(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
...Bibir Viola kelu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya, jejak sungai duka yang mengalir deras dari mata yang memerah....
...Revan mendengus jijik. Jemarinya yang kasar terlepas dari rahang Viola, meninggalkan jejak kemerahan. Ia mengambil tisu dengan gerakan cepat, membersihkan tangannya seolah baru terhindar dari kontaminasi....
"Tanda tangani sekarang," titahnya tanpa ekspresi, nada suaranya setajam belati. "Aku tidak punya waktu untuk drama."
...Tanpa sepatah kata pun terucap, Viola melangkah menuju meja kerja. Gerakannya cepat saat meraih pena dan kertas, lalu membubuhkan tanda tangannya. Setiap goresan pena terasa seperti mengukir luka baru di hatinya....
"Selesai, Tuan," ucap Viola datar, suaranya tanpa emosi, sedingin tatapan matanya. "Saya permisi."
"Tunggu," suara Revan menginterupsi langkahnya yang baru beberapa jengkal.
Viola berbalik, menatapnya dengan sorot mata yang membeku. "Ada lagi, Tuan?" tanyanya, nada suaranya setajam es.
...Revan membisu sejenak, tatapannya sulit dibaca. Ia berjalan ke mejanya, membuka laci dengan kasar, dan mengambil sebuah paper bag. Tanpa aba-aba, benda itu dilempar ke arah Viola....
Bugh!
...Suara keras dari paper bag yang menghantam lantai tepat di depan kaki Viola memecah keheningan yang tegang....
"Minum obat itu," titah Revan dengan tatapan menghunus ke arah Viola. "Aku tidak sudi kau mengandung anakku. Hanya wanita terhormat yang layak membawa benihku."
...Viola membeku, matanya terpaku pada paper bag di lantai. Sebuah pil pahit sudah lebih dulu tertelan dalam hatinya. Dengan gerakan lemah, ia membungkuk mengambil bungkusan itu, lalu mendongak menatap Revan dengan sorot dingin yang menyimpan bara kemarahan tersembunyi. ...
"Tentu saja, Tuan. Sama sekali tidak sudi saya mengandung keturunan dari pria seangkuh dan sepicik Anda."
"Kau—berani melawanku?!" raung Revan, amarahnya meledak.
"Memangnya kenapa, Tuan?" tantang Viola, suaranya datar sarat keputusasaan. "Apakah Tuan ingin membunuh saya? Silakan. Saya pun sudah muak dan lelah dengan sandiwara ini." Tatapannya kosong, seolah nyawanya sudah lama pergi.
"KELUAR!" raung Revan, suaranya menggema penuh amarah.
...Tanpa menoleh sedikit pun, Viola berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Tangannya meraih knop dan membukanya lebar....
Ceklek.
"Nyonya..." lirih Bobby, matanya dipenuhi kekhawatiran saat menatap Viola yang tampak begitu rapuh.
...Viola tidak memberikan respons. Ia terus melangkah keluar, kakinya membawanya menjauhi ruangan itu, menaiki tangga menuju kamarnya. Tatapan kosongnya mengabaikan sepenuhnya kekhawatiran yang terpancar dari wajah Bobby....
...Tak lama kemudian, Viola turun kembali. Ia telah berganti pakaian dengan dress sederhana, namun kerapiannya tidak mampu menyembunyikan jejak kesedihan di wajahnya. Di anak tangga terakhir, ia berpapasan dengan Revan dan Bobby yang baru saja keluar dari ruang kerja, siap untuk pergi....
"Emmm... Nyonya, Anda hendak ke mana?" tanya Bobby dengan nada hati-hati.
"Mencari pekerjaan," jawab Viola singkat, tanpa menoleh, dan terus melangkah menuju pintu, meninggalkan Revan dan Bobby yang terdiam di belakangnya.
"Cih! Kau pikir dengan pekerjaan rendahanmu itu kau bisa melunasi hutang 10 miliar? Bahkan jika kau menjual dirimu pun, itu tidak akan cukup," cibir Revan dengan kejam.
Deg!
...Jantung Viola mencelos mendengar hinaan Revan yang menghantamnya seperti pukulan telak. Air mata perih terasa mendesak keluar, namun ia menahannya dengan sekuat tenaga. Dengan langkah lebar dan tergesa, ia keluar dari pintu mansion, berusaha menjauhi suara kejam itu....
"Tuan, Anda—"
"Apa?" potong Revan tajam, matanya menghunus ke arah Bobby. "Ini urusan pribadiku. Kau tidak punya hak untuk ikut campur," tekannya dengan nada dingin dan otoriter.
Semoga suatu hari nanti Anda jatuh cinta separah-parahnya pada Nyonya, Tuan. Dan saat itu tiba, semoga penyesalan menghantam Anda sekeras hinaan yang baru saja Anda lontarkan, batin Bobby geram, menyembunyikan kekesalannya di balik wajah datar.
"Apa kau sedang menghakimiku dalam diam?" tegur Revan, menelisik ekspresi wajah Bobby dengan curiga.
"Ah, tidak mungkin, Tuan," elak Bobby cepat-cepat, menyembunyikan keterkejutannya. Ia bergegas menuju mobil dan membukakan pintu belakang lebar-lebar.
... Revan melengos masuk ke dalam mobil, diikuti Bobby yang segera duduk di balik kemudi. Mobil mewah itu pun meluncur mulus meninggalkan gerbang mansion yang megah....
🌺
🌺
🌺
...Sementara itu, di sisi lain kota, Viola mulai menjelajahi deretan toko-toko kecil dan perusahaan sederhana. Dengan ijazah seadanya yang ia genggam erat, ia memberanikan diri melamar pekerjaan di setiap tempat yang ia singgahi, berharap ada secercah harapan yang sudi menerimanya....
"Huufff... sungguh melelahkan..." keluh Viola lirih, mengusap peluh yang membasahi pelipisnya. Terik matahari siang semakin membakar kulitnya, menambah beban fisik dan mental yang ia rasakan.
...Viola terus menyeret langkah kakinya yang terasa semakin berat, melewati sebuah restoran mewah yang tampak berkilauan. Tiba-tiba, suara bentakan keras memecah ketenangan. Seorang koki berbadan besar menyeret seorang pelayan keluar dari restoran dengan wajah merah padam....
"Mulai detik ini! Kau dipecat!" pekiknya lantang, suaranya menggema di jalanan.
...Viola terdiam sejenak, merasa tidak enak menyaksikan pemandangan itu. Ia berusaha berjalan melewati mereka agar bisa melanjutkan pencarian kerjanya yang belum membuahkan hasil. Namun, langkahnya terhenti oleh sebuah panggilan....
"Nona!" seru sang koki, suaranya kini lebih tenang namun tetap tegas.
Viola menoleh, mengerutkan kening bingung. "A-anu... iya?" jawabnya gugup.
"Anda sedang mencari pekerjaan?" tanya koki itu, matanya menelisik Viola dari atas hingga bawah.
Keraguan masih menyelimuti hati Viola, namun ia mengangguk perlahan. "I-iya, tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian. Cepat ikut saya," potong koki itu, berbalik dan melangkah masuk ke dalam restoran. Nada suaranya tidak terbantahkan.
...Tanpa berpikir panjang, Viola mengikuti. Di dalam, ia segera diberikan seragam pelayan dan tanpa banyak penjelasan, ia sudah berdiri di antara meja-meja makan, melayani tamu-tamu penting dengan jantung berdebar....
(Bersambung)
...*BONUS*...
(Visual Olivia)
(Visual Brian)