Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong!
Paman Carlo, Bibi Aulia dan Jessica saat ini berada rumah kos yang begitu tidak terawat, mereka tidak memiliki tempat tinggal lagi, jadi mau tidak mau mereka pun terpaksa tinggal disana.
"Jessica gak mau tinggal disini, nanti kalau Kak Dimas tau gimana," ucap Jessica.
"Halah, Mama dengar Kak Dimasmu itu gak bakal pulang, karena dia tau kalau Naura sudah menikah," ucap Bibi Aulia.
"Mama tau darimana?" tanya Jessica.
"Dari Bu Siti, dia kan tau semuanya," ucap Bibi Aulia.
"Ish, udah gak punya rumah, sekarang Kak Dimas juga gak pulang, mana keluarganya juga sekarang pindah ke luar kota lagi," ucap Jessica.
"Jessica, bisa diam gak sih kamu ini. sekarang kita harus cari cara buat balas dendam," ucap Paman Carlo.
"Sebenarnya Jessica ada ide, tapi gak tau Papa sama Mama mau dengar atau gak," ucap Jessica.
"Apa?" tanya Bibi Aulia.
"Kita bakar rumahnya Naura, kalau kita gak bisa tinggal disana, maka Naura juga gak bisa tinggal disana, ya biar adil gitu," ucap Jessica.
"Boleh juga, karema sudah gak ada jalan lagi. jadi kita bakar aja rumah itu," ucap Bibi Aulia.
"Siapa yang bakar rumahnya? Papa gak mau ya," ucap Paman Carlo.
"Papa tenang aja, kita bisa cari orang buat bakar rumah itu," ucap Jessica.
"Bagaimana caranya kita mencari orang untuk membakar rumah itu?" tanya Paman Carlo dengan wajah cemas, meskipun tatapan matanya menunjukkan hasrat untuk membalas dendam.
Bibi Aulia mengeluarkan ponsel lamanya dari saku, "Papa inget, Tommy. Kita minta bantuan dia aja, dia kan sering cerita soal preman-preman kecil di pasar yang mau melakukan apa saja demi uang rokok," ucap Bibi Aulia.
Jessica tersenyum licik, "Ide bagus, Ma. Tapi jangan lupa, kita harus pastikan teman Mama itu tutup mulut, kalau sampai rencana ini bocor ke orang lain, bisa-bisa kita semua bakal celaka," ucap Jessica.
Paman Carlo mengangguk setuju, "Ya, kita harus berhati-hati. Ingat Naura sekarang punya si preman itu dan preman itu orangnya keras kepala. Kalau dia tahu kita di balik semua ini, dia pasti akan melawan habis-habisan," ucap Paman Carlo.
"Tenang, Pa. Kita ita gunakan uang simpanan terakhir kita. Pastikan dia mendapatkan bayaran yang setimpal agar dia mau bungkam. Kita buat ini terlihat seperti... kecelakaan listrik," ucap Bibi Aulia.
Jessica memeluk lengan ibunya, "Mama memang yang terbaik. Jadi, kapan kita mulai?" tanya Jessica.
"Malam ini juga, semakin cepat rumah itu rata dengan tanah, semakin cepat kita bisa tenang melihat penderitaan Naura," jawab Bibi Aulia tegas, matanya berkilat penuh dendam.
Malam harinya, Naura sendirian di rumah, karena sore tadi Aiden pamit pergi. "Kok dingin banget ya padahal gak hujan loh," gumam Naura.
Naura merapatkan selimut ke tubuhnya, meskipun cuaca di luar tidak menunjukkan tanda-tanda hujan, ia merasakan sensasi dingin yang menusuk tulang, diikuti perasaan tidak enak yang tiba-tiba. Ia mencoba mengalihkan pikiran, mungkin hanya karena Aiden tidak ada di rumah.
Naura memilih merebahkan tubuhnya di kasur dan menyelimuti tubuhnya yang kedinginan itu, karena terlalu lelah akhirnya Naura pun terlelap, Naura tidak tahu jika bahaya tengah menunggunya.
Di balik semak-semak yang gelap, Paman Carlo, Bibi Aulia dan Jessica bersembunyi. Mereka menyaksikan dua pria bayaran yang mereka sewa mendekati rumah Naura dengan langkah hati-hati. Udara malam terasa tebal, dipenuhi ketegangan dan bau bensin yang samar.
"Cepat lakukan, jangan sampai ada yang melihat," bisik Bibi Aulia, matanya tidak lepas dari rumah itu dan tanpa sadar mencengkeram lengan Paman Carlo begitu kuat hingga terasa sakit.
Dua pria tersebut pun mengangguk, salah satu dari mereka dengan cepat membuka tutup jeriken dan mulai menyiramkan cairan mudah terbakar ke sekeliling dinding kayu di area belakang dan samping rumah.
"Kenapa harus sebanyak itu?" tanya Paman Carlo dengan suara serak, rasa takut mulai menggerogoti tekad balas dendamnya dan mulai membayangkan betapa mengerikannya jika Naura benar-benar ada di dalam.
"Biar cepat habis dan tidak ada sisa, Pa! Kita mau dia menderita, ingat penderitaan kita gara-gara Naura!" desis Bibi Aulia penuh amarah.
Pria bertubuh besar mengeluarkan korek api, dalam keheningan malam, gesekan batu korek terdengar nyaring, nyala api kecil itu seperti iblis yang siap dilepaskan.
Fuuuuush!
Saat api dilemparkan, cairan bensin segera menyala dengan kobaran yang cepat dan ganas. Dinding tembok rapuh yang sudah tua langsung dilalap api. Dalam sekejap, cahaya oranye terang benderang menerangi area sekitar, asap hitam tebal segera membumbung tinggi ke langit malam.
"Berhasil! Rata dengan tanah!" seru Bibi Aulia dengan suara kemenangan yang tertahan, senyum lebar muncul di wajahnya.
Paman Carlo hanya bisa membuang muka, tidak sanggup melihat pemandangan itu, jauh di lubuk hatinya, ada rasa bersalah yang menusuk.
Sementara di dalam rumah, Naura terbangun dari tidurnya dengam terbatuk-batuk, "Uhuk... Uhuk!"
Bau asap yang menyengat dan panas yang tiba-tiba menyerbu kamar membuatnya tersentak bangun, Naura langsung menyadari kengerian yang terjadi. Ia bangkit, pandangannya yang masih kabur berusaha menembus kegelapan dan asap.
Ketika Naura membuka pintu kamar, lorong rumah sudah dipenuhi asap tebal, panas yang menyengat terasa membakar kulit.
"Tolong! Kebakaran!" teriak Naura panik sambil menutup mulut dan hidungnya dengan ujung selimut.
Naura berlari menuju jendela, tetapi melihat kobaran api sudah menjilat bingkai di luar, jalan keluar dari pintu depan juga terlihat sulit karena api sudah mengepung bagian depan rumah.
Naura benar-benar terjebak, ia mulai menangis, ia menatap ke langit-langit, mencari celah. Pintu belakang sudah pasti tertutup api, pintu depan juga dan jendela kamar terlalu tinggi.
Tiba-tiba, ia teringat pada kamar gudang kecil di loteng yang jarang digunakan, yang memiliki jendela kecil, itu adalah satu-satunya harapan.
"Aku harus bertahan," gumamnya, sambil berusaha merangkak di bawah asap tebal yang mematikan, menuju tangga kayu rapuh menuju loteng.
Naura merangkak dengan sekuat tenaga, paru-parunya terasa perih menghirup udara yang dipenuhi asap. Tangga kayu menuju loteng terasa licin dan goyah, tetapi ia tidak punya pilihan. Di belakangnya, suara gemuruh api yang melahap rumah semakin keras, seolah-olah monster rakus mengejarnya.
Sesampainya di atas, loteng itu gelap, pengap dan diselimuti debu. Naura segera merayap menuju satu-satunya sumber cahaya yang ia ingat adalah jendela kecil yang biasanya digunakan untuk ventilasi.
Naura menendang tumpukan barang rongsokan di depannya dan dengan susah payah berhasil mencapai jendela. Jendela itu berukuran sangat kecil, hanya cukup untuk kepalanya dan tertutup rapat oleh baut yang sudah berkarat.
.
.
.
Bersambung.....