Atas desakan ayahnya, Poppy Yun datang ke Macau untuk membahas pernikahannya dengan Andy Huo. Namun di perjalanan, ia tanpa sengaja menyelamatkan Leon Huo — gangster paling ditakuti sekaligus pemilik kasino terbesar di Macau.
Tanpa menyadari siapa pria itu, Poppy kembali bertemu dengannya saat mengunjungi keluarga tunangannya. Sejak saat itu, Leon bertekad menjadikan Poppy miliknya, meski harus memisahkannya dari Andy.
Namun saat rahasia kelam terungkap, Poppy memilih menjauh dan membenci Leon. Rahasia apa yang mampu memisahkan dua hati yang terikat tanpa sengaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Mansion Leon — Malam itu
Leon duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi.
Tiba-tiba pintu terbuka. Vic masuk dengan langkah terburu-buru.
“Bos, gawat!” serunya.
“Ada apa?” Leon mengangkat kepala.
“Javier Yang menghubungiku. Dia bilang… wanita Bos ada di tangannya.”
Leon terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, sorot matanya berubah gelap.
“Cari tahu lokasi Poppy sekarang juga. Javier Yang… kau benar-benar cari mati,” ucap Leon dingin.
“Baik, Bos. Tapi dia seperti sengaja mempermainkan kita. Dia bilang kita harus menemukan Nona Yun dalam dua puluh empat jam. Kalau tidak… yang tersisa hanya jasadnya.”
“Kalau dia berani menyentuh satu helai rambut gadis itu, aku akan melenyapkan dia dan anak buahnya dari Makau.”
Leon berdiri. Nada suaranya tenang, namun penuh tekanan membunuh.
“Kirim semua orang kita. Periksa semua tempat. Jangan ada satu tempat pun terlewat.”
“Iya, Bos!” Vic langsung pergi dengan panik.
Di luar ruangan, Vic bergumam, "Aneh… baru kali ini aku melihat Bos peduli pada seorang gadis."
Sementara Leon menatap area kosong di depannya, suara Poppy terngiang:
“Aku percaya pada Paman.”
Leon mengepalkan tangan. “Aku bukan orang baik… tapi kau malah percaya padaku. Poppy Yun, seharusnya aku biarkan saja kau di tangan mereka.”
Namun langkahnya justru menuju ruang senjata.
Sisi lain — Gedung Kosong
Poppy terbaring di atas tumpukan kardus. Setelah beberapa menit, ia membuka mata perlahan. Kepalanya pusing. Ia melihat tiga pria sedang berjudi di meja darurat yang dibuat dari papan kayu.
“Di mana ini…? Kenapa aku diculik?” gumamnya pelan.
Ia mencoba duduk. Ketiga pria itu sontak menoleh.
“Hei! Siapa kalian? Kenapa menculikku? Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Poppy dengan suara masih lemah.
Salah satu preman mendekat sambil tertawa. “Sudah sadar rupanya.Nona cantik… kita sedang bertaruh. Kalau dalam dua puluh empat jam pria-mu tidak datang, maka kau harus melayani kami.”
“Pria-ku? Siapa maksud kalian?” Poppy mengerutkan kening. “Kalian pasti salah orang.”
“Kau wanita yang dekat dengan Leon Huo. Mana mungkin kami salah.”
Poppy mendengus kecil. “Dia bukan pacarku. Tapi kalau kalian melawannya… kalian benar-benar cari mati.”
Ia menatap kartu di tangan mereka. Diam beberapa detik, lalu berkata ringan, “Boleh aku ikut bermain? Aku bisa main kartu.”
Preman itu memicingkan mata. “Kau mau apa? Mengalihkan perhatian kami?”
“Kalian bertiga, aku cuma satu. Dua puluh empat jam lama sekali. Daripada aku hanya duduk diam, lebih baik aku ikut bermain. Lagipula aku tidak tahu ini di mana. Kalian pikir aku bisa lari?” jawab Poppy santai.
Mereka saling pandang, mempertimbangkan.
“Aku selalu ingin bermain kartu,” lanjut Poppy. “Papa terlalu ketat, aku tidak boleh menyentuh hal-hal begini. Karena sekarang dia tidak ada, ini kesempatan. Bagaimana kalau kita taruhan uang?”
“Taruhan uang?” salah satu dari mereka menyipitkan mata. “Jangan-jangan kau mau menipu kami?”
Poppy mengeluarkan sebuah kartu hitam metalik. “Kalau aku kalah, kartu ini untuk kalian.”
“Kalau kami yang kalah?” tanya mereka.
“Kalau kalian kalah… kalian cukup minum saja. Tidak rugi sama sekali.”
Poppy bangkit dan berjalan mendekat, lalu meletakkan kartu itu di meja.
“Kartu ini ada uangnya? Atau kau bohong?” tanya preman itu ragu.
“Untuk apa aku berbohong? Lihat saja pakaian dan sepatuku. Semua barang mahal. Aku putri orang kaya, tentu aku punya kartu seperti itu. Jika tidak percaya… besok kalian bisa coba gesek sendiri.”
Preman itu menimbang kartu itu di tangannya. “Benar juga… lagipula kartu ini ada di tangan kami. Kalau pun palsu, dia tetap tidak bisa lari.”
Mereka akhirnya mengangguk.
***
Sementara itu, di kediaman Leon—
informasi lokasi penahanan Poppy akhirnya ditemukan.
Dalam ruang tamu, Leon berdiri sambil menerima laporan terakhir dari Vic. Setelah memastikan titik koordinat yang diberikan, Leon tidak mengatakan sepatah kata pun. Sorot matanya meredup, lebih gelap daripada biasanya.
Tanpa menunggu apa pun lagi, ia mengambil kunci mobil dan berjalan keluar mansion.
Langkahnya cepat dan berat, seolah menahan sesuatu di dadanya.
Vic mengikuti dari belakang. “Bos, semua orang sudah bersiap. Kita tinggal menunggu perintah.”
Leon tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil, masuk, dan menyalakan mesin. Malam itu, ia mengemudi sendiri—sebuah pertanda bahwa suasana hatinya sedang tidak bisa ditebak.
Deretan mobil hitam langsung menyusul dari belakang, mengikuti Leon seperti barisan bayangan gelap yang bergerak menembus malam.
Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan mobilnya. Leon menggenggam setir kuat-kuat, rahangnya mengeras.
“Poppy Yun…” gumamnya pelan namun tajam.
“Tunggu aku.”
Mobil itu melesat ke jalan raya, memimpin seluruh konvoi menuju gedung kosong tempat Poppy disekap.