Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Incaran Mahasiswi
Selepas menyampaikan mata kuliah di fakultas ekonomi, Rendra bergegas keluar dari kelas. Pria itu tampak tergesa-gesa tatkala melihat jam di tangannya menunjukkan pukul empat sore. Sambil berjalan menyusuri koridor kampus, ia mengirim pesan singkat pada Alisa, menanyakan waktu bubaran kantor.
Ketika menuruni tangga, terdengar suara seorang gadis memanggilnya dari belakang. Ia biasa dipanggil Chika, mahasiswi paling aktif di kampus yang senang berorganisasi dari fakultas ekonomi. Gadis berusia dua puluh tahun dengan rambut diikat kuncir kuda itu setengah berlari menuruni tangga.
"Pak Rendra, aku mau bicara serius sama Bapak," kata Chika dengan terengah-engah.
"Bicara soal apa? Apa ini tentang skripsimu?" tanya Rendra.
"Bukan, Pak. Ini lebih privat dari skripsi," jelas Chika, menatap wajah Rendra dengan yakin.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya," ucap Rendra, sambil lanjut menuruni tangga.
"Kenapa? Apa Bapak pengen cepat pulang buat ketemu istri Bapak?" tanya Chika bersungut-sungut.
Rendra yang sudah berjalan lebih dulu, berhenti sejenak dan menoleh. "Apa kamu keberatan?"
"Sangat, Pak! Sangat keberatan!" tegas Chika, lalu menuruni tangga lebih cepat sehingga berjalan lebih dulu di depan Rendra.
Menanggapi kejengkelan Chika, Rendra hanya bisa menghela napas panjang. Sudah ia duga, gadis itu akan bersikap ketus setelah mengetahui pernikahannya dengan Alisa. Berkali-kali Chika memberinya bingkisan dan menyatakan perasaan pada Rendra, tapi entah mengapa hati pria itu tak terketuk sama sekali. Jangankan jatuh cinta pada Chika, tertarik saja tidak.
Setibanya di halaman kampus, Chika menghentikan langkahnya dan duduk di bangku yang tersedia di taman. Tangannya dilipat, mukanya ditekuk. Sesekali ia mendelik pada Rendra yang duduk di sebelahnya, lalu memberengut.
"Baiklah, sekarang silakan sampaikan apa yang mau kamu bicarakan. Sebentar lagi saya harus menjemput istri saya ke kantor," ujar Rendra, sembari sesekali menengok ponselnya, mengecek balasan dari Alisa.
Chika mendengus sebal. "Emangnya sepenting apa, sih, istri Bapak itu? Aku udah berkali-kali menyatakan perasaan, bahkan ngasih hadiah biar bisa jadi pacar Bapak, tapi ... tapi kenapa Bapak malah nikah sama cewek lain, sih? Terus ... bukannya yang akan menikah itu adiknya Bapak? Kenapa justru Bapak sendiri yang menikah? Apa jangan-jangan, Bapak ingin mengelabui dan menghindari aku dengan cara itu? Bapak kejam!" cerocosnya dengan tempo bicara yang cukup cepat.
Rendra mengulas senyum tipis sambil mendesah lemah. "Hmm ... Saya harus mulai menjelaskannya dari mana, ya? Saya juga sebenarnya bingung, kenapa malah saya yang menikah."
"Ih, Bapak ini gimana, sih? Bapak sendiri yang menikah, kenapa malah bingung?" sungut Chika, masih dengan wajah memberengut. Namun, tak lama kemudian ia terperangah tatkala sebuah prasangka terbersit di benaknya. "Jangan-jangan, Bapak sudah menghamili perempuan itu dan terpaksa bertanggung jawab atas kandungannya."
Meringis Rendra tatkala dugaan yang begitu rendah itu keluar dari mulut mahasiswinya. Alih-alih memarahi gadis itu, ia hanya mengusap muka sembari menggeleng pelan.
"Bener, kan?!" Chika menatap Rendra dengan mata membulat sambil menunjuk pria itu.
Rendra tersenyum kecut, lalu berkata, "Ceritanya bukan begitu, Chika. Saat itu adik saya mundur dari pernikahannya, tapi calon mertuanya nggak mau acara itu dibatalkan karena tekanan dari luar. Jadi, saya bertanggungjawab menggantikan adik saya dan menikahi mempelai wanita. Kurang lebih seperti itu lah."
"Kenapa Bapak malah bersedia menggantikan adik Bapak? Apa Bapak memang menyukai mempelai wanitanya? Apa dia lebih cantik dan pintar dari aku, sehingga mau menjadi mempelai pria menggantikan adik Bapak? Padahal masih ada aku, loh, yang selalu berharap sama Bapak," cecar Chika dengan alis saling bertaut.
"Cantik itu relatif, Chika. Nggak etis rasanya membandingkan kecantikan dua perempuan yang sama-sama memiliki keunikan tersendiri," sanggah Rendra.
"Terus, apa alasan Bapak sampai mau menikah sama perempuan itu? Katakan!" desak Chika menatap lekat wajah Rendra.
"Menyelamatkan harga diri dua keluarga. Apa jawaban itu sudah cukup buat kamu?" jelas Rendra.
Chika mengernyitkan kening. "Apa?! Jadi ... Jadi, Bapak menikah dengan perempuan itu bukan berdasarkan cinta?!"
"Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu," kata Rendra singkat.
"Kalau begitu, kenapa Bapak nggak bisa jatuh cinta sama aku? Aku udah melakukan segalanya demi mendapatkan perhatian Bapak. Aku berusaha menjadi mahasiswi terbaik, bahkan aktif mengikuti kegiatan kampus biar Bapak tertarik sama aku. Tapi nyatanya ... nyatanya Bapak malah biasa-biasa aja. Yang ada justru Bapak menikah dengan perempuan lain, yang belum tentu mencintai Bapak," keluh Chika, sambil sesekali menepuk dadanya dengan lemah.
Sejenak, Rendra tertunduk sambil mengangguk pelan, lalu menoleh pada Cika. "Saya mengerti, kamu kecewa dengan semua ini. Tapi, bagaimanapun juga yang namanya perasaan tidak bisa dipaksakan. Bukankah saya sering bilang berulang kali, cobalah membuka hati untuk teman sekampus? Siapa tau kamu akan dicintai dengan istimewa oleh teman atau mungkin kakak tingkatmu."
Chika menggeleng cepat. "Nggak bisa, Pak. Aku cuma cinta sama Bapak, bukan laki-laki lain," tegasnya.
Rendra memegang dahi sembari mengembuskan napas berat.
"Kalau masih ada kesempatan buat aku, aku mau kok jadi madu Bapak. Siapa tau aja Bapak membalas perasaan aku kalau kita tinggal satu atap," usul Chika dengan mata berbinar-binar.
Tercengang Rendra mendengar pernyataan menohok dari Chika. Ia segera menggeleng cepat dan berkata, "Tidak, Chika! Saya mohon, buang pemikiran itu jauh-jauh. Kamu ini mahasiswi cerdas dan berprestasi. Sayang sekali kalau kamu sampai menghabiskan hidup sebagai istri kedua."
"Terus, aku harus gimana, Pak? Aku cintanya cuma sama Bapak," ucap Chika frustrasi.
Belum sempat menjawab, Rendra segera mengangkat panggilan masuk tatkala ponselnya berdering. Rupanya panggilan dari Alisa. Tanpa berlama-lam, ia mengangkat telepon dan menempelkan ponsel di telinga.
"Halo, Alisa. Apa sekarang aku bisa menjemputmu?" sapa Rendra.
"Iya, Kak. Sebentar lagi jemput aku di depan kantor, ya. Kak Rendra nggak keberatan, kan?" tutur Alisa dari seberang telepon.
"Tentu saja tidak. Sekarang juga aku ke sana, ya. Sampai jumpa," pungkas Rendra, mengakhiri panggilan.
Selesai berbincang singkat dengan istrinya, Rendra segera beranjak dari bangku taman. Diliriknya Chika yang masih memberengut di sebelahnya, sambil memasukkan ponsel ke saku celana.
"Saya pergi dulu, ya. Istri saya sudah menunggu," pamit Rendra, lalu berbalik badan.
"Iya," sahut Chika dengan suara datar.
Betapa hampa hati Chika memandang kosong Rendra yang pergi dan semakin menjauh darinya. Kecemburuan masih bergemuruh di dadanya, alih-alih menerima kenyataan bahwa sang dosen tak bisa ia gapai lagi.
"Sebenarnya kayak gimana, sih, cewek yang namanya Alisa itu?" ketus Chika mendengus sebal sambil melipat kedua tangannya.
Sementara itu, Rendra bergegas menuju area parkir setelah mengambil barang-barangnya dari ruangan dosen. Langkah cepat pria itu seakan menunjukkan ketidaksabaran untuk bertemu dengan sang istri yang akan dijemputnya.
Tanpa berlama-lama, Rendra mengemudikan mobilnya meninggalkan kampus. Matanya fokus mengarah ke jalanan dan mengutamakan keselamatan dalam berkendara.
Setibanya di depan gedung tempat Alisa bekerja, Rendra menghentikan mobilnya. Tak lupa, ia mengirim pesan singkat pada istrinya, mengabarkan bahwa ia sudah berada di depan kantor.
Cukup lama pria itu menunggu sambil melirik waktu di jam tangannya. Sudah pukul lima sore. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil, hingga akhirnya Alisa muncul dari gedung itu dengan setengah berlari dan mengusap bawah matanya.
Ketika masuk ke mobil, wajah sendu Alisa terlihat sangat jelas. Mata sembapnya menimbulkan kecemasan di benak Rendra.
"Ya ampun! Kamu kenapa, Alisa? Siapa yang membuat kamu bersedih selama bekerja?" tanya Rendra menatap lekat wajah istrinya.
Alisa menghela napas, lalu menoleh pada suaminya. "Kaivan."
lanjut thorrrr.