Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Hitam Di Balik Kegelapan
Di sebuah meja makan, makanan kesukaan Keira tertata rapi. Keira menatapnya dengan kagum. Sudah lama ia tak menikmati masakan pak tua Ma.
Keira segera mengambil piring dan menyendok nasi. Matanya menatap bergantian lauk yang menggugah selera itu. Ia mengambil semua lauk dan sayur hingga piringnya penuh.
"Selamat makan," katanya sebelum melahap sesuap nasi di sendok.
Mamoto menatapnya dengan penuh rasa syukur. Inilah Nona yang sudah lama ia layani. Ia akan selalu antusias dengan makanan yang ada di hadapannya tak sekalipun mengeluh.
Melihat nonanya yang kalap dan terlihat kesulitan menelan makanannya karena terlalu penuh, Mamoto menyodorkan segelas air putih. "Pelan-pelan, Nona. Gak akan ada yang minta makanan Anda, bahkan kalau mau saya akan membawakan untuk Anda bawa pulang."
Keira mengangkat wajahnya, seutas senyum mengembang. "Makasih Pak tua Ma. Aku sangat rindu masakanmu."
"Anda selalu seperti itu. Selalu paling suka memuji masakan saya," ungkapnya, hatinya di penuhi rasa haru sekaligus miris. Air matanya tak terbendung lagi, berderai membasahi pipinya yang keriput.
Mata Keira membelalak saat melihat pak tua Ma berlinangan air mata. Ia bangkit, mendekat dan memeluk erat tubuh tua itu.
"Kenapa kau menangis, Pak tua Ma? Apa aku salah ngomong?" tanyanya, mempererat pelukan yang menghangatkan dan memberinya rasa nyaman.
"Tidak Nona. Hanya aja, melihat Anda sekarang membuatku sedih. Anda terlihat lemah dan ringkih, bagaimana bisa melawan mereka dengan tubuh besar dan berotot," ujarnya, penuh dengan kekhawatiran.
Bukannya ikut prihatin dengan keadaannya, Keira justru tertawa lucu. Ia melepas dekapannya dan menegapkan tubuh yang kini terlihat ringkih.
"Pak tua Ma jangan meremehkan aku ya. Biarpun sekarang tubuhku terlihat lemah, tapi kemampuanku masih sama Pak Ma. Jadi jangan khawatir, biarpun wajahku bukan Kala tapi aku masih tetap Kalamu Pak tua Ma," tuturnya berusaha menguatkan orang yang di anggapnya keluarga itu.
Melihat kepercayaan diri Keira yang mengebu-gebu, Mamoto akhirnya bisa bernafas lega. Ia hanya khawatir jika Nonanya akan mengalami hal yang sama bahkan lebih menyakitkan. Tapi sisi baiknya Nonanya punya keluarga bahkan tak terikat lagi dengan organisasi lagi, ia bisa bebas menikmati kebebasannya.
Keira kembali ke kursinya melanjutkan ritualnya menghabiskan makanan yang di masak pak tua Ma.
"Oh iya Pak, apa kau sudah membayar lunas biaya pengobatan Larisa. Pastikan semuanya beres, aku gak mau mereka mengusik ayahku lagi."
Mamoto menyodorkan kertas bukti pelunasan. "Tentu saja sudah Nona. Saya sudah mengurus semuanya, jadi Nona bisa hidup dengan tenang sekarang."
Ia lalu menggeser kartu Black Card ke arahnya. "Ini kartumu Nona. Gunakanlah untuk membangun usaha ayahmu. Gunakan sebaik-baiknya."
Kartu itu memang miliknya. Semua hasil kerja kerasnya selama ini namun, Keira hanya menatapnya. Ia tak mungkin bisa memakai sesuka hati. Jika tidak---ada kemungkinan pihak Dorion akan mulai mencurigainya jika kartu ia gunakan.
Keira menggeleng cepat. "Tidak, Pak tua Ma. Aku tidak bisa menggunakannya. Aku cuma butuh uang cash aja sekarang. Jangan sampai ayahku juga curiga uang siapa yang aku gunakan itu. Aku gak mau mencolok hingga buat pihak Dorion curiga."
Mamoto mengangguk mengerti. Ia bergegas masuk ke dalam dan tak lama ia kembali dengan membawa beberapa gepok uang. Di letakkannya di meja.
"Ini bawalah. Ini uang yang selalu Anda berikan pada saya, saya tidak pernah menggunakannya."
Keira hanya mengambil satu gepok yang berjumlah sepuluh juta. "Ini saja. Kalau nanti aku butuh aku akan kabari Pak tua Ma lagi. Makasih Pak Ma, karena selama ini kau mau mengurusku."
"Tentu saja, Nona. Nona sudah saya anggap keluarga saya sendiri, jadi tidak usah bilang makasih," ia kembali terisak.
"Kalau gitu aku pulang dulu. Ayah Marvin pasti sudah cemas menungguku," ujarnya. Sebelum pergi ia memeluk erat pak tua Ma lalu bergegas meninggalkan rumah megah itu dengan segala kenangannya.
Keira melangkah melewati gerbang, meninggalkan pendar lampu jalan yang mulai temaram.
Cahaya kuning yang pucat itu seolah enggan mengiringi langkahnya menuju halte bus. Namun, baru saja beberapa rumah terlewati, instingnya menegang. Telinganya yang setajam indra ngengat menangkap sesuatu derap langkah halus, samar, namun konsisten mengikuti di belakang.
Ia berhenti mendadak dan berbalik. Kosong.
Hanya ada keheningan malam yang menusuk, sesekali dipecah oleh suara serangga malam yang saling bersahutan. Keira mencoba mengusir kecurigaannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya gema langkahnya sendiri. Ia kembali berjalan.
Namun, suara itu kembali muncul, langkah kecil yang pelan, seolah bersembunyi di balik detak jantungnya sendiri.
Tanpa aba-aba, Keira berputar dengan gerakan kilat.
Sebagai sosok yang dikenal memiliki kewaspadaan tinggi, tubuhnya bereaksi secara otomatis. Dalam satu gerakan presisi, kakinya terangkat tinggi, terkunci hanya beberapa inci dari wajah sebuah bayangan hitam yang mengikutinya. Tinjunya mengepal di depan dada, siap melancarkan serangan balasan.
"Keira, ini aku!"
Suara itu memecah ketegangan. Keira tetap pada posisi siaganya, sedikit memiringkan tubuh untuk memastikan penglihatannya. Dari balik posisi kakinya yang masih menggantung di udara, ia melihat wajah Larisa. Sahabatnya itu berdiri mematung dengan senyum canggung yang dipaksakan.
Perlahan, Keira menurunkan kakinya dan mengembuskan napas panjang.
"Kau?" rutuknya ketus. Rasa waswasnya berubah menjadi kekesalan.
"Ngapain di sini? Pakai acara ngendap-ngendap kayak gitu."
Keira mendengus, membayangkan betapa tipisnya jarak antara wajah Larisa dengan hantaman kakinya tadi.
"Maaf, Kei," ujar Larisa, suaranya sedikit bergetar. Senyumnya tampak dipaksakan, seolah mencoba menutupi rasa ngeri. "Aku cuma mau memastikan kalau itu benar-benar kau. Aku takut salah orang kalau langsung manggil."
Dengan kewaspadaan penuh, Keira menilai pernyataan Larisa namun, yang di lihatnya hanya kejujuran yang polos. "Untung aja, kakiku gak sampai mengenai wajahmu. Lain kali jangan bikin aku kaget dengan muncul tiba-tiba kayak gini."
Larisa mengerucutkan bibir, menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada dalam gestur permohonan maaf. "Iya, aku minta maaf. Tapi, Kei, kenapa kau ada di sini? Apa kau mengenal penghuni unit kosong nomor sembilan itu?"
Pertanyaan itu tiba-tiba membuat lidah Keira terasa kelu. Ia bingung bagaimana menjelaskan pada Larisa tentang hubungannya dengan pemilik rumah itu. Ia juga tak mungkin mengatakan jika ia pemilik rumah itu bukan?
Demi mengusir kegugupan yang merayap, ia mengusap tengkuknya perlahan. "Itu ... itu rumah keluargaku. Ya, milik keluarga," jawabnya terbata.
Larisa dengan raut wajah setengah tak percaya menoleh ke arah rumah itu. Lalu kembali menatap wajah Keira dengan tatapan tajam menyelidik. "Benarkah? Tapi kenapa aku gak pernah liat kau sebelumnya ya. Padahal aku sering lewat sini."
'Apa? Dia juga---rumahnya di daerah sini. Tapi kenapa wajahnya asing banget, apa karena aku jarang di rumah, ya?' batin Keira penuh tanya.
Tawa lirih Keira mengiringi senyum kikuknya. "Ya, karena aku memang gak pernah kemari sih. Jadi mungkin itu sebabnya."
Belum sempat Keira menenangkan diri, Larisa tiba-tiba mendekat, mendekap lengannya dengan akrab seolah mereka adalah sahabat lama.
Dengan suara yang direndahkan penuh rahasia, Larisa bertanya, "Karena kau keluarganya, apa benar kabar burung itu? Katanya dia seorang pembunuh dan pekerjaannya sangat berbahaya. Lalu, apa benar dia sekarang hilang?"
Deg. Jadi itu yang orang luar pikirkan tentangnya. Ya wajar, sebab semasa hidupnya ia jarang bahkan tak pernah menyapa tetangga di perumahan itu.
Jika ia harus keluar, ia sudah pasti sedang menjalankan tugas. Baginya, menjadi seorang agen berarti harus merelakan ruang untuk pertemanan atau keluarga. Kedekatan adalah kelemahan, dan di dunianya, kelemahan berarti kematian.
btw gimana kabar sekolah lama keira thor, penasaran sama gebrakan keira membuka aib sekolah lamanya😂
apakah dia ketemuan sama pahlawan merah