JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!
simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30 : jatuh lebih dalam
BAB 30: JATUH LEBIH DALAM
Pagi itu Asep bangun jam 5 subuh. Mata bengkak, kepala pusing, tapi dia maksa bangkit. Mandi air dingin sampe tubuh mati rasa.
Pas turun ke ruang makan, cuma ada Mama Ratna. Wajahnya pucat, mata merah—pasti abis nangis semalam.
"Aksa..." Mama Ratna berdiri, langsung peluk Asep erat.
Asep balas pelukan. Mama Ratna gemetar.
"Mama dengerin kemarin... Papa bentak kamu..." suara Mama Ratna serak. "Mama minta maaf... Mama gak bisa bantu apa-apa..."
"Bukan salah Mama." Asep ngusap punggung Mama Ratna. "Gue yang harus buktiin."
Mereka sarapan dalam diam. Mama Ratna sesekali ngelirik Asep dengan tatapan khawatir.
"Aksa, kamu mau kemana pagi-pagi?"
"Kantor, Ma. Gue mau cari tau soal klien yang katanya komplain."
"Hati-hati ya..." Mama Ratna pegang tangan Asep. "Jangan maksain diri."
---
Di kantor perusahaan Pratama Group, Asep masuk dengan napas tertahan. Gedung pencakar langit ini dulu bikin dia kagum pas pertama kali bangun di tubuh Aksa. Sekarang? Cuma bikin sesak.
Dia ke lantai 15—divisi marketing tempat Klien Hartono biasa ditangani. Resepsionis cewek muda langsung senyum.
"Selamat pagi, Mas Aksa. Ada yang bisa dibantu?"
"Gue mau ketemu Pak Joko. Ada?"
"Pak Joko lagi meeting, Mas. Mau ditungguin?"
"Iya, gue tunggu."
Asep duduk di kursi tunggu, kaki gak bisa diem. Tangannya keringetan.
**[Lo nervous banget. Tenang.]**
"Gimana caranya tenang? Kalau gue gak dapet bukti hari ini—"
**[Lo bakal dapet. Percaya sama gue.]**
Setelah 20 menit, Pak Joko keluar—bapak-bapak paruh baya, rambut mulai memutih.
"Aksa? Wah, tumben kesini pagi-pagi. Ada perlu apa?"
"Pak, gue mau nanya soal Klien Hartono. Kata Kak Rendra, mereka komplain soal gue?"
Pak Joko naikin alis. "Komplain? Gak ada komplain, Ksa. Malahan kemarin mereka puji kamu karena presentasi bulan lalu bagus."
Asep beku.
"Tapi... Tapi Kak Rendra bilang mereka komplain gue gak profesional..."
Pak Joko geleng. "Gak ada komplain sama sekali. Kamu ketemu Rendra dimana denger itu?"
"Di... Di ruang kerja Papa kemarin..."
Pak Joko diem sebentar, mukanya berubah serius. "Aksa, hati-hati sama Rendra. Dia... Dia punya agenda sendiri."
Sebelum Asep bisa nanya lebih lanjut, Pak Joko ngeliat jam tangannya.
"Maaf ya, aku ada meeting lagi. Tapi serius, hati-hati."
Asep keluar dari kantor dengan kepala penuh. Rendra bohong soal Klien Hartono. Tapi... Gimana caranya ngebuktiin ke Papa?
**[Lo punya saksi sekarang—Pak Joko. Ajak dia ketemu Papa Arjuna.]**
"Tapi apa Papa bakal percaya?"
**[Coba dulu. Daripada lo diem aja.]**
---
Siang itu, Asep ketemu Alina di cafe deket kampus. Alina udah nungguin, pesen dua kopi.
"Lo terlambat 15 menit." Alina pout, tapi senyum.
"Maaf, tadi ada urusan." Asep duduk, langsung minum kopi. Panas tapi dia gak peduli.
Alina ngeliatin Asep lama. "Lo... Lo nangis lagi?"
Asep kaget. "Hah? Enggak."
"Mata lo bengkak, Aksa. Lo gak bisa bohong sama gue."
Asep nunduk. Tangannya ngepal di atas meja.
"Gue... Gue gak tau harus cerita dari mana, Alina..."
"Dari awal. Gue dengerin."
Dan Asep cerita. Soal foto palsu, soal bukti CCTV yang ditolak Papa, soal Rendra yang terus ngejatuhin dia, soal rasa capek yang luar biasa.
Alina dengerin tanpa potong. Matanya berkaca-kaca.
"Lo... Lo ngadepin semua itu sendirian?"
"Gue gak punya pilihan..."
"Lo punya GUE!" Alina naikkin suara. Beberapa pengunjung noleh. Alina gak peduli. "Kenapa lo gak cerita dari awal? Kenapa lo pikir lo harus tanggung sendiri?!"
Asep kaget liat Alina nangis.
"Gue sahabat lo, Aksa! Gue... Gue sayang sama lo..." Alina ngelap air mata kasar. "Gue gak mau lo ngadepin semua itu sendirian... Gue gak mau lo sakit..."
Asep ngerasain dadanya hangat dan sesak bersamaan. Dia pegang tangan Alina yang gemetar.
"Maaf... Gue gak mau lo kena imbas..."
"Gue gak peduli." Alina genggam balik tangan Asep erat. "Mulai sekarang, gue bantuin lo. Apapun yang terjadi."
Asep senyum—senyum pertama yang tulus sejak lama.
"Terima kasih..."
---
Tapi kebahagiaan itu cuma sebentar.
Malem itu, pas Asep sampe rumah, dia langsung dipanggil Papa Arjuna. Suasana ruang kerja mencekam.
Papa Arjuna duduk dengan wajah datar. Di mejanya ada amplop coklat.
"Duduk."
Asep duduk, jantung berdebar.
Papa Arjuna buka amplop, keluarin foto. Dia lempar foto itu ke meja.
Asep ngeliatin—foto dia lagi pegang kantong plastik kecil berisi bubuk putih. Di belakangnya ada tulisan tempat dan tanggal: Kemarin malam, di parkiran mall.
"Ini apa, Aksa?"
Asep langsung berdiri. "INI PALSU! Gue gak pernah—"
"CUKUP!" Papa Arjuna berdiri, mukul meja keras. "Papa sudah cukup dengan semua kebohonganmu! Narkoby?! Kamu berani pakai narkoby?!"
"Papa, ini fitnah! Rendra yang—"
"JANGAN SALAHKAN RENDRA TERUS!" Papa Arjuna napasnya ngos-ngosan. "Rendra yang bawa foto ini ke Papa! Dia yang peduli sama keluarga ini!"
Asep ngerasain dunianya runtuh.
"Papa... Gue mohon... Percaya sama gue..."
Papa Arjuna duduk lagi, tangannya nutupin wajah.
"Mulai besok... Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa izin Papa. Kamu akan dites urin dan darah. Dan kalau hasilnya positif..." Papa Arjuna natap Asep dengan tatapan kosong. "Papa akan masukkan kamu ke rehab."
Asep gak bisa ngomong. Kakinya lemes.
"Keluar. Papa tidak mau lihat wajahmu sekarang."
Asep keluar dengan langkah sempoyongan. Di koridor, Rendra berdiri sambil senyum puas.
"Narkoby, Aksa? Serius?" Rendra bisik. "Papa bakal buang kamu dari keluarga ini. Dan gue... Gue yang jadi pewaris."
Asep cuma natap Rendra dengan tatapan kosong. Terlalu capek buat marah.
Di kamar, Asep jatuh ke lantai. Nangis lagi—nangis yang udah gak bersuara, cuma air mata ngalir deras.
**[...Gue minta maaf.]**
"Lo... Lo minta maaf?"
**[Gue harusnya kasih quest lebih cepet. Harusnya gue—]**
"Bukan salah lo." Asep ngelap mata. "Ini... Ini salah gue yang terlalu lemah..."
**[Lo gak lemah. Lo cuma... Terlalu baik buat dunia yang jahat ini.]**
Asep ketawa—ketawa pahit.
"Baik? Gue? Gue yang udah tinggalin Mamah sendirian? Gue yang udah nyakitin banyak orang?"
**[Lo udah coba menebus. Itu cukup.]**
Tapi buat Asep, rasanya gak cukup.
Gak akan pernah cukup.
---
**BERSAMBUNG**
---
**