Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Suara ketukan hakim bagaikan palu Godam yang menghantam dada keduanya, suami istri itu saling pandang dengan sorot tajam seolah keberatan dengan keputusan hakim hari ini.
Nindi langsung menenteng tasnya, berjalan cepat seolah tidak mau ada di tempat ini, tempat yang sudah ia gadang-gadang ingin membuat anak itu terpisah dengan ayahnya, namun kenyataan berkata lain, dunia seolah sedang menertawakan dirinya.
"Ini gimana Pa, aku tidak bisa melihat anak itu bersama dengan Regi," sungut Nindi.
"Sama, aku juga tidak bisa, kita lihat saja nanti," ucap Halik dengan tatapan penuh selubung.
Keduanya perlahan masuk ke dalam mobil dan meninggalkan gedung pengadilan dengan hati yang masih diliputi dengan dendam.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu masih di dalam ruangan sidang, tangis haru dan pelukan hangat masih melekat diantara ayah dan anaknya itu, Dona masih berada di dalam dekapan Regi, tangannya meremas kemeja putih ayahnya seolah tidak mau lepas, begitu juga dengan Regi yang langsung merengkuh tubuh gadis kecilnya itu.
"Dona, setelah ini kau pulang ke rumah Papa ya Nak," ucap Regi sambil menundukkan kepalanya ke dahi Dona.
Dona tak langsung menjawab. Ia semakin mendekatkan wajahnya ke dada Regi, napas kecilnya terdengar tak beraturan. Matanya yang sembab bergerak gelisah, menatap sekeliling ruang sidang seolah takut ada seseorang datang tiba-tiba untuk kembali menariknya pergi.
“Papa… beneran pulang?” tanyanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Regi mengangguk cepat. “Iya. Pulang. Papa bawa Dona pulang.”
Gadis kecil itu menggeleng pelan. Air mata kembali menggenang di sudut matanya.
“Terus… nanti ada lagi yang ambil Dona gimana?” bisiknya bergetar. “Kayak waktu itu…”
Kalimatnya menggantung, namun Regi tahu persis apa yang dimaksud saat Dona dibawa paksa, saat gadis kecil itu kehilangan rumah tanpa sempat berpamitan.
Regi semakin mengeratkan pelukan. Tangannya mengusap lembut pipi Dona yang basah oleh air mata.
“Tidak ada lagi yang boleh menyentuh Dona tanpa izin Papa,” ucapnya tegas namun penuh kehangatan. “Papa janji.”
Dona menatap wajah Regi, ragu masih tergurat jelas di matanya. Ia mengangkat jemarinya perlahan, mencubit kecil kemeja sang ayah seakan memastikan bahwa semua ini bukan mimpi.
“Papa gak pergi lagi?” tanyanya sekali lagi.
Suara Dona kali ini lebih lemah dari sebelumnya.
Regi tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia menggeleng pasti. "Gak ke mana-mana. Papa sekarang di sini. Sama Dona.”
Tubuh kecil itu akhirnya sedikit mengendur, meski lengannya masih melingkar kuat di leher Regi. Ia menyandarkan kepala di bahu ayahnya, isakan kecil keluar tanpa bisa ia bendung.
Regi mengusap rambutnya tanpa henti, membiarkan Dona menangis sampai puas.
Di sudut ruang sidang, petugas panti dan beberapa orang terdiam, menyaksikan pemandangan sederhana itu seorang ayah yang akhirnya dipeluk kembali oleh anaknya, bukan sebagai tamu singkat, melainkan sebagai rumah pulang yang lama hilang.
Regi membungkuk, meraih boneka kelinci lusuh yang sebelumnya terjatuh di lantai. Ia menyodorkannya pada Dona.
“Bonekanya jangan ketinggalan. Temannya ikut pulang juga.”
Dona menerima boneka itu dengan tangan gemetar kecil, lalu mengangguk pelan.
Ia kembali memeluk Regi. “Kita beneran pulang ya, Pa…”
“Iya, Nak,” jawab Regi sambil mengecup pelipisnya. “Sekarang Papa bawa kamu pulang.”
Untuk pertama kalinya sejak mimpi buruk itu terjadi, Dona menutup matanya bukan karena takut, melainkan karena lelah di lengan ayah yang akhirnya tidak melepaskannya lagi.
☘️☘️☘️☘️☘️
Rumah besar itu terasa sunyi di malam pertama kepulangan Dona, lampu kamar menyala redup, tirai jendela menutup rapat, sementara aroma sabun anak memenuhi udara. Di ranjang empuk yang jauh berbeda dari dipan besi panti, Dona berbaring memeluk boneka kelinci lusuhnya.
Tubuh kecil itu tampak tenang, namun di balik kelopak mata yang terpejam, mimpi buruk kembali menyusup. Dalam tidurnya, Dona mengerang pelan.
“Jangan… jangan ambil aku…” bisiknya terbata.
Keningnya berkerut, jemarinya menggenggam seprai erat, napasnya memburu.
“Papa… Om… tolong…”
Air mata merembes perlahan. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Dona terbangun.
Matanya membelalak, dadanya naik turun cepat seolah habis dikejar ketakutan. Ia menatap sekitar kamar asing itu, dinding putih bersih, lemari besar, meja kecil di sudut ruangan semuanya terasa terlalu sunyi.
“Pa…?” panggilnya gemetar.
Tak ada jawaban, tangis kecil langsung pecah. Ia bangkit tergesa, turun dari ranjang sambil masih memeluk boneka kelincinya, lalu berlari keluar kamar kecil itu dengan kaki telanjang.
Lorong rumah remang-remang, langkahnya terhenti di depan pintu kamar utama.
“Pa…” suaranya menghilang di ujung tangis.
Pintu terbuka cepat, Regi sudah berdiri di sana, mungkin karena mendengar suara kecil itu sebelumnya.
“Dona?” langsung ia berlutut, membuka tangan.
Tak menunggu lagi, Dona menubruk dada Regi, tubuh kecil itu bergetar keras, air matanya merembes membasahi kaus Regi.
“Papa jangan tinggalin Dona lagi…” isaknya.
Anak itu seolah tidak ingin terlepas dari genggaman ayahnya, bayangan penjemputan paksa dirinya masih memenuhi kepalanya. Regi menelan air liur, dadanya sesak. Ia mengangkat tubuh putrinya ke pelukan, menggendongnya kembali ke kamar Dona.
“Tidak… tidak ada lagi tinggalin Dona, Papa akan jaga Dona,” ucapnya sambil mengusap punggung Dona penuh kesabaran. “Papa di sini. Papa gak ke mana-mana.”
Ia duduk di tepi ranjang, membaringkan Dona perlahan sambil tetap merengkuhnya, tangan kokoh itu masih menggenggam tangan kecil seolah memberikan kekuatan dan meyakinkan hati sang anak jika tidak akan terjadi apa-apa.
“Cuma mimpi ya,” bisiknya menenangkan. “Sekarang Dona aman.”
Namun Dona tetap menggenggam tangan Regi erat, tubuhnya masih sedikit bergetar seolah rasa takut itu kembali menyergap.
“Papa jangan ninggalin kamar Dona ...," ucapnya dengan nada sedikit bergetar.
Regi tersenyum lirih. Ia melepas sandalnya lalu berbaring di sisi ranjang, satu lengannya melingkar melindungi tubuh kecil itu, sambil mengeringkan kepalanya.
“Papa temani sampai Dona tidur lagi.”
Anak itu sedikit tenang Butuh beberapa menit sampai napas Dona mulai melambat. Ia menyandarkan kepalanya di dada Regi, mendengarkan detak jantung ayahnya seolah memastikan lelaki itu benar-benar nyata.
“Papa…”
“Iya…”
“Detak Papa kenceng… tapi hangat.”
Regi tersenyum kecil. “Karena Papa bahagia Dona di sini.”
Kelopak mata Dona perlahan menutup. Namun sebelum benar-benar terlelap, bibir mungilnya berucap pelan. “Kalau besok bangun, Papa masih ada kan?”
Regi menunduk, mengecup lembut rambutnya. “Masih,” jawabnya mantap.
“Besok, besok-besok, dan seterusnya.”
Dona akhirnya tertidur, setelah perbincangan mereka yang cukup lama.
Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, tidurnya tak diiringi teriakan atau jeritan. Hanya bunyi napas kecil yang tenang di dada sang ayah. Regi terjaga lebih lama malam itu.
Ia memandangi wajah anaknya yang lelah.
Dalam bisu ia berjanji:
"Aku tidak akan lagi melepasmu Nak, maafkan semua kebodohan Papa selama ini."
Bersambung .....
semangat Regi pasti bisa menjalaninya