"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan untuk pindah
Satu minggu telah berlalu tanpa terasa sejak pertama kali Murni menginjakkan kaki di rumah megah itu. Hari-hari berlalu pelan, tapi perlahan ia mulai terbiasa dengan lingkungan barunya. Terutama dapur, di sanalah ia kerap berbagi resep dengan sang mertua yang ternyata cukup luwes dalam urusan masak-memasak.
Anehnya, selama seminggu itu Murni belum pernah melihat satu pun pekerja rumah tangga di sana. Seperti pembantu, tukang kebun, apalagi penjaga rumah yang biasanya selalu ada di rumah orang-orang kaya.
Semua urusan rumah nyaris ditangani sendiri oleh Leyla. Mulai dari memasak, mencuci baju yang kadang juga ibu mertuanya itu memilih mengirimkan bajunya ke laundry, hingga bersih-bersih ringan.
Bukan karena mereka tak mampu membayar jasa, melainkan karena rasa tidak percaya wanita itu terhadap orang luar. Sebuah keputusan yang dipupuk oleh pengalaman dan trauma masa lalu, yang belum sempat diceritakan sepenuhnya kepada Murni.
Di rumah itu, hanya dua orang yang menjadi teman berbincangnya demi melepas rasa bosan, yakni Leyla dan Elda. Elda, dengan sikap santainya yang blak-blakan, dengan cepat mencairkan kecanggungan di antara mereka.
Sementara Kaan, pria itu hampir tidak pernah terlihat dalam seminggu ini. Selama beberapa hari terakhir, lelaki itu selalu berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam karena dikejar urusan perusahaan yang sedang dalam masa genting.
.
.
.
Hari itu, matahari belum terlalu tinggi. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dan suara gemericik air dari kolam samping rumah. Murni dan Leyla duduk berdampingan di tepi kolam koi, sesekali melemparkan pelet makanan ke dalam air, membuat sekumpulan ikan berebut di permukaan.
"Murni." Panggil Leyla mencairkan keheningan di antara mereka, membuat Murni seketika menoleh ke arahnya.
"Kamu... bisa bela diri?” Tanya tiba-tiba, membuat Murni tertegun dengan pertanyaan itu.
"E… bisa sedikit, buk. Dulu Murni sempat diajarin silat sama Bapak. Tapi ya, sudah lama ndak latihan… jadi, mungkin sekarang Murni ndak terlalu jago.” Jawabnya dengan nada terdengar canggung.
Leyla seketika tertegun. Ia tak menyangka, jika gadis yang selama ini tampak polos dan lembut itu punya dasar ilmu bela diri.
Senyum kecil perlahan tersungging di bibir Leyla. “Wah… luar biasa juga kamu ini, ya.” Ucapnya sambil menepuk lembut lengan Murni.
Lalu ia kembali melontarkan pertanyaan, “Kaan pernah nanya soal itu ke kamu?”
Murni menggeleng pelan, matanya kembali menatap air kolam.
“Ndak pernah buk. Karena mas Kaan akhir-akhir ini sibuk, kita berdua jadi jarang mengobrol. Mungkin, karena hubungan kita yang belum terlalu dekat." Ungkap Murni yang mengakui jika komunikasi nya dengan Kaan masih terbilang minim.
Leyla diam sejenak, menimbang sesuatu dalam benaknya. Tapi tak lama kemudian, ia tersenyum lembut. “Tenang saja, Nak. Hubungan itu bisa dibangun pelan-pelan. Yang penting, kamu tetap jadi dirimu sendiri.”
Selepas itu hening, tidak ada lagi pembicaraan di antara keduanya, kembali tenggelam dalam suara gemericik air dan gerakan ikan-ikan koi. Hingga akhirnya Leyla mulai membuka topik pembicaraan baru.
“Murni,” panggilnya pelan, “kalau Ibu tawarkan kamu untuk ikut latihan dasar bela diri, atau mungkin meningkatkan kemampuan yang sudah kamu punya dulu… kamu mau?”
Murni menoleh, ragu sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mau, bu. Kalau memang itu yang terbaik buat aku.”
Leyla tersenyum puas, lalu menggenggam tangan Murni erat. “Baguslah. Bagaimanapun, kamu harus bisa jaga diri. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Dan kalau nanti ada sesuatu yang tidak diinginkan, kamu harus bisa berdiri sendiri.”
“Iya, bu.” Jawab Murni lembut, matanya menatap tangan Leyla yang hangat menggenggamnya. Ada rasa hangat di dada, seperti sedang mendapatkan perlindungan dan dukungan yang selama ini hanya ia dapatkan dari keluarganya.
.
.
.
Malam itu tampak tenang seperti biasanya. Angin malam berhembus lembut lewat jendela yang sedikit terbuka. Di kamar yang diterangi lampu temaram, Murni baru saja selesai menunaikan salat Isya. Ia sedang merapikan mukena ketika suara pintu berderit pelan.
Ketika pintu terbuka, terlihatlah sosok Kaan yang berdiri di ambang pintu, dengan raut wajah yang lelah. Penampilannya tampak kusut, seperti hari itu benar-benar menguras semua energinya.
Murni spontan bangkit dan mendekatinya, meraih tangan kanan Kaan, barulah ia sedikit menunduk dan mencium punggung tangan suaminya.
Kaan tertegun. Gerakan sederhana itu berhasil menyentuh sisi hatinya yang jarang terusik.
“Mas udah makan?” Tanya Murni lembut.
“Belum.” Jawab Kaan, suaranya rendah dan sedikit serak karena kelelahan.
“Kalau gitu, aku panasin dulu makanannya, ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
Ia segera membuka ikatan mukenanya, yang otomatis memperlihatkan rambut panjangnya yang diikat rapi.
Kaan sempat terpana dengan penampilan istrinya beberapa detik, sebelum akhirnya ia tersadar kembali lalu meletakkan tas kantornya di atas kasur sebelum akhirnya berjalan masuk ke kamar mandi.
Ia menggeleng kecil, mencoba menepis pikirannya sendiri. Jujur saja, Kaan memang sering melihat Murni yang tidak mengenakan kerudung ketika mereka masih berada di kampung, tapi entah kenapa hari ini ketika melihatnya lagi, suatu perasaan asing yang samar mendadak muncul dibenak Kaan.
Sementara itu, Murni segera turun ke dapur untuk menghangatkan kembali lauk yang mungkin sudah dingin di panci, karena semua orang sudah selesai makan malam sejak beberapa jam yang lalu.
.
.
.
Tak berapa lama, Kaan melangkah masuk ke dapur. Di sana, Murni sudah selesai memanaskan makanan seperti yang ia katakan sebelumnya. Meja makan tampak rapi, dengan beberapa lauk pauk yang tersusun apik. Aroma harum masakan seketika memenuhi udara.
Kaan segera menarik kursi dan duduk, sembari menatap makanan di hadapannya. Sekilas, wajah lelahnya terlihat sedikit lebih lunak.
Tak lama kemudian, Murni datang membawa semangkuk sayur lodeh hangat yang ia buat bersama Leyla tadi sore. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati, lalu mengambil piring dan menyodorkannya di depan Kaan. Setelah itu, ia menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkannya di samping tangan suaminya.
Tanpa banyak bicara, Kaan mulai menyendok nasi dan lauk ke dalam piringnya. Murni, yang melihat itu, ikut menarik kursi dan duduk di depannya. Ia pun mengambil piring dan menyendok sedikit nasi dan lauk.
Kaan meliriknya sejenak.
“Kamu belum makan?” Tanyanya.
“Sudah tadi, tapi dikit. Sekarang aku makan lagi buat nemenin mas makan." jawab Murni, membuat Kaan sempat terdiam.
Jawaban itu sederhana, tapi terasa dalam. Perasaan asing itu kembali menyeruak di benak Kaan.
"Ehem!" Kaan berdehem sejenak.
“Lain kali, kamu makan sampai kenyang. Saya jarang makan malam di rumah.” Ucap Kaan pelan, seperti menyesal telah membuat Murni menunggu.
Murni mengangguk, “Iya, mas.”
“Mas Kaan tiap hari bakal pulang malam terus kah?” Tanya Murni kemudian, dengan nada yang terdengar hati-hati.
“Yeah, karena jarak dari rumah ke kantor cukup memakan banyak waktu." Jawab Kaan sambil mengambil sepotong daging ikan.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan makan malam mereka. Lalu, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benak Kaan. Ia meletakkan sendoknya sejenak dan menatap Murni.
“Murni.” panggilnya.
Murni langsung mengangkat wajahnya, “Ya, kenapa mas?”
Kaan tampak ragu sesaat sebelum akhirnya bertanya, “Kalau saya ajak kamu pindah dari sini, kamu setuju?”
Pertanyaan itu datang begitu saja. Dan Kaan tahu, jika Murni pindah ke apartemennya di pusat kota, kemungkinan ia akan merasa kesepian. Di sini, Murni punya Leyla yang menjadi teman bicaranya. Sementara di apartemen nanti, Murni akan lebih banyak sendiri karena dia pun sering pulang malam.
Namun, jarak dan waktu adalah masalah besar saat ini. Ia sebenarnya juga lelah ketika harus pulang larut malam dan menempuh perjalanan panjang dengan tubuh yang lelah setiap hari, dan akan berangkat lagi esoknya.
"Boleh, mas. Aku setuju." jawab Murni tanpa ragu, membuat Kaan sempat menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak.
“Syukurlah.” batin Kaan. Ada beban yang pelan-pelan mengendur dari dadanya.
“Kalau begitu, lusa kita bisa pindah.” Ucapnya mantap.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣