Mekar

Mekar

Perawan Tua

"Mama belum ngucapin 'Happy Birthday' ke aku?" Aku memeluk mama dari belakang. Mama yang sibuk menyiapkan sarapan untuk kami sekeluarga menjadi rutinitas kesehariannya.

Mama berbalik memelukku. Menepuk punggungku. "Heum, ya, happy b'day. Semoga panjang umur, sehat selalu, dilancarkan urusannya, dilimpahkan rezekinya, hidup dalam keberkahan, dan cepat dapat jodoh, terus punya momongan." Doa terakhir mama seperti mengganggu telingaku.

Mama menarik tubuhnya dari pelukanku. Mama menatapku lurus, kemudian bibirnya berkata:

"Mana calonnya?" tanya mama. Seketika tutur kata yang penuh doa-doa dan kelembutan itu berubah menjadi pertanyaan yang terdengar mengerikan karena inilah pertanyaan yang akan memicu genderang perang. Kalau sudah begini, aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ya, mama akan mengomel.

"Kapan mau nikah, Dita? Mama sudah cukup tua."

Benar, kan, dugaanku. Mama pasti akan emosi kalau membahas ini. Mama akan terus bertanya, tetapi setelah kujawab ..."Iya, Ma. Nanti."

Pasti jawabanku akan selalu memicu amarahnya lebih memuncak lagi.

"Nanti kapan? Udah kelewat umur itu. Cepat nikah, jangan cuma bisa ngurusin anak orang aja!" semprot Mama.

Di pagi hari yang terang benderang, cerah, berkilau, dan berawan ini. Tidak ada angin, tidak pula ada hujan, tapi pagiku sudah mendung kena semprot mama.

"Iya, Ma," jawabku iya tak iya sambil menarik kursi makan menikmati omelet dan roti panggang buatan mama.

Mama menghela napas keras, lalau nada bicaranya merendah. "Mama gak mau kamu jadi perawat tua, Dit. Kamu lihat tante Tuti, dia usia 45 belum juga nikah. Karena apa? Karena terlalu banyak milih, mau cowok yang kayak gini, kayak gitu. Lihat, sekarang bagaimana?"

"Iya, Ma."

"Kasihan, Dit. Di masa tua sendirian belum dapat pasangan. Paham, kan, kekhawatiran mama?"

"Iya, Mama."

Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan pada mama setiap beliau bertanya dimana calon suami padaku. Ma, andai mama tahu kalau jodohku itu seperti malam tanpa bintang tanpa pelita. Gelap.

Kata mama, kalau perempuan belum menikah di usia 25 ke atas rawan menjadi perawan tua. Itu yang mama tekankan padaku, semakin tua usia wanita semakin sempit kesempatan untuk memilih pasangan hidupnya. Nahasnya, usiaku sudah melampaui itu, lebih tepatnya 2 hari yang lalu usiaku tepat pada 28 tahun. Dan aku turut merasakan kekhawatiran mama. Namun, bagaimana lagi, jodoh belum ada untukku.

Usiaku yang menjelang akhir kepala dua, menurutku itu belum tua-tua amat. Tapi, kenapa aku seakan dituakan dengan usiaku yang baru seumur jagung ini? Hehehe.

Mama memang tidak lagi muda, beliau sering mengatakan ingin melihat garis keturunan yang terlahir dari anak-anaknya sebelum tutup usia, maka dari itu beliau sering bertanya jodoh padaku karena aku anak pertama, gerbang utama mama bisa mengharapkan cucu dariku.

Aku tersenyum geli. Jodoh? Masih belum ada tanda apapun. Ya, ... gak ada hilalnya gitu, Ma. Please, aku juga tidak tahu harus mencari kemana calon suami. Kalau saja ada toko yang menjual suami, pasti sudah aku datangi dan memilih satu untuk menyenangkan hati mama dan supaya mama tidak terus bertanya padaku: "mana calon suamimu?"

"Dit, kamu kalau mama ngomong jangan asal iya-iya aja. Kalau cuma iya-iya aja, mama jodohin kamu, ya?!" ancam mama tentu bukan dengan nada yang ramah.

Aku yang hampir selesai dengan kegiatan sarapanku dan sepanjang kegiatan itu diiringi dengan wejangan mama. Saat sedang memasang kaus kaki, dan bersiap ke tempat mengajar, aku hanya mengangkat alis kepada mama, lalu mengangguk.

"Ya, doakan sajalah, Ma."

"Dahlah, mama jodohkan saja kamu. Kelamaan!" seru mama.

"Iya, deh," jawabku. Aku pasrah, terserah apa kata mama. Mau jodohin, kek. Mau apa-mau apa, sementara aku hanya bisa mengiyakan. Semoga dengan aku mengalah, doa-doa baik mama sampai padaku daripada berbuat durhaka karena melawan ucapannya.

"Maaaah, hei ... sudah, Dita-nya mau berangkat. Udah jangan diomelin mulu," kata papa mengusap punggung mama yang naik turun dengan wajah yang cemberut memandangku.

"Dita berangkat, ya, Pa." Aku mencium tangan papa.

Mama duduk di kursinya, mendengus. Mama diam ketika papa menegurnya. Beliau melipat tangannya sembari menatapku seakan berbelas kasihan. Sorot matanya seakan menyiratkan kesedihan yang mendalam, sebegitu kasihannya pada anak sulungnya ini yang belum laku dipinang pria.

Aku menggeleng dan tersenyum pada mama. Buru-buru aku memeluk mama dan mencium pipinya.

"Apa? Gak usah peluk-peluk Mama," ujar Mama sembari menepuki punggungku.

"Dita berangkat, ya, Ma?" pamitku seraya menyodorkan tangan untuk menyalami mama.

"Iya, deh. Hati-hati. Pulang jam berapa nanti?"

"Agak siang, mau nyetorin tabungan anak-anak ke bank dulu," jawabku.

Mama hanya mengangguk, lalu mencium kepalaku. Aku tahu, meski hampir setiap hari aku sering dimaki-maki olehnya.

Bukan, maksudnya dinasihati secara frontal dan dengan tidak ramah alias bintang satu oleh Mama, tetapi pada dasarnya mama sangat sayang kepadaku. Anak sulungnya ini yang sabar dan selalu dijadikan tumpuan terbesar semua orang tua supaya menjadi contoh untuk adik-adiknya.

Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa dicontoh dariku oleh adik-adikku kecuali satu: upaya kepatuhanku yang tiada tara kepada orang tua yang telah membesarkan kami.

"Dit, nanti mama jodohin kamu sama anak bu Galih, ya?"

Saat aku sedang menyetater motorku. Mama berdiri di tengah pintu, mama memanggilku dan mengatakan hal demikian. Aku tertawa, sungguh tidak bisa menahan tawa.

Anaknya bu Galih? Nyonya terkaya di kompleks perumahan kami. Katanya, semua anaknya laki-laki dan lulusan luar negeri. Aku tertawa ketika mama mengatakan akan menjodohkanku dengan salah satu anak bu Galih karena ini mustahil. Mama sepertinya sedang berkhayal ingin punya menantu idaman seperti anak-anak bu Galih itu.

Mungkin saja suatu saat nanti terwujud, tapi bukan aku, mungkin adikku dengan bontotnya bu Galih?

Aku cukup sadar diri, mereka pasti mencari wanita–calon istri–yang pantas untuk jadi menantu bu Galih, tentu mereka pasti punya kriteria sendiri atau kualifikasi yang tinggi untuk bisa berbanjar menjadi kandidat menantu konglomerat dan pasti bukan spek perempuan sepertiku.

Si gemoy. Aku tertawa geli kalau ingat ketika bu Galih bertemu denganku saat aku melintasi jalan depan rumahnya, beliau akan memanggilku demikian.

"Moy, mau kemana?"

"Moy, sekarang kerja dimana?"

Terpopuler

Comments

Alif 33

Alif 33

masih aman, terpantau bagus kak..
semangat ya

2025-04-22

0

Wanita Aries

Wanita Aries

Mampir thor

2025-06-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!