Kenzo awalnya adalah siswa SMA biasa, namun karena pacarnya dibunuh, ia bangkit melakukan perlawanan, menggunakan belati tajam dan menjadi pembunuh berantai.
‘Srett…srett… srett… srett’
Remaja itu memenggal kepala setiap orang, dan Kepala-kepala itu disusun di ruang pribadi hingga membentuk kata mengerikan "balas dendam".
BALAS!
DENDAM!
Ruangan itu seolah seperti neraka yang mengerikan!
Kenzo dijebloskan ke penjara sejak saat itu! Di penjara, Kenzo, yang telah berlatih seni bela diri sejak kecil, bertarung melawan para pengganggu penjara dengan seluruh kekuatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Menyeleksi Narapidana Hukuman Mati
Kenzo melangkah keluar dari kantor kepolisian dan menoleh sejenak ke arah bangunan tinggi yang menjulang di belakangnya.
Empat tahun...
Cukup untuk mengubah segalanya!
Begitu kembali ke lantai lima, Max langsung berkata tanpa basa-basi, “Saudara Kenzo, Axel... sudah meninggal.”
Kenzo hanya mengangguk tenang, tak menunjukkan ekspresi apa pun. Lalu ia melambaikan tangannya pelan. “Panggil ketujuh belas orang lainnya. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”
Max sempat melirik wajah Kenzo yang tampak sulit ditebak, tapi tidak bertanya apa-apa. Ia segera berbalik dan berlari keluar. Tak sampai sepuluh menit, ketujuh belas orang dari kelompok pertama sudah berkumpul, berdiri berjajar rapi di lantai lima.
Kenzo menyapu mereka dengan tatapan dingin, lalu membuka mulut, suaranya tenang namun tegas, “Tadi... ada seseorang yang menemui aku. Kalian bisa tebak siapa dia?”
Kayden terkekeh, “Kudengar Saudara Kenzo punya kekasih kecil... namanya Selena. Jangan-jangan...”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Riko langsung menyikut perut bawah Kayden. Kayden menahan sakit, membungkuk sedikit, tapi tetap diam, ekspresinya datar.
“Dengar baik-baik!” Riko berkata lirih.
Di sudut ruangan, mata Harimau Gila menyempit tajam. “Saudara Elang... sudah saatnya?”
Kenzo mengangguk pelan. “Sudah. Lima belas hari dari sekarang... kita akan meninggalkan tempat ini.”
Dalam sekejap, ketegangan menyelimuti ruangan. Delapan belas pasang mata langsung menyala seperti bara api, membara dan haus akan dunia luar. Wajah-wajah mereka seperti binatang buas yang sudah terlalu lama dikurung dan siap menerkam kapan saja.
“Apa yang pernah kujanjikan... sekarang akan kutepati.”
Mereka saling berpandangan, lalu hampir bersamaan, semuanya menjatuhkan diri, berlutut dengan penuh hormat di depan Kenzo.
Dengan suara bulat dan dalam, mereka berteriak, “Kami bersumpah setia pada Saudara Kenzo sampai mati! Hidup kami... tidak akan pernah menyesal!”
Kenzo mengangkat tangan. “Berdiri semuanya. Orang yang menemuiku tadi adalah pejabat tinggi dari pemerintah pusat... Kaito, Wakil Direktur Biro Keamanan Negara.”
Ucapan itu langsung membuat semua orang membelalakkan mata. Biro Keamanan Negara? Wakil Direktur? Status seperti itu bukan main-main.
Kenzo melanjutkan, suaranya makin serius, “Tidak ada yang namanya makan siang gratis, apalagi mimpi tanpa harga. Kita dilepas karena membawa misi.”
Harimau Gila tersenyum samar. “Apa pun itu, dengan kita semua di sini, tak ada yang mustahil. Katakan saja, Saudara Kenzo.”
“Misi ini... luar biasa.” Kenzo menatap mereka satu per satu. “Kita akan menguasai dunia bawah!”
Lalu ia menjelaskan secara ringkas rencana besar dari Kaito, tentang tiga puluh enam orang lainnya, tentang sistem persaingan, dan tentang tujuan akhir: menyatukan kekuatan dunia bawah untuk negara.
Satu per satu mereka terdiam, lalu tawa aneh pun mulai pecah. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa penuh kegilaan dan haus darah. Suara mereka menggema di lantai lima, membangkitkan aura mematikan yang hampir bisa tercium di udara.
“Aku suka permainan semacam ini!” seru salah satu dari mereka.
“Melawan maut... sambil mengukir nama di neraka? Hahaha, keren!”
Namun setelah tawa mereka mulai mereda, Harimau Gila angkat bicara, suaranya dalam. “Saudara Elang, kita memang bermain dengan para politisi, dan itu menyenangkan. Tapi jangan lupa pepatah lama... ‘burung mati, busur dibuang.’”
Kenzo menyeringai kecil, penuh percaya diri. “Benar. Kita saling memanfaatkan. Tapi... siapa pemburu, siapa mangsa—semuanya akan ditentukan di akhir permainan. Dan aku percaya... kitalah pemburu terakhir.”
Baron menjilat bibirnya, matanya menyala penuh semangat. “Negara ini memang kuat, tapi di dalamnya kekuatan-kekuatan besar saling bersaing. Selama kita bisa memanfaatkan situasi dengan tepat, kita punya peluang menjadi pemenang terakhir dalam permainan berdarah ini.”
Gavien menimpali, “Saudara Kenzo, bukankah Pak Tua Kaito bilang kita bisa membentuk tim berisi delapan puluh orang? Saat ini, kita sudah punya delapan belas orang. Dalam pertempuran pagi tadi, dari delapan puluh satu orang yang ikut, lima belas berhasil mengeksekusi misi dan membawa pulang lima kepala musuh. Setelah aku dan Saudara Max berdiskusi, kami memutuskan hanya membawa sebelas orang dari mereka. Mereka tidak mengalami luka serius dan semuanya bertarung seperti iblis. Sayangnya... kami harus meninggalkan empat orang lainnya.”
Kenzo mengangguk perlahan. “Tempat kita terbatas, jadi tak perlu merasa bersalah. Sampai saat ini, kita sudah punya dua puluh sembilan orang. Masih butuh lima puluh satu lagi. Aku punya data lengkap tentang semua narapidana hukuman mati di gedung Timur. Sepuluh hari ke depan, kalian harus bekerja keras dan menyaring mereka satu per satu. Lebih dari dua ribu orang, target awal kita adalah memilih tiga ratus yang paling kuat. Dari situ, kita akan lakukan seleksi lanjutan.”
Ia menatap satu per satu anak buahnya, suaranya berubah dingin dan tajam.
“Kriteria pertama adalah kekuatan. Tapi itu belum cukup. Yang lebih penting—kesetiaan, dan karakter. Ingat baik-baik, meskipun kita semua adalah terpidana mati, kita masih manusia. Kita harus memiliki hati, dan punya nilai. Itu adalah syarat utama jika kita ingin kembali ke masyarakat sebagai manusia, bukan sekadar alat pembunuh.”
“Gavien, kau yang pimpin seleksi. Harimau Gila dan Kayden untuk sementara tetap di lantai lima. Fokus pemulihan.”
“Siap!” Semua orang menjawab serempak, suara mereka bergemuruh.
“Oh, satu hal lagi.” Saat Gavien dan yang lainnya hendak beranjak pergi, Kenzo kembali bersuara. “Jangan terang-terangan menyebarkan berita bahwa kita bisa keluar dari penjara ini. Tapi... bocorkan sedikit. Sebarkan perlahan. Kalian pasti tahu maksudku. Jangan terlalu mencolok, tapi cukup untuk mengobarkan api.”
Gavien tersenyum. “Tenang saja, Saudara Kenzo. Urusan begitu... aku tahu cara mainnya.”
Tak lama setelah Kenzo memimpin kelompoknya menyerbu markas musuh dan mengguncang kekuatan tiga faksi sekaligus, gedung Timur yang sebelumnya sudah bergolak kini kembali seperti dilempari bom. Suasana mendidih seketika. Layaknya minyak panas disiram air, seluruh penjuru penjara meledak dalam hiruk-pikuk dan kegilaan yang tak terbendung.
Malam kedua setelah kekalahan besar itu menjadi malam tanpa tidur bagi seluruh gedung Timur. Di balik bisikan-bisikan gelap lorong dan jeruji, sebuah rumor perlahan menyebar, menghantui setiap sudut sel:
Kenzo adalah agen rahasia dari Divisi Keamanan Nasional. Ia datang ke sini bukan sekadar sebagai narapidana, tapi untuk satu misi—merekrut para terpidana mati berbakat untuk tugas rahasia tingkat tinggi. Siapa pun yang dipilih, dan berhasil... akan memperoleh kebebasan.
Tidak ada yang tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi satu kata dalam rumor itu telah menggetarkan jiwa mereka lebih dalam dari luka atau cambukan mana pun:
Kebebasan.
Sebuah kata yang sudah lama mereka kubur, sebuah harapan yang mereka anggap sudah terkubur bersama vonis mati. Kini, harapan itu muncul kembali, menyelinap perlahan ke dalam hati yang telah beku.
Gerbang yang selama ini tertutup rapat... seolah membuka sedikit celah.
Bagi mereka yang selama ini hanya menunggu ajal, bagi para binatang buas yang telah kehilangan rasa takut dan perasaan, bagi para jiwa yang telah hancur dihantam rasa bersalah, penderitaan, dan penyesalan... kini, nyala untuk hidup itu meledak, begitu liar, begitu gila.
Pada malam tanpa tidur itu, di tengah sunyinya gedung Timur, lebih dari dua ribu narapidana hukuman mati tiba-tiba menyadari satu hal—mereka masih manusia. Mereka masih hidup!
Mereka merindukan satu kata yang sudah lama hilang dari kamus hidup mereka—bertahan hidup.
Mereka mendambakan sesuatu yang dulu terasa mustahil—kebebasan.
Dan lebih dari itu, mereka rindu pada sebuah perasaan yang telah lama dikubur dalam gelapnya penjara—martabat.
Di saat yang sama, di balik semua kegilaan dan kehancuran, muncul rasa lelah yang mendalam. Lelah menjadi anjing penjaga, boneka hiburan, dan pion berdarah dalam permainan para penguasa. Kini mereka mendambakan kebebasan, tak peduli berapapun harga yang harus dibayar.
Asal bisa keluar dari neraka ini... nyawa pun jadi taruhannya.
Mereka bukan orang-orang bodoh. Sebaliknya, mereka pernah menjadi raja di dunia bawah, penguasa jalanan, jenius kriminal, atau pemimpin perang. Mereka tahu persis—satu-satunya jalan keluar, satu-satunya harapan, adalah Kenzo.
Yang harus mereka serahkan hanyalah dua hal: kesetiaan dan kekuatan.
Maka, malam itu, setiap narapidana yang yakin dirinya cukup kuat dan cukup gila menatap bulan yang menggantung di balik jeruji besi dengan mata menyala. Menanti saat malam menghilang dan fajar datang.
---
Keesokan paginya, saat lonceng pagi berdentang, gedung Timur seperti meledak.
Semua orang melupakan sarapan, melupakan aturan, dan berhamburan ke luar. Mereka berkumpul di depan gedung Darah Harimau, tempat di mana Sang Darah Elang—Kenzo—bersemayam. Semua menanti... sang pemimpin baru mereka.
Namun ketika alarm udara segar berbunyi tepat pukul tujuh, yang muncul bukan Kenzo.
Melainkan secarik kertas merah yang ditempel di dinding besi, dipenuhi tulisan tinta hitam yang tajam dan tegas. Di sana, tertera tiga ratus nama.
Gavien berdiri di depan kerumunan. Ia mengangkat kertas itu tinggi-tinggi sambil berbicara lantang, suaranya menggelegar memenuhi halaman.
“Di sini ada tiga ratus nama—tiga ratus narapidana paling kuat di gedung Timur. Mulai hari ini, Kelompok Darah Elang resmi merekrut lima puluh satu orang dari antara kalian. Hanya lima puluh satu! Mereka akan lahir dari tiga ratus nama ini! Proses seleksi dimulai hari ini. Cek nama kalian, kembali ke sel, dan bersiap. Kelompok Darah Elang akan memberikan kejutan... yang tak akan kalian lupakan.”
Di sampingnya, Riko berdiri dengan ekspresi garang, suaranya dingin seperti es.
“Mungkin banyak dari kalian tidak puas dengan daftar ini. Tak masalah. Kami... tidak akan melarang kalian membunuh! Dalam waktu lima hari, siapa pun yang merasa pantas, silakan bunuh salah satu nama di daftar merah ini. Jika kalian berhasil, bawa kepalanya dan datang ke gedung Darah Harimau untuk ikut ujian.”
Begitu kata-kata itu keluar, suasana mendadak sunyi. Hening... mematikan.
Setengah menit kemudian, perlahan, mata-mata liar mulai menyala.
Tatapan ganas mulai bergeser satu per satu—ke orang-orang di sekitar mereka.
Meski nama-nama dalam daftar merah melambangkan kekuatan tertinggi, ketika kebebasan dipertaruhkan... semua jadi berani. Bahkan jika itu berarti kematian.
Darah akan tumpah, demi sebuah harapan.