah sakit, dan ya—ia memilih menetap di sana. Bukan karena luka-lukanya tak bisa disembuhkan, tapi karena satu alasan lain: takut.

Takut pria itu akan datang lagi.

Dering telepon membuatnya terlonjak. Ia meraih ponsel, menatap layar sebentar, lalu menggeser tombol hijau.

“Halo…”

“Hm. Sepertinya kau masih bernapas setelah malam itu.”

Suaranya datar, dingin, seperti bilah logam menyentuh tulang.

Noah tidak menjawab.

“Aku ada tugas baru untukmu.”

Lalu telepon ditutup.

Ia masih menatap layar saat nada dering notifikasi berbunyi.

Sebuah pesan masuk.

"Ikuti wanita ini."

Disertai satu foto: Seorang wanita muda tengah melamun di sebuah kafe. Rambutnya tersampir di bahu, matanya menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong yang sulit diartikan.

Noah menghela napas, berat.

Tubuhnya belum pulih, kepalanya masih pening, tapi sang tuan muda sudah memberinya tugas baru.

Untungnya—hanya perlu mengikuti wanita ini.

Mungkin kekasihnya.

Mungkin seseorang yang lebih penting.

Atau mungkin... umpan lagi.

Ia tak tahu. Dan itu yang membuat segalanya terasa lebih berbahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!