NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Kaelen, yang biasanya kalem dan penuh logika, mulai terlihat seperti kakak kos yang baru sadar kalau indomie satu-satunya habis. Matanya menatap Lyra dan Arven bergantian seperti mencoba menyambungkan titik-titik informasi yang belum ketemu polanya.

"Oke," katanya akhirnya, tangannya melambai pelan. "Jadi kita sepakat ini bukan mimpi buruk yang kebablasan? Nggak ada yang bangun trus nyalahin ayam tetangga, kan?"

Arven mendengus. "Kecuali ayam tetanggamu ternyata iblis bertanduk dua, mungkin bisa kita salahin."

"...Nggak lucu."

Lyra duduk, memeluk lutut, matanya masih fokus ke simbol yang terus menyala samar di udara. "Itu... itu bukan sembarang tanda. Aku pernah lihat di kitab tua di rumah kakekku dulu. Itu segel. Segel kuno yang biasanya dipakai buat nyegel sesuatu yang... yah, nggak boleh dilepas."

"Jadi kita... ngelepas sesuatu yang seharusnya tetap tersegel?" Kaelen bertanya dengan nada seperti anak kecil yang baru sadar dia nggak seharusnya buka kulkas tengah malam.

Arven mencibir. "Well, selamat datang di klub pembebas makhluk purba yang mungkin pengen makan kita hidup-hidup."

Seketika itu juga tanah di bawah kaki mereka bergetar. Bukan yang 'uh-oh ada gempa' getar, tapi yang 'kita bakal ditelan bumi' getar. Tanah retak pelan di pinggiran lingkaran simbol. Udara berubah jadi berat, seperti ada sesuatu... yang merangkak naik dari bawah sana.

"Oke, ini saatnya lari atau ngelawan?" Kaelen bertanya.

"Pilihan ketiga: panik," jawab Lyra cepat.

Tapi tentu saja Arven yang paling dingin. Ia menarik pedang tipis dari balik jubahnya dan berdiri di depan mereka. "Kalian mundur. Kalau itu yang aku pikirkan, kita nggak akan punya banyak waktu."

Dari dalam tanah muncul bayangan gelap yang menguap seperti kabut tapi padat seperti tinta. Lalu... muncul suara. Pelan, berat, seperti seribu suara bergabung dalam satu nada serak.

"Ah... akhirnya..."

Mereka bertiga mundur bersamaan. Lyra bisa merasakan jantungnya loncat sampai ke tenggorokan. Ini bukan sembarang iblis, bukan makhluk biasa. Ini... sesuatu yang tahu nama mereka bahkan sebelum mereka sempat memperkenalkan diri.

"Kalian... utusan cahaya..."

Kaelen menoleh ke Lyra, suaranya pelan, "Kita... utusan? Sejak kapan kita dikirim siapa pun? Aku bahkan belum ngisi formulir apapun."

Lyra nggak jawab. Karena tiba-tiba, kabut hitam itu membentuk wujud setengah manusia, setengah binatang. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya seperti tengkorak serigala dengan mata membara.

Arven bergerak duluan. Dia menebas, tapi makhluk itu menghilang dan muncul lagi di belakangnya. Secepat bayangan, setajam bisikan.

Pertarungan terjadi begitu cepat dan kacau. Kaelen menarik Lyra menjauh, sambil memutar-mutar gelang di pergelangan tangannya. Gelang itu berubah jadi busur kecil dengan panah yang bersinar biru.

"Kita lawan?"

"Kita tahan dulu, kalau bisa kabur, kabur aja. Ini bukan level kita," Lyra menjawab, tapi tangannya bersiap melempar rune.

Sementara Arven menahan makhluk itu, Lyra dan Kaelen memanfaatkan celah untuk melarikan diri—tapi tentu saja, nggak segampang itu.

Langkah mereka terhenti ketika dari balik hutan, muncul siluet wanita bergaun hitam, matanya kosong, dan rambutnya melayang seperti ditiup angin tak terlihat.

"Kamu pikir kamu bisa kabur dari takdirmu, Lyra Caellum?"

Lyra terdiam. Suara itu... sangat familiar. Seperti... ibunya.

Tapi ibunya sudah mati. Bertahun-tahun lalu.

"Kaelen... kamu lihat dia juga?"

Kaelen menatap wanita itu dengan alis terangkat. "Kalau kamu maksud wanita hantu menyeramkan yang barusan manggil kamu? Y—ya, aku liat. Dan aku pengen nggak liat."

"Ini bukan cuma tentang bertahan hidup lagi..." Lyra bergumam. "Ini soal siapa sebenarnya aku... dan apa yang mau mereka bangkitkan lewat aku."

Kaelen menelan ludah. "Well, selamat datang di level selanjutnya, Caellum. Kita resmi masuk ke ranah... horor eksistensial."

---

Langkah kaki Lyra terhenti di depan gerbang batu besar yang menjulang lebih dari dua kali tinggi badannya. Gerbang itu kelihatan seperti baru keluar dari film fantasi—dipenuhi ukiran kuno, simbol aneh yang entah kenapa berpendar pelan seperti lampu neon kekurangan listrik. Arven menyentuh salah satu simbol, dan cahaya itu langsung menyala terang. Lyra mundur setengah langkah.

“Eh, itu aman, kan?” gumam Lyra, setengah bercanda, setengah serius.

“Kurang lebih... Aman buat yang niat baik,” jawab Arven sambil nyengir.

“Yah, semoga mereka tahu aku cuma pengen hidup tenang dan nggak digoreng setengah matang di dunia aneh ini.”

Kaelen melangkah ke depan, menatap gerbang seolah membaca sesuatu yang tak terlihat. “Ini... gerbang ke Lembah Cermin. Wilayahnya para Penjaga Waktu.”

“Penjaga Waktu?” Lyra mengernyit. “Kita ngomongin jam dinding hidup atau gimana nih?”

Arven dan Kaelen menoleh bersamaan.

“Gini,” Arven mulai menjelaskan, “Penjaga Waktu itu semacam... ras kuno yang punya kekuatan buat melihat dan memengaruhi masa depan dan masa lalu. Tapi mereka nggak asal ikut campur. Cuma kalau dunia bener-bener di ambang kehancuran, baru mereka muncul.”

“Dan kita... mau ketok pintu rumah mereka?” tanya Lyra, suaranya nyaris naik satu oktaf.

“Yep,” kata Kaelen enteng. “Nggak ada pilihan lain. Kalau Raja Kelam udah bisa menembus batas realitas, cuma Penjaga Waktu yang bisa bantu ngebenerin garis waktu yang rusak.”

Mereka bertiga menatap gerbang itu selama beberapa detik.

Akhirnya, Arven menekan simbol terakhir. Dengan gemuruh rendah dan bunyi ‘krrrkkk’ yang kayaknya nggak meyakinkan sama sekali, gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan setapak dari batu yang dikelilingi kabut ungu pekat.

Dan, karena tentu saja hidup Lyra belum cukup absurd, jalan itu menghilang dari pandangan begitu mereka melangkah.

“Oke, aku ngerti kenapa kalian selalu serius. Dunia ini literally punya kabut teleportasi,” Lyra mengeluh sambil menatap ke sekeliling.

Kaelen cekikikan. “Tenang. Kita cuma perlu percaya dan jalan terus.”

Tapi belum sampai lima langkah, suara aneh mulai terdengar. Semacam bisikan... dan—ini bukan dramatisasi—Lyra merasa ada yang menyentuh rambutnya.

“Gue diserem-seremin, nih,” bisiknya ke Arven. “Serius, kayak ada yang bisik-bisik ngajakin minum teh neraka.”

Arven menoleh, menahan senyum. “Kalau kamu bisa bercanda, berarti kamu belum gila. Itu bagus.”

“Makasih atas validasinya,” gumam Lyra.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kabut menghilang dan mereka berdiri di padang luas penuh bunga-bunga keperakan. Cahaya langit berubah jadi lembut, dan waktu seolah melambat. Tapi di tengah semua keindahan itu, berdiri lima sosok tinggi berjubah putih dan mata berpendar biru pucat.

Salah satu dari mereka melangkah maju. “Selamat datang, Penjelajah Garis Waktu. Kami telah menanti kalian.”

Lyra mau angkat tangan dan bilang, “Gue cuma ikut-ikutan, kok.” Tapi dia tahu sekarang bukan waktunya bercanda... meskipun ya, itu satu-satunya hal yang bikin dia tetap waras.

Oke, napas dulu, Lyra.

Karena sekarang dia berdiri di hadapan lima makhluk setinggi tiang bendera, bermata biru neon seperti lampu LED mall, dengan wajah yang… nggak kelihatan. Beneran, wajah mereka kayak dikaburin sensor TV, cuma cahaya yang berpendar pelan dari balik tudung jubahnya. Merinding? Jelas. Tapi Lyra juga penasaran setengah mati.

“Mereka bisa lihat masa depan?” bisiknya ke Arven.

“Dan masa lalu,” jawab Arven pelan. “Dan kemungkinan dari setiap keputusan yang lo ambil. Bahkan pilihan kecil kayak... lo mutusin mau makan nasi goreng atau soto bisa ngubah cabang realitas.”

Lyra menoleh dengan pelan. “Lo becanda?”

“Enggak.”

“Berarti... kalau tadi gue nggak ikut lo ke sini, bisa jadi gue sekarang lagi rebahan sambil nonton drama di dunia nyata?”

“...Dan dunia ini udah kebakar,” timpal Kaelen dengan polosnya.

“Yah, itu juga.”

Salah satu Penjaga Waktu melangkah lebih dekat. Suaranya terdengar dalam kepala mereka, kayak semacam Bluetooth interdimensi.

“Lyra Draveil. Putri dari Auron. Pewaris darah yang terikat pada dua kutub waktu.”

“Wait—apa?” Lyra langsung gelagapan. “Gue... pewaris apa? Kapan daftarnya?”

Penjaga itu tetap bicara dalam nada monoton supernatural.

“Darahmu membawa dua garis waktu. Satu dari pengatur kekacauan, satu dari penjaga keseimbangan. Jika salah satu mendominasi, dunia akan runtuh.”

“Ugh. Bisa nggak hidup gue kayak... sedikit lebih biasa? Setidaknya kayak sinetron gitu?” Lyra menyengir kecut.

Penjaga lainnya maju dan mengangkat tangannya. Cahaya dari telapak tangannya memancar dan membentuk semacam peta bercabang, kayak pohon dengan banyak dahan yang menyebar ke segala arah.

“Ini adalah semua kemungkinan yang berkaitan denganmu, Lyra. Lihat.”

Dan Lyra melihat.

Dirinya... banyak versi dirinya. Satu jadi pemimpin revolusi. Satu lagi malah duduk sendirian di bangku taman, rambutnya udah putih, tapi matanya masih penuh rasa ingin tahu. Ada juga yang... jadi makhluk gelap bersayap hitam? Wow, serem banget.

“Gue... bisa jadi itu semua?” gumamnya.

“Kamu adalah semua itu. Pilihan yang kamu buat sekarang menentukan versi mana yang akan jadi kenyataan.”

Lyra menelan ludah. Oke, ini berat. Dan dia nggak minum kopi dulu, jadi otaknya agak delay.

“Tapi... gimana cara milihnya? Maksudku, hidup gue nggak pernah diajarin milih garis waktu mana yang ‘tepat’. Bahkan gue aja dulu milih jurusan kuliah pake cara suit jari,” ucapnya frustrasi.

Kaelen menyentuh pundaknya. “Kamu nggak harus langsung tahu semuanya. Tapi kamu harus mulai percaya sama dirimu sendiri.”

Arven angguk pelan. “Dan kami bakal bantu lo, dari jalur mana pun yang lo pilih.”

Penjaga ketiga membuka tangan, dan sebuah kristal kecil melayang ke arah Lyra. Di dalamnya, tampak seperti jam pasir—tapi isi pasirnya terbuat dari cahaya yang terus mengalir naik dan turun, seolah waktu di dalamnya nggak tahu arah.

“Ini adalah Kunci Waktu. Ia akan membimbingmu ke tempat yang harus kamu datangi, bukan yang kamu inginkan.”

“Sounds vague and mildly threatening,” gumam Lyra. Tapi ia menerima kristal itu juga. Begitu disentuh, kristal itu langsung menyatu ke dalam telapak tangannya dan menghilang.

“Umm... itu... masuk ke kulit gue?” katanya, agak panik.

“Tenang, itu kayak... semacam aplikasi tapi versi magis,” jawab Arven cepat.

Penjaga Waktu terakhir menundukkan kepala.

“Waktumu terbatas. Sang Raja Kelam telah membuka celah di batas dimensi. Jika kalian tak menghentikannya sebelum fase puncak bulan, semua garis waktu akan runtuh ke dalam kekacauan.”

“Fase puncak bulan? Gitu-gitu maksudnya malam bulan purnama, kan?” tanya Lyra.

Kaelen menatap langit. “Besok malam.”

Lyra hampir pingsan.

Setelah mendapatkan Kunci Waktu (yang entah gimana sekarang nge-camp di dalam telapak tangannya), Lyra dan yang lain kembali menembus kabut waktu. Tapi kali ini beda—setiap langkah mereka seolah disorot spotlight tak kasat mata, dan suara detakan jam raksasa terdengar makin keras, kayak ada Big Ben yang lagi cranky.

“Kenapa sekarang kayak... makin spooky gitu ya?” gumam Lyra, sambil merapat ke Kaelen.

“Karena kita udah ngelangkah ke garis waktu utama. Tempat semuanya mulai dan berakhir,” jelas Arven.

“Wow. Dramatis banget. Gue suka,” kata Lyra—walau jantungnya udah kayak maraton.

Begitu mereka keluar dari zona para Penjaga Waktu, mereka langsung berada di dataran tandus yang retak-retak, penuh reruntuhan kristal, langitnya ungu gelap seperti tinta tumpah, dan… udah bisa ditebak, angin yang bisikannya kayak quote galau.

Di tengah dataran itu berdiri Raja Kelam.

Yup. Dia akhirnya muncul. Dan FYI, dia gede banget. Bener-bener bos terakhir vibes.

Matanya bersinar merah darah, tubuhnya ditutupi semacam armor hidup yang berkedip dengan cahaya kegelapan (yes, it shouldn’t make sense, but it does). Di tangan kirinya, dia menggenggam belati kembar yang tampaknya terbuat dari... kegelapan cair? Entah, jangan tanya Lyra.

“Sudah waktunya, pewaris,” suaranya dalam dan bergetar, kayak... subwoofer yang ngambek.

“Ugh, gue beneran capek dibilang pewaris. Bisa nggak sekali aja gue dianggap kayak manusia biasa? Yang suka nonton drama dan makan keripik pedas?” teriak Lyra.

Raja Kelam menoleh ke arah Arven. “Dan kau... sang penjaga, akhirnya berani menampakkan diri.”

Arven mengangkat dagunya. “Gue nggak takut sama lo.”

“Padahal dulu kau lari,” balas Raja Kelam.

Oof. Itu sakit.

Tapi Arven nggak goyah. Malah dia maju satu langkah dan tangannya menyala dengan aura biru pekat.

“Dulu gue belum tahu siapa gue. Sekarang... gue tahu gue nggak sendiri.”

Lyra dan Kaelen langsung berdiri di sisinya. Tim trio ini sekarang kelihatan kayak cover film action-fantasy edisi spesial.

Raja Kelam menyeringai. “Kalau begitu, mari kita mulai.”

Dan—BOOM.

Langit pecah, petir menyambar dalam spiral ungu, dan tanah di bawah mereka mulai bergoyang. Raja Kelam mengangkat tangannya dan memanggil bayangan-bayangan yang menjelma jadi pasukan mini-versi dia.

“Gila, dia punya fans club?” tanya Lyra sambil nyiapin sihir.

“Lebih kayak kloning gelap sih,” timpal Kaelen.

Pertarungan pun dimulai.

Kaelen langsung melesat, menebas dua bayangan dengan pedangnya yang bersinar emas. Arven bertarung lebih ke arah taktis—mengatur ilusi, mengganggu penglihatan musuh, lalu menjatuhkan mereka dengan satu tembakan cahaya biru.

Lyra? Oke, dia panik dikit. Tapi cuma dikit.

Sampai bayangan pertama menyerang, dan refleksnya nendang makhluk itu pas di... area sensitif.

“Sorry, refleks!” jeritnya sambil lari muter.

Lalu, kristal di tangannya menyala. Tiba-tiba, dunia sekitar melambat. Semua kayak gerak lambat, kecuali dia. Kristalnya seperti membentuk pelindung waktu, dan instingnya berkata: serang pusatnya.

“Kaelen! Arven! Distraksiin dia!”

Keduanya langsung paham. Mereka melesat ke kiri dan kanan, menyerbu Raja Kelam, sementara Lyra berlari lurus ke arahnya.

Dia melompati reruntuhan, menghindari ledakan, dan pas tinggal satu meter lagi dari Raja Kelam, dia meluncurkan sihir cahaya dari tangan kirinya, sambil teriak:

“INI BUAT SEMUA TANGISAN DAN KOPI TUMPAH GUE, DASAR PENEBAR KEGELAPAN!”

Boom. Serangan mengenai tepat di dadanya.

Cahaya dari kristal menyelimuti tubuh Lyra dan menjalar ke dalam luka Raja Kelam. Dia meraung, dan tubuhnya mulai retak-retak, seperti kaca yang dihantam palu.

Tapi sebelum benar-benar hancur, dia berbisik: “Ini belum akhir. Garis waktu lain masih ada... dan aku akan kembali.”

Lalu—BLAM. Cahaya menyilaukan meledak, dan semuanya gelap.

---

Ketika Lyra terbangun, dia ada di rerumputan. Langit cerah. Burung-burung berkicau. Dan Kaelen lagi ngunyah apel di sampingnya.

“Lo ngapain?” tanya Lyra serak.

“Nunggu lo bangun. Gue kira lo mati. Tapi ternyata nggak.”

Arven datang sambil ngeluarin air minum dari kantongnya. “Lo berhasil, Lyra. Tapi... ini belum selesai. Masih banyak garis waktu yang harus diberesin.”

Lyra duduk dan menatap langit.

“Gue baru aja nyelametin dunia, dan lo ngomongnya kayak gue cuma nyapu halaman.”

Mereka tertawa. Dan untuk pertama kalinya, Lyra merasa... sedikit lebih siap menghadapi apapun yang datang.

Bahkan kalau itu berarti harus masuk ke garis waktu berikutnya. Lagi.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!