Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HASRAT
Dua bulan berlalu setelah malam dengan perayaan sunyi itu. Sisa satu bulan sebelum aku benar-benar selesai kontrak kerja di pabrik tempatku bekerja.
Malam itu, ketika enam juta masuk ke kantong, aku merasa dunia akhirnya memilih berpihak. Tapi ternyata, justru malam itu yang membuat segalanya runtuh.
Sekilas hidupku masih terlihat normal. Tapi aslinya? Tidak ada satu pun yang benar-benar membaik.
Keberanianku berhutang pinjol waktu itu justru menghancurkan hidupku.
-
Sisa satu bulan lagi maka aku menjadi pengangguran. Tanpa persiapan, tabungan, atau apapun itu. Yang tersisa kini hanya jiwa dan raga. Serta nominal hutang yang makin membesar.
Hari Selasa, aku mendapati diriku dipanggil untuk datang ke kantor HR. Alasannya HR ingin memberitahu tentang kelanjutan dari kontrak kerjaku.
Pukul 11.45 di pabrik, aku menemui staff HR untuk menanyakan kontrak kerjaku. Aku berharap, kontrak ku bisa diperpanjang setidaknya satu tahun lagi.
Sayangnya itu tidak pasti. Kebanyakan rekan atau senior kerjaku juga pasti habis dalam dua kali kontrak atau dua tahun masa kerja.
Walau mengetahui kenyataan itu, diriku tetap berharap.
"Selamat siang Ibu HR... saya ingin menanyakan terkait kontrak kerja saya."
Aku berjalan masuk mendekati meja HR.
"Siang pak.. atas nama siapa? Nomor induk karyawan berapa pak?" jawab HR lembut.
"Saya Miko, nomor induk karyawan 230668."
"Oh Pak Miko ya.. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih atas kontribusinya ya..."
Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Serta seluruh penjelasan lengkap keluar dari mulut HR. Hasilnya? Ya, ini bulan terakhirku bekerja.
".... begitu ya Pak Miko. Terimakasih dan sukses selalu." sambung HR.
Selesai urusan, aku beranjak untuk makan siang.
-
Aku berjalan menuju tempat istirahat sambil menyalakan rokok. Di sana Yudha dan rekan-rekan lain menunggu jawaban dari ku.
"Gimana bang Miko? Perpanjang apa habis?" tanya salah satu rekanku.
Yudha hanya diam menatapku. Dia sendiri adalah karyawan tetap di perusahaan ini. Tak heran jika dia hanya diam, karena dia tahu hasil akhirnya.
"Mik.... semangat ya." ucap Yudha perlahan.
Aku duduk, menjelaskan semuanya. Reaksinya pun beragam. Ada yang biasa saja, ada yang kaget, ada yang tidak terima karena tahu performaku bagus. Bahkan bos pun pernah bilang begitu.
Dalam keramaian siang itu, aku hanya membatin sedikit.
"Andai saja waktu bisa terulang..."
".... mungkin aku tidak akan bingung seperti ini." gumamku dalam hati lirih.
-
Sepulang kerja aku kembali ke kos. Hari itu terasa lebih berat dari biasanya, seperti ada logam panas menghantam dari dalam dada.
Isi pikiranku hanya bagaimana diriku bisa bertahan saat menganggur nanti. Semua tabunganku habis. Uang gajian bulan ini sudah masuk hitungan untuk membayar hutang pinjol.
"Bulan ini pun, setengah gajiku sudah masuk list buat bayar pinjol."
"...padahal gue betah banget disini."
Tanpa kusadari, air mata sedikit merembes. Hatiku rasanya berat. Tapi benar apa kata orang, semua di kehidupan saat ini tidaklah kekal.
"Mau nyesel, tapi waktu gak bakalan bisa muter." ucapku mengumandangkan fakta.
Hari itu aku memutuskan untuk beristirahat.
-
Pagi berikutnya aku terbangun. Waktu menunjukan pukul 06.54 WIB. Aku pun bergegas bersiap untuk kerja.
Mau bagaimana pun, aku masih bagian dari perusahaan ini. Akan kujalani semua dengan tulus sampai hari terakhirku bekerja.
Hari-hari berikutnya juga sama saja. Tak ada hal baru. Yang ada hanya penyesalan, serta ingatan kemenanganku malam itu.
Ironisnya, aku punya lebih banyak uang saat itu dibanding sekarang.
Karena enam juta itu, uang kemenangan yang kubanggakan.. hilang. Hilang sebelum sempat kurasakan benar-benar menyentuh hidupku.
Entah ku pakai main lagi, beli barang, dan kebutuhan tak penting lainnya.
Semuanya lenyap hanyut dalam putaran algoritma yang membuatku serasa menang. Padahal sebenarnya sedang diseret perlahan.
Parahnya lagi, hutang pinjol semakin membengkak.
-
Suatu hari di pertengahan bulan, aku duduk di tangga samping pabrik. Menunggu jam masuk kerja bersama rekan lain.
Hawa matahari jam delapan memantul dari atap seng, menusuk mata.
Di tangan kananku, rokok sudah kupelintir berkali-kali sebelum akhirnya kusulut.
Di tangan kiriku, ponsel berkedip-kedip menampilkan notifikasi yang makin lama makin menyesakkan dada.
5 pemberitahuan tertunda.
Tagihan pinjaman Anda telah jatuh tempo. Segera lunasi untuk menghindari tindakan lebih lanjut.
"Njir… tiap hari begini,” gumamku lirih.
Riko lewat, sempat melirik wajahku.
“Muka lu kusut amat, Mik. Kurang tidur lagi?”
Aku tersenyum hambar. “Iya, biasalah.”
Padahal semalaman aku tidak tidur bukan karena anime, lagi. Tapi karena memikirkan apa yang harus kulakukan setelah kontrak berakhir.
Bahkan bulan ini pun kos belum terbayar, cicilan menumpuk, dan setiap malam aku seperti dihantui angka-angka yang berputar di dalam kepala.
"Kalau hutangnya cuma di satu aplikasi mah mending dah... tiga aplikasi gimana lunasinnya asu..." batinku dalam hati.
Tiba-tiba.
Bruakkkk!!!!
"Ngelamun aja lu! Ngopi apa ngopi!... hehehe."
Ternyata Yudha. Kursi besi yang ia tendang bikin jantungku lompat sebentar.
"Ngagetin aja Lu.." jawabku jutek.
"Hahaha... gimana? Aman?" sambung Yudha.
Yudha sangat tahu apa yang aku alami saat ini. Karena setiap aku jatuh, Yudha yang menampung ku bercerita. Mulai dari kalah, hutang, dan masalah pribadi lainnya.
"Satu aplikasi gue galbay Yud. Sisanya gue bayar pake sisa duit gaji gue." jawabku lirih.
"Ya, semampu lu aja. Jangan maksain. Yang ada gila nanti Lu."
Tak lama setelah itu, bel masuk berbunyi. Kami semua masuk ke Lane untuk bekerja pada pagi itu.
Gemuruh mesin. Suara getokan logam. Bunyi mesin gerinda, debu dan asap. Semua bersatu di pagi itu, sewajarnya pabrik beroperasi.
Yang tak wajar adalah caraku bekerja pagi itu. Aku malas. Sungguh sangat malas. Selalu saja yang terlintas adalah bayangan hutang.
"Coba aja malam itu gue main tanpa ngandelin emosi.."
Sembari bekerja aku berbicara sendiri. Suara pabrik yang ribut menyamarkan ocehanku.,
"...kalau aja gue gak bego, hal ini gak bakalan kejadian." sambung ku.
Satu tindakan dengan berjuta konsekuensi. Namun diriku melakukannya tanpa berpikir. Hasilnya, berjuta konsekuensi harus aku tanggung sendiri.
Jam baru menunjukan pukul 09.44, tapi aku sudah beranjak menuju tempat break. Normalnya, break pagi dimulai pukul 10.00.
Sampai di tempat break, aku menyalakan rokok dan membuka hp.
Rp250.000 telah diterima dari Wijaya ****
Aku terkejut.
Benar-benar terkejut.
Seakan diberi harapan, atau malah diberi jebakan. Yang pasti, ada uang masuk ke rekeningku.
Kubuka WhatsApp. Pesan pukul 08.58 dari Wijaya:
"Mik, makasih ya. Sory baru bisa bayar."
Detik itu juga… aku sadar. Aku mulai kembali mencari rasa pelarian itu.
Rasa panas di dada.
Detak jantung yang naik.
Adrenalin yang menipu sebagai kebahagiaan.
“Aduh, jangan sekarang…” bisikku sambil menepis pikiran buruk itu.
Tapi jempolku mulai gemetar. Seakan tahu kemana ia ingin pergi.