Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Camping
Makan malam, aku membuat misua untukku hidangkan di meja makan.
"Paling cepat tiga hari," jawabnya saat aku bertanya berapa lama dia akan ada bisnis luar kota.
Ini suatu kesempatan untukku yang menunggu waktu luang untuk rencana camping anak-anak.
Camping di lereng gunung terlaksana. Acaranya menginap selama 3 hari ini diisi dengan agenda kegiatan yang menyenangkan karena bantuan keuangan dari kak Alan dan kenalan dari teman-teman Devy untuk memberikan pilihan tempat yang sesuai sehingga membantu perencanaan event ini semakin mudah, matang, dan menggembirakan.
Memetik strawberry, memanen daun teh, menunggangi kuda, trip menggunakan jeep menyusuri lintasan track menuruni lereng gunung. Anak-anak sangat bergembira. Aku tersenyum puas, rencana liburan ini berhasil.
Ini menjadi hari terakhir kami menginap di sini, sore ini guru-guru mengadakan agenda di luar rencana dimana diadakan permainan untuk guru-guru termasuk diriku.
"Mis Moy, here! Ada di sini! Kanan! Turn right, right!"
Permainan "dengar suara", ini permainan khusus untukku dan guru-guru dengar lainnya. Kali ini lawanku Devy ketika semua guru telah kalah main dan tersisa dua orang sebagai finalis.
Kedua mataku tertutup, hanya bisa fokus pada suara tim yang memanduku berjalan untuk menangkap bola yang telah ditentukan. Karena aku tim biru, maka aku harus menangkap bola warna biru dan tanpa penglihatanku, aku hanya dipandu oleh timku.
Suara kak Alan mendominasi di telingaku. Terdengar suara meriah bersorak sorai memanggilku untuk mengarahkanku berjalan sesuai tujuan.
Aku berlutut dan meraba benda di sekitarku memutar. Aku menangkap salah satu benda berbentuk bulat segenggaman tanganku.
"Ya, benar!" teriak kak Alan. Mendengar suaranya, aku mengangkat tinggi-tinggi benda yang kupegang.
Lantas, semua orang berteriak karena permainan ini telah mendapatkan pemenangnya dan game pun selesai.
Aku menyingkir sejenak saat anak-anak memutar di sekitar kayu bakar yang sedang disusun oleh karyawan villa untuk menyalakan api unggun malam nanti.
Anak-anak memutar di belakang garis pembatas, mereka sudah tidak sabar menunggu api dinyalakan dan berkobar sambil menikmati kue tart yang dihias menarik buatan Stevi yang sengaja dibuat sebagai snack di waktu petang.
"Lagi ngapain, Miss Moy?" sebuah whipped cream menempel di hidungku, terasa dingin. Ini pasti whipped cream dari kue tar milik anak-anak tadi.
Aku hampir membersihkannya dengan tanganku sendiri, tetapi kak Alan lebih dulu mengusapnya dengan tisu.
"Ngelamun terus?" ujarnya.
Aku menggeleng. Kak Alan tiba-riba datang dan berdiri di sebelahku entah sejak kapan.
"Suka gak di sini? Dingin banget ya udaranya," kata kak Alan sembari menggosokan kedua telapak tangannya, meniupnya, lalu menempelkannya di pipi.
"Tidak, biasa saja. Sudah terbiasa begini," jawabku.
"Terbiasa?"
"Ya, terbiasa dibuat membeku. Hehe, lupakan saja, Kak. Aku bergurau," ujarku.
Villa disewa untuk menginap selama kegiatan ini. Aku turut serta setelah satu kesempatan tersedia ketika Mas Elham mengatakan dia akan keluar kota untuk beberapa hari. Sekurang-kurangnya tiga hari, maka agenda outbond di sekolah dapat aku setujui dan kuikuti.
"Aku gak expect kalau kamu istri kakakku yang garang itu. Bagaimana rasanya? Hahaha."
Aku mengendikkan bahu. Air hangat di gelasku kuputar-putar dengan telapak tanganku untuk meredakan dingin yang membuat tubuh menggigil.
"Dingin," ujarku.
"Hem? Apanya? Udara di sini atau dianya?"
"Dua-duanya, haha."
Lantas Kak Alan menatapku. Sesuatu mungkin terlihat dari mataku, dia tersenyum manis seolah sedang memberikan ketenangan dengan tangannya yang mengusap punggung tanganku yang sedang berpegangan pada besi jembatan pembatas jurang.
Malam hari kami mengadakan api unggun dan memanggang daging, aku dan Stevi--salah satu pengajar di sekolah kami--bagian memanggang daging, sedangkan anak-anak duduk memutar, berpentas, atau diselingi bermain game dengan kak Alan dan guru yang lainnya.
"Mbak Dita! Ayo join?" teriak Devy.
Anak-anak turut melambaikan tangan padaku, mereka memintaku bergabung untuk bermain kartu uno bersama. Aku melambaikan tangan kepada mereka, menyilangkan tangan di dada, dan mengatakan dengan gerakan jariku bahwa aku tidak bisa ikut bermain karena harus memanggang.
Devy bangkit dan menghampiriku.
"Mbak, seru kan adain kelas begini? Anak-anak full senyum begitu pun aku," kata Devy seraya tertawa sembari menempelkan kedua jari telunjuknya di kedua pipi bersilang.
Aku menggeleng-geleng, anak ini pada dasarnya selalu ceria dimana pun dan kapan pun.
"Sewa tempat ini berapa, Dev?"
"Sewa? Gak ada biaya, Mbak. Gratis."
"Gratis? Kok bisa? Fasilitas kamar, api unggun, dan grill ini?" tanyaku.
"Gratis juga, sudah include paket penginapan. Kita gak keluar uang sepeser pun," ujar Devy.
"Villa ini punya kamu? atau temanmu?" tanyaku pada Devy, aku tahu dia orang berkecukupan. Mempunyai Villa bukan hal yang tidak mungkin atau paling tidak dia punya banyak kenalan dan tentu itu akan membantunya mempermudah semua urusan, termasuk kemudahan biaya sewa villa besar ini.
"Bukan, tapi villa ini punya suamimu."
Aku membeku seketika. Aku menoleh, tadi dia mengatakan apa?
"Kok mbak kayak gak tahu, sih? Eh, ya, mungkin lupa ya karena saking banyaknya aset milik suami Mbak?" ujar Devy seperti meledekku.
Aku benar-benar tidak tahu. Banyak yang tidak aku tahu.
"Iya, aku minta izin dulu sama suamiku buat pakai villa ini dan dia yang bilang ke suami, Mbak. Katanya boleh dan no fee, ya sudah. Tempat ini free untuk kita," ujarnya.
Aku menghela napas panjang.
"Padahal Mbak kan bisa langsung minta izin ke suami mbak, gak kayak aku yang lewat perantara sama suamiku dulu. Tapi, karena mbak yang kasih tugas aku cari tempat, ya aku nurut dan ini hasilnya. Hahaha...."
"Gak aku, gak suamiku sepertinya kita ditakdirkan menjadi seorang bawahan, ya? Aku jadi bawahannya Mbak, suamiku jadi bawahan suami Mbak." Devy geleng-geleng kepala, dia meletakkan daging di atas pemanggangan dan sejenak dia menggantikan tugasku membolak-balikkan daging.
"Mbak tahu gak? Katanya, suamiku lagi ada di sini, mungkin ada juga suami Mbak? Iya, kan? Soalnya dimana ada suami, Mbak, di situ ada suamiku juga," lanjutnya.
Aku termangu. Jantungku berdetak kencang. Aku lupa, ucapannya yang bilang akan keluar kota, mungkin di kota ini maksudnya.
"Sejak kapan?"
"Hari ini, ini baru saja aku di telepon memastikan dia jadi datang. Katanya mau mampir ke acara kita dan ketemu sama anak-anak, bagaimana pun sekolah ini kan di bawah perusahaan yang sama tempat suamiku bekerja, Mbak."
Aku mendadak menjadi sesak napas. Aku melihat ke sekitar, adakah sosoknya di sini?
Drtttt... drttt.
"Eh, bentar, Mbak. Ini Mas Kara menelepon," ujar Devy yang membuatku seketika menjadi panas dingin.
"Sudah sampai, Mbak. Mereka ada di depan villa," ujar Devy lantas berlari menuju lingkaran api unggun untuk memberitahukan kabar itu kepada guru-guru yang lain.