Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Di Bawah Lampu Kristal
Grand Ballroom Hotel Mulia malam itu disulap menjadi lautan emas dan hitam. Lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya ke ribuan gelas champagne yang berdenting. Alunan orkestra membawakan simfoni klasik, mengiringi tawa renyah kaum elit Jakarta yang hadir merayakan Ulang Tahun Emas ke-50 Adhitama Group.
Di sudut ruangan, dekat pilar marmer, Kaluna berdiri sambil meremas clutch peraknya. Ia merasa seperti ikan kecil yang tersesat di kolam hiu.
"Napas, Kaluna. Kamu terlihat cantik, jangan bungkuk," bisik Julian di sampingnya, menyodorkan segelas mocktail buah.
Kaluna menerima gelas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Julian. Aku... aku nggak biasa dengan keramaian seperti ini. Rasanya semua orang menilai harga gaunku."
Julian tertawa pelan. Ia malam ini terlihat sangat tampan dengan tuksedo velvet biru tua yang membalut tubuh atletisnya.
"Biarkan mereka menilai," ujar Julian santai, matanya menatap Kaluna dengan kekaguman tulus. "Karena faktanya, kamu wanita paling bersinar di ruangan ini. Gaun emerald green itu... perfect choice. Sangat kontras dengan kulitmu."
Kaluna tersenyum tipis, menunduk melihat gaun sutra hijau zamrud berpotongan backless yang ia kenakan. Gaun ini pilihan Julian—hadiah "persahabatan" karena Kaluna setuju menemaninya ke pesta ini. Awalnya Kaluna menolak, tapi sebagai arsitek utama proyek kebanggaan Adhitama, kehadirannya diwajibkan oleh panitia acara.
"Dan terima kasih sudah mau jadi gandengan dadakan saya," tambah Julian. "Jujur saja, datang ke pesta konglomerat sendirian itu membosankan."
"Sama-sama. Terima kasih juga sudah menjemput," jawab Kaluna.
Tiba-tiba, suara dengungan percakapan di ruangan itu meredup. Musik orkestra berhenti sejenak, digantikan oleh fanfare terompet.
Semua mata tertuju ke pintu utama ballroom yang terbuka lebar.
"Hadirin sekalian, mari kita sambut keluarga besar Adhitama!" seru MC dengan suara bariton.
Keluarga kerajaan bisnis itu masuk.
Paling depan adalah Pak Suryo Adhitama, ayah Bara yang duduk di kursi roda karena stroke, didorong oleh perawat. Di sampingnya, berjalan Bu Ratna Adhitama yang tampak agung dengan kebaya modern penuh payet emas dan sanggul tinggi.
Dan di belakang mereka... Sang Putra Mahkota.
Napas Kaluna tercekat.
Bara Adhitama melangkah masuk dengan aura yang begitu mendominasi hingga udara di ruangan terasa menipis. Ia mengenakan setelan jas hitam bespoke yang dijahit sempurna mengikuti garis tubuh tegapnya, dasi kupu-kupu hitam, dan rambut yang ditata rapi ke belakang. Wajahnya tampan, tegas, dan... dingin.
Tapi yang membuat dada Kaluna nyeri bukan ketampanan Bara. Melainkan wanita yang menggandeng lengannya erat.
Siska Maheswari.
Siska malam itu tampil habis-habisan. Ia mengenakan gaun merah menyala (Maroon, warna yang ia paksakan untuk hotel) dengan belahan paha tinggi dan berlian yang melingkari leher jenjangnya. Ia berjalan dengan dagu terangkat, tersenyum lebar ke arah kamera wartawan yang menyilaukan mata, seolah mengumumkan pada dunia: Pria ini milikku.
"Wow," gumam Julian pelan. "Pasangan serasi. Atau setidaknya, pasangan yang mahal."
Kaluna tidak bisa menjawab. Matanya terpaku pada wajah Bara.
Saat rombongan VIP itu berjalan membelah kerumunan menuju panggung utama, mata Bara menyapu ruangan. Tatapan itu bergerak cepat, bosan, sampai akhirnya... berhenti.
Mata Bara menemukan Kaluna.
Langkah Bara sempat melambat sepersekian detik. Matanya membelalak sedikit saat melihat Kaluna dalam balutan gaun hijau yang memeluk tubuh indahnya, berdiri di samping Julian yang tersenyum protektif.
Ada kilatan emosi yang sangat kuat di mata Bara. Keterkejutan. Kekaguman. Dan... kecemburuan yang membara.
Siska, yang menyadari perubahan ritme langkah Bara, mengikuti arah pandang tunangannya. Senyumnya menipis saat melihat Kaluna. Ia mengeratkan pelukannya di lengan Bara, kuku-kukunya yang panjang menekan kain jas mahal itu, seolah mengingatkan Bara siapa yang ada di sampingnya.
Bara memutuskan kontak mata dengan Kaluna secara paksa, kembali menatap lurus ke depan, dan melanjutkan langkahnya menuju panggung.
Kaluna merasa lemas. Rasanya seperti baru saja diputuskan untuk kedua kalinya.
Satu jam berlalu. Acara formal sambutan dan potong tumpeng sudah selesai. Kini saatnya mingle dan berdansa.
Kaluna berusaha bersembunyi di dekat meja dessert, tapi Julian—yang punya banyak kenalan sosialita—kerap ditarik sana-sini untuk mengobrol. Kaluna setia mengekor, berusaha tersenyum sopan.
"Ah, ini dia arsitek berbakat kita!"
Suara Bu Ratna.
Kaluna menoleh kaku. Di hadapannya, Bu Ratna berdiri memegang gelas wine, diapit oleh Bara dan Siska. Mereka bertiga seperti dinding benteng yang tak tertembus.
"Selamat malam, Bu Ratna. Pak Bara. Bu Siska," sapa Kaluna, suaranya terdengar kecil di telinganya sendiri.
Julian segera berdiri di samping Kaluna, meletakkan tangan di punggung wanita itu sebagai gestur dukungan. "Selamat malam, Tante Ratna. Wah, pesta yang luar biasa."
"Oh, ada Julian juga," Bu Ratna tersenyum basa-basi. Matanya beralih menatap gaun Kaluna dengan tatapan menilai. "Gaun yang... berani, Kaluna. Sedikit terbuka untuk acara formal keluarga, tapi cocok untuk menarik perhatian."
Itu hinaan halus. Kaluna tahu itu. Bu Ratna sedang menyindirnya "murahan".
"Menurut saya gaunnya elegan sekali, Tante," potong Julian cepat dengan senyum menawan, membela Kaluna. "Sangat classy. Wajar kalau menarik perhatian, karena memang indah."
Wajah Bu Ratna sedikit masam dibantah begitu.
Bara berdiri diam, satu tangannya dimasukkan ke saku celana. Ia tidak memandang Kaluna. Ia menatap Julian—tepatnya, menatap tangan Julian yang menempel di punggung Kaluna. Rahangnya berkedut-kedut.
"Selamat ya, Kaluna," ujar Siska tiba-tiba, suaranya manis namun berbisa. "Saya dengar dari Bara kamu setuju merevisi desain ballroom jadi Emas dan Marun. Pilihan bijak. Akhirnya kamu sadar kalau selera investor itu yang utama."
Kaluna mengangkat wajahnya, menatap Siska. "Saya profesional, Bu Siska. Tugas saya mewujudkan keinginan klien, terlepas dari preferensi pribadi saya."
"Bagus," Siska mengangguk puas. Ia menoleh manja pada Bara. "Lihat kan, Sayang? Kalau dikasih tahu pelan-pelan, dia juga ngerti kok. Nggak perlu kamu bentak-bentak kayak waktu itu."
Kaluna melihat Bara memejamkan mata sejenak, tampak menahan kesal pada ocehan Siska.
"Julian," suara Bara akhirnya keluar, berat dan rendah. Ia menatap lurus ke mata saingannya. "Saya dengar restoranmu di Senopati sedang ada masalah izin parkir dengan warga?"
Julian tersenyum miring. "Berita cepat sekali sampai ya? Cuma kesalahpahaman kecil, Pak Bara. Sudah beres. Kenapa? Bapak mau bantu urus atau mau beli lahannya sekalian?"
"Saya cuma mengingatkan," ujar Bara dingin. "Fokuslah pada bisnismu. Jangan terlalu sibuk mengurusi hal-hal lain... atau orang lain yang bukan urusanmu."
Ancaman itu sangat jelas.
Julian tertawa kecil, tidak takut sama sekali. "Tenang saja. Saya ahli multitasking. Saya bisa mengurus bisnis dan... menjaga orang yang berharga sekaligus. Apalagi kalau orang itu sedang tidak dihargai oleh orang lain."
Suasana di antara dua pria itu menegang. Udara seolah memercikkan bunga api.
"Permisi," potong Kaluna cepat, tidak tahan dengan ketegangan ini. "Saya mau ke toilet sebentar."
Tanpa menunggu jawaban, Kaluna berbalik dan berjalan cepat menjauh dari lingkaran neraka itu. Ia butuh udara. Ia butuh keluar dari sini.
Toilet wanita di ballroom itu sepi dan mewah, penuh marmer dan kaca besar.
Kaluna menyandarkan tubuhnya di wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat di balik make-up.
"Kau menyedihkan, Kaluna," bisiknya pada cermin. "Kenapa kau datang? Kau cuma menyiksa dirimu sendiri."
Pintu toilet terbuka. Kaluna buru-buru menegakkan tubuh, pura-pura mencuci tangan.
Siska masuk.
Kaluna mematung. Siska berjalan tenang ke wastafel di sebelah Kaluna, mengeluarkan lipstik merah menyalanya.
"Kamu tahu," ucap Siska sambil memoles bibirnya di cermin, tidak menoleh pada Kaluna. "Aku sebenarnya kasihan sama kamu."
Kaluna mematikan keran air. "Maksud Ibu?"
Siska menutup lipstiknya, lalu menoleh. Senyum manisnya hilang, digantikan tatapan dingin yang tajam.
"Bara itu masih mencintaimu. Bodoh kalau aku nggak lihat itu," ujar Siska blak-blakan.
Jantung Kaluna berhenti berdetak.
"Tapi," lanjut Siska, melangkah mendekat hingga aromanya yang menyengat mendominasi. "Cinta dia itu nggak berguna. Cinta nggak bisa bayar utang perusahaan. Cinta nggak bisa menyelamatkan nama baik keluarga Adhitama yang lagi goyang."
Siska menyentuh lengan Kaluna, mencengkeramnya pelan.
"Aku yang bisa. Uangku yang bisa," bisik Siska kejam. "Jadi, nikmatilah tatapan rindu Bara sepuasmu. Tapi pada akhirnya, dia akan pulang ke rumah yang aku beli, tidur di kasur yang aku pilih, dan hidup dengan uang yang aku suntikkan. Kamu? Kamu cuma akan jadi draft kasar yang dibuang ke tempat sampah."
Kaluna menepis tangan Siska.
"Cinta mungkin nggak bisa bayar utang, Bu Siska," balas Kaluna, suaranya bergetar karena emosi. "Tapi uang Ibu juga nggak akan pernah bisa membeli hati Bara. Ibu mungkin memiliki raganya, tapi selamanya Ibu akan tidur di samping pria yang memimpikan wanita lain."
Wajah Siska mengeras. Matanya berkilat marah. Kalimat itu telak mengenai sasaran.
"Hati-hati bicaramu, Arsitek kecil," desis Siska. "Jangan sampai kamu kehilangan pekerjaanmu sebelum gedung itu jadi."
"Saya tidak takut," tantang Kaluna, meski kakinya gemetar. "Saya di sini karena kemampuan saya, bukan karena koneksi Daddy saya."
Siska mengangkat tangan, seolah ingin menampar, tapi pintu toilet tiba-tiba terbuka. Dua orang ibu-ibu sosialita masuk sambil tertawa.
Siska segera menurunkan tangannya, mengubah ekspresinya menjadi senyum palsu dalam sekejap mata.
"Nikmati pestanya, Kaluna," ucap Siska manis, lalu melenggang keluar seolah tidak terjadi apa-apa.
Kaluna mencengkeram pinggiran wastafel, napasnya memburu. Pertahanan dirinya runtuh. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh.
Ia tidak bisa kembali ke pesta itu. Ia tidak sanggup melihat Bara dan Siska lagi.
Kaluna mengambil tasnya, mengusap air matanya kasar, dan memutuskan untuk kabur lewat pintu samping. Persetan dengan sopan santun. Dia harus pulang.
Saat Kaluna berjalan cepat menyusuri koridor sepi menuju pintu keluar samping, sebuah tangan menarik lengannya dan menyeretnya masuk ke dalam sebuah ruangan gelap yang tidak terpakai.
"Lepaskan!" pekik Kaluna panik.
Pintu tertutup. Tubuh Kaluna didorong pelan ke dinding.
Aroma sandalwood dan tobacco memenuhi hidungnya.
"Sshhh... ini aku."
Kaluna mendongak. Dalam kegelapan samar, ia melihat wajah Bara. Pria itu tampak berantakan, dasi kupu-kupunya sudah lepas, rambutnya sedikit acak-acakan. Matanya menatap Kaluna dengan intensitas yang menakutkan.
"Bara? Apa yang kamu—"
"Jangan pergi," potong Bara, napasnya menerpa wajah Kaluna. "Jangan pergi dengan Julian. Jangan biarkan dia menyentuhmu lagi."
"Kamu gila," bisik Kaluna, mencoba mendorong dada Bara. "Siska ada di luar. Ibumu ada di luar."
"Aku tidak peduli!" desak Bara. Ia mengurung wajah Kaluna dengan kedua tangannya. "Aku melihatmu tadi. Bersama dia. Tertawa sama dia. Kamu tidak tahu rasanya, Kaluna... rasanya aku ingin membakar seluruh gedung ini."
"Itu konsekuensimu, Bara!" isak Kaluna. "Kamu yang memilih ini! Kamu yang berdiri di samping Siska!"
"Aku terpaksa!"
"Kalau begitu lepaskan aku!" Kaluna memukul dada Bara lemah. "Biarkan aku bahagia dengan caraku sendiri kalau kamu tidak bisa membahagiakanku!"
Bara terdiam. Napasnya berat. Kalimat itu menghancurkannya.
"Apakah kamu bahagia?" tanya Bara lirih, keningnya ditempelkan ke kening Kaluna. "Apa kamu bahagia sama dia?"
"Dia baik padaku, Bar. Dia tidak menyakitiku seperti kamu," jawab Kaluna jujur.
Bara memejamkan mata, setetes air mata jatuh dari sudut matanya, membasahi pipi Kaluna.
"Maafkan aku..." bisik Bara. "Maafkan aku karena aku pengecut."
Bara menarik wajahnya sedikit, menatap bibir Kaluna. Hasrat dan keputusasaan bercampur di sana.
"Satu kali ini saja..." mohon Bara parau. "Sebelum aku kembali ke neraka itu... biarkan aku merasakan surgaku sebentar."
Dan sebelum Kaluna sempat menjawab, Bara menunduk dan menciumnya.
Bukan ciuman lembut. Tapi ciuman yang putus asa, lapar, dan penuh rasa sakit. Ciuman perpisahan yang tertunda selama lima tahun. Kaluna ingin menolak, tapi tubuhnya mengkhianati logikanya. Tangannya melingkar di leher Bara, membalas ciuman itu dengan air mata yang terus mengalir.
Di ruang gelap itu, di tengah pesta megah yang merayakan kejayaan semu, dua hati yang patah saling memagut, mencoba menyatukan kepingan yang sudah hancur.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️