Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 19 - Semangat Azura!!!
Beberapa minggu telah berlalu...
Azura kini sedang berdiri di depan cermin kamarnya dengan mengenakan gaun panjang yang berwarna krem.
Tangannya yang dulu terluka kini telah sembuh meski bekas kemerahan masih samar terlihat. Luka di dahinya juga mulai memudar meski menyisakan sedikit memar yang tertutup poni halusnya.
Azura menyentuh bekas luka itu dengan pelan sambil menatap bayangannya sendiri dan berkata, “Tubuhku boleh sembuh… tapi hatiku belum tahu harus ke mana.”
Tok tok tok tok!!!
Tiba-tiba suara ketukan pelan membuyarkan lamunannya.
“Nona Azura, sarapan sudah siap," seru seorang asisten.
“Baik, aku segera turun.”
Setelah tiba di ruang makan, Azura duduk di kursinya lalu menyentuh secangkir teh hangat sambil memandangi kursi kosong di seberangnya. Kursi yang ia harap suatu saat nanti Rangga bisa duduk sarapan bersamanya.
“Aku harus mencoba lagi. Aku belum menyerah.”
Setelah sarapan, Azura mengambil syal dan berjalan ke taman. Di kejauhan, ia melihat sosok Rangga yang sedang duduk di bawah pohon tua sambil melukis.
Ia tampak tenang hari ini, tidak ada penjaga yang mendekat, seolah semua tahu hari itu adalah ‘hari damai’ untuk Rangga.
“Pagi, Rangga…” sapa Azura sambil melangkah pelan mendekatinya.
Rangga tidak menoleh, tapi kuasnya tetap bergerak di atas kanvas. Tidak ingin menyerah Azura pun semakin mendekat dan duduk di sampingnya.
“Apa kau sedang melukis lagi?,” tanya Azura lagi sambil tersenyum.
Rangga akhirnya menoleh meskipun sedikit namun tatapannya tidak menakutkan, hanya kosong… dan seberkas rasa penasaran.
“Kamu… mimpi…” ucap Rangga.
“Apa maksudmu?, ” tanya Azura, berharap Rangga mau menjelaskan ucapannya itu.
Rangga kembali menatap lukisannya. Di sana, tergambar sosok wanita berambut panjang yang sedang memeluk seorang anak kecil. Lukisan itu persis seperti dalam mimpi Azura suatu malam itu.
“Aku selalu melihatmu… di sana. Tapi… aku tidak tahu… kamu siapa," ucap Rangga dengan sebuah guratan senyum tipis di bibirnya.
“Aku… aku istrimu, Rangga.”
**
Keesokan harinya...
Setelah rutinitas pagi di kamar mandi, Azura pun berdiri di depan cermin dan mematut dirinya seperti kebiasaan barunya.
Azura meyakinkan diri jika ia akan memilih jalan hidupnya tanpa memungkiri nasibnya yang sudah menjadi seorang istri dari seorang pria yang tidak normal.
“Aku akan berusaha. Aku yakin aku pasti bisa…” gumamnya.
Dengan gaun pastel sederhana tapi elegan, rambut yang digerai rapi, dan langkah anggun, Azura kini meninggalkan kamarnya.
Penampilan Azura saat ini membuat para asisten merasa kagum dan bangga karena Azura tidak mudah menyerah setelah semua yang terjadi padanya.
Mereka memberi salam hormat seperti biasa, namun ada senyum yang merekah di wajah mereka yang mengisyaratkan jika mereka semakin merasa respek pada Azura.
“Nona, kami sudah siapkan sarapan untuk Anda dan Tuan Rangga.”
“Baiklah, terima kasih.”
Azura kemudian duduk di meja makan dan menyantap sarapan dengan tenang. Tidak tergesa-gesa ataupun gugup. Karena saat ini hatinya sudah mulai terbiasa dengan kehidupan yang awalnya terasa seperti perangkap baginya.
Setelah selesai, Azura berdiri dan mengambil nampan yang berisi makanan yang telah disiapkan khusus untuk Rangga.
Ia menarik napas dan mengeluarkannya pelan-pelan lalu beranjak menuju tempat Rangga berada tanpa ada penjaga yang menghalanginya seolah semua percaya bahwa Azura tahu apa yang ia lakukan.
Beberapa saat kemudian, Azura sudah berdiri di depan pintu kamar suaminya. Ketukan pelan pun ia lontarkan sambil memanggil Rangga dengan suara yang lembut.
Tok tok tok...
“Rangga, apa aku boleh masuk?.”
Hening...
Karena tidak ada jawaban, Azura pun memutuskan untuk menunggu beberapa detik, lalu memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan dan ternyata pintunya tidak terkunci.
Ia lalu masuk dengan hati-hati dan menutup pintu kembali. Saat memutar bola matanya Azura sempat merasa silau karena cahaya dari jendela besar membuat kamar itu terang, dan di sanalah Rangga berdiri, di depan jendela terbuka sambil menatap langit yang cerah seakan berada di dunianya sendiri.
Azura terpaku saat menatap punggung pria itu. Sosok yang bertubuh tinggi, tegap, namun ada kesan rapuh yang terpancar.
"Sadarlah Azura, dia bisa berubah kapan saja dan melakukan apa saja padamu," batin Azura.
Kemudian ia meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur, lalu pelan-pelan melangkah mendekat ke arah Rangga.
“Pagi ini cerah… dan aku pikir kamu perlu sarapan. Aku membawanya untukmu," ucap Azura.
Rangga tidak menoleh meski bisa mendengarnya. Ia hanya menggenggam erat bagian jendela dengan bibir yang bergerak tanpa suara, seolah sedang berbicara pada langit.
Azura berdiri di sampingnya sekarang.
Jarak mereka hanya beberapa langkah dan dengan jarak yang sedekat itu Azura menatap wajah pria itu yang diterangi cahaya matahari sehingga nampaklah ketampanan Rangga yang tentunya tidak tampak menyeramkan… malah, sangat tenang.
“Rangga… kamu boleh marah padaku. Boleh benci aku. Tapi aku di sini bukan untuk menyakitimu. Aku ingin mengenalmu. Aku ingin tahu siapa kamu, sebenarnya," kata Azura.
Perlahan, mata Rangga bergerak ke arahnya meski tatapan itu masih tampak kosong. “Kamu… selalu datang… bahkan setelah aku mendorongmu…”
Azura pun tersenyum karena Rangga mau membalas perkataannya walau jantungnya berdetak gugup.
“Karena aku percaya… di dalam dirimu, ada seseorang yang ingin dimengerti. Aku di sini bukan karena terpaksa. Mungkin awalnya, iya. Tapi sekarang… aku ingin mencari tahu, siapa Rangga sebenarnya.”
Rangga menatap Azura selama beberapa detik, meski tidak ada senyuman dan tidak ada tanggapan. Tapi tubuhnya yang tadinya tegang kini sedikit lebih rileks.
Kemudian Rangga membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat tidur, duduk di ujung ranjang… lalu menatap sarapan yang ada di meja.
Azura mengamati Rangga yang kini duduk di tepi ranjang namun tangannya masih belum menyentuh sarapan yang disiapkan.
Rangga terlihat bimbang, seolah tidak tahu harus berbuat apa dengan makanan itu. Matanya hanya menatap datar ke arah piring dan gelas di hadapannya.
Melihat hal itu, Azura pun perlahan mendekat, lalu menarik kursi kecil dan duduk tak jauh darinya.
“Kamu boleh makan… kalau tidak suka, aku bisa minta dibuatkan yang lain.”
Rangga tidak menjawab lagi. Tapi kali ini, Rangga menoleh pada Azura meski hanya sebentar. “Aku… tidak ingat… terakhir kali sarapan bersama orang lain," ucap Rangga.
Azura sangat tertegun. Kalimat itu seperti suara kecil dari dalam tembok tinggi yang mengurung pria itu selama ini.
“Kalau begitu… kita bisa memulainya dari sekarang," seru Azura.
Rangga pun menatapnya lagi dengan tatapan yang lebih lama. Lalu perlahan tangannya terulur mengambil roti dari piring dan memakannya sedikit… lalu melirik ke arah Azura.
“Kenapa kamu tidak pergi saja? Semua orang… akhirnya pergi.”
" Hufth." Azura menghela napas. Pertanyaan itu seperti ujian kecil atau tantangan yang diam-diam memintanya untuk jujur.
“Karena aku tidak ingin jadi seperti ‘semua orang’ itu.”
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong