Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang terlambat namun tepat
Keesokan paginya, rumah masih sunyi. Sisa-sisa pesta semalam masih berserakan di ruang tamu.
Gelas kosong, tisu bekas, dan sepatu yang tergeletak sembarangan membuat rumah itu tampak seperti bukan milik Aira lagi.
Delon bangun dengan wajah masam. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, lalu menutupnya kembali dengan kasar.
"Mana kopi ku" tanyanya ketus.
Aira yang sedang melipat pakaian di ruang tengah menoleh pelan.
"Kamu bisa bikin sendiri, Delon. Aku lagi beresin baju."
Delon menatapnya tajam. "Sekarang kamu mulai membantah? Gara-gara semalam? Jangan drama deh. Itu cuma piring. Nggak usah lebay."
Aira menghela napas, menahan emosi yang mendidih di dalam dirinya.
Ia tidak menjawab. Tapi diamnya malah membuat Delon semakin naik pitam.
Delon menghampirinya, merebut pakaian yang sedang dilipat dan melemparkannya ke lantai.
“Aku yang bayarin semuanya di rumah ini! Makan kamu, tempat tinggal kamu! Sekarang kamu malah sok melawan?”
Aira menatap pakaian yang berserakan di lantai. Tangannya mengepal. Kali ini, tidak ada air mata. Hanya ketegasan.
“Aku nggak butuh dibayar untuk dihargai, Delon,” katanya pelan, tapi penuh keteguhan.
“Dan kamu udah terlalu lama memperlakukan aku seperti aku ini bukan siapa-siapa.”
Delon tertawa sinis. “Kamu mau apa? Keluar dari rumah ini? Silakan!”
Aira menatapnya. Dingin. Tenang. Tapi penuh luka yang tak akan ia izinkan tumbuh lagi.
“Iya. Aku akan pergi,” ucapnya.
Delon terdiam, seolah tak menyangka kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut Aira.
Tapi Aira sudah bergerak. Ia mengambil tas ranselnya, memasukkan pakaian secukupnya, dompet, dan buku catatan kecil yang selama ini menjadi tempatnya menyimpan perasaan yang tak bisa ia ucapkan.
Tanpa tergesa, ia berjalan ke pintu. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi.
“Terima kasih karena kamu udah nunjukin siapa kamu sebenarnya. Sekarang aku tahu... aku layak untuk hidup yang lebih baik.”
Dan untuk pertama kalinya, Aira membuka pintu rumah bukan untuk menyambut seseorang, tapi untuk membebaskan dirinya sendiri.
Langkahnya ringan, meski dadanya sesak. Tapi ia tahu, kepergian ini bukan akhir.
Ini awal. Awal dari pencarian dirinya yang sesungguhnya.
Bus melaju pelan menyusuri jalanan kota. Di dalamnya, Aira duduk diam memandangi langit yang mulai berubah warna.
Tangannya menggenggam erat ransel di pangkuan, seperti mencoba merangkul sisa keberanian yang ia punya.
Sesampainya di depan rumah Dinda, Aira sempat ragu melangkah. Sudah lama mereka tidak bicara akrab.
Tapi sebelum sempat ia mengurungkan niat, pintu rumah terbuka.
Dinda berdiri di ambang pintu, tersenyum hangat meski matanya menatap penuh tanya.
Aira melangkah pelan, dan saat jarak mereka cukup dekat, Dinda langsung memeluknya erat.
Pelukan itu hangat—bukan karena kasihan, tapi karena rasa peduli yang tak pernah benar-benar hilang.
“Kamu terlambat datang ke titik ini, Ra. Tapi aku bangga akhirnya kamu berani pergi,” bisik Dinda.
Aira membalas pelukannya, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Terima kasih udah mau nerima aku,” jawabnya pelan.
Hari itu Aira menginap di kamar tamu rumah Dinda. Ia duduk di ranjang kecil, menatap langit-langit, meresapi keheningan yang berbeda.
Tak ada bentakan. Tak ada sindiran. Tak ada rasa takut saat hendak memejamkan mata.
Malamnya, Dinda masuk ke kamar sambil membawa dua cangkir teh hangat.
Mereka duduk berdampingan, seperti dulu sebelum semuanya berubah.
“Aku pikir kamu udah nggak mau ngobrol sama aku sejak kamu milih Delon,” kata Aira sambil memegang cangkirnya.
Dinda tersenyum miris. “Bukan nggak mau. Aku cuma nggak bisa lihat kamu menyakiti diri sendiri dan pura-pura bahagia.”
Aira mengangguk. “Aku juga baru sadar... aku hilang terlalu jauh. Aku bukan Aira yang dulu lagi.”
“Tapi kamu bisa jadi Aira yang baru,” ucap Dinda mantap. “Yang lebih kuat. Yang lebih bahagia. Asal kamu mau sembuh.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Aira tidur nyenyak.
Bukan karena semua luka sudah hilang, tapi karena akhirnya... ia berada di tempat yang aman.
Pagi menyapa dengan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar tamu. Aira terbangun dengan perasaan asing—tenang.
Tidak ada suara pintu dibanting. Tidak ada ponsel berdering dengan pesan perintah. Yang terdengar hanya suara burung dan aroma roti panggang dari dapur.
Ia berjalan ke luar kamar, menemukan Dinda sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Dinda sambil menyajikan telur dan roti.
Aira mengangguk, lalu duduk di kursi kayu. “Aku bahkan lupa rasanya tidur tanpa rasa takut.”
Mereka makan dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan nyaman.
Aira tahu, hari itu ia harus mulai dari awal. Hidupnya bukan lagi tentang Delon. Ia harus mulai memikirkan masa depannya sendiri.
“Din, aku mau cari kerja lagi. Mulai dari nol nggak apa-apa, yang penting aku berdiri di atas kaki sendiri,” kata Aira.
Dinda mengangguk dengan senyum. “Itu langkah bagus. Tapi jangan buru-buru. Sembuhkan dulu dirimu. Kamu berhak bahagia, bukan sekadar sibuk lari dari masa lalu.”
Aira terdiam. Kata-kata itu seperti menampar, tapi dengan kasih.
Benar—selama ini ia terlalu sibuk bertahan, hingga lupa rasanya memperjuangkan diri sendiri.
Siang harinya, Aira membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Di halaman kosong, ia mulai menulis:
Hari pertama tanpa Delon.
Aku tidak hancur. Aku bernapas. Aku bebas.
Mungkin ini bukan akhir dunia. Mungkin... ini awal dari hidupku yang sebenarnya.
Ia menulis dengan air mata menetes—bukan karena sedih, tapi karena lega. Ia telah memutuskan untuk pergi, dan ternyata... dunia tidak runtuh.
Hari-hari pertama di rumah Dinda berjalan pelan, seperti potongan waktu yang memberi ruang bagi Aira untuk bernapas kembali.
Tidak ada lagi tekanan, tidak ada suara keras, tidak ada wajah yang mencibir setiap gerak-geriknya.
Tapi di dalam hati, luka masih menganga. Luka yang tak tampak dari luar, tapi menyesakkan di dalam.
Suatu sore, saat Aira sedang duduk di teras rumah, ia membuka galeri ponselnya.
Foto-foto masa lalu bermunculan—dirinya bersama Delon, senyuman yang dulu ia kira tulus, pelukan yang ternyata hanya kamuflase dari manipulasi.
Aira menatap satu per satu, hingga akhirnya, ia memilih: hapus semua.
Butuh waktu beberapa menit. Jempolnya sempat ragu. Tapi saat file terakhir terhapus, ia merasakan napasnya lebih ringan.
Dinda yang baru pulang dari minimarket, melihat ekspresi Aira yang berbeda. “Kamu kelihatan lebih... lega?”
Aira tersenyum tipis. “Aku baru buang semua kenangan yang harusnya udah kubuang sejak lama.”
Dinda duduk di sampingnya. “Pintar. Luka nggak akan hilang dalam semalam, tapi kamu bisa berhenti menyesap racunnya.”
Aira menatap langit yang mulai jingga. “Kadang aku marah sama diri sendiri. Kenapa aku nggak pergi dari dulu? Kenapa harus nunggu sampai dihina, dilempari piring, direndahkan... baru sadar?”
Dinda menggenggam tangan Aira. “Karena kamu manusia. Kita semua butuh waktu buat bilang ‘cukup’. Tapi kamu udah berani bilang itu sekarang. Dan itu yang penting.”
Malam itu, Aira menulis lagi di buku catatannya:
Aku tidak sempurna. Aku terlambat menyadari. Tapi aku berani memulai. Dan itu cukup untuk hari ini.
Perlahan, ia mulai menyusun ulang kepingan-kepingan dirinya.
Bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk menjadi versi baru dari seorang Aira—yang tahu rasanya terluka, dan tidak akan membiarkan dirinya dilukai lagi.