Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. UNDIAN YANG MENGUBAH SELAMANYA
..."Kadang keberuntungan datang bukan untuk memberi hadiah, tapi untuk menguji seberapa jauh seseorang berani bertahan."...
...---•---...
Doni Pradipta tidak pernah percaya pada keberuntungan, apalagi mukjizat. Baginya, hidup adalah serangkaian pilihan sulit, kerja tanpa henti, dan bencana yang datang tanpa diundang. Jadi, ketika ponselnya berdering di tengah kesibukannya memotong bawang bombai pagi itu, ia bahkan tidak berniat mengangkatnya.
"Pak, teleponmu!" seru Andi. Spatula di tangannya terayun saat ia berlari kecil menghampiri. Suaranya tertelan denting wajan yang saling beradu dan desisan lima kompor gas yang menyala bersamaan.
"Nanti!" Pisau Doni bergerak cepat di atas talenan. Bawang bombai jatuh menjadi potongan kecil yang rapi, ukurannya sama rata. "Bawang bombai harus dipotong sama besar supaya matangnya merata." Ia pernah mengatakannya berkali-kali pada anak buahnya. Hal kecil seperti itu yang membedakan makanan biasa dengan rasa yang diingat orang.
"Tapi ini dari nomor 021! Jakarta!" Andi sudah sampai di sisinya. Ponsel di tangannya bergetar keras, layarnya menyala terang dengan nomor tak dikenal berkode area ibu kota.
Doni menghela napas. Ia meletakkan pisau, lalu meraih ponsel itu dengan tangan yang masih berbau pedih bawang. Keringat mulai mengalir dari pelipisnya, udara dapur yang panas membuat tengkuknya lengket.
"Halo?"
"Selamat pagi, apakah ini Bapak Doni Pradipta?" Suara perempuan di seberang terlalu ceria untuk pukul tujuh pagi yang penuh asap dapur.
"Ya. Ada apa?"
"Perkenalkan, saya Tania dari PT Kulina Rasa Sejahtera. Kami menghubungi untuk menyampaikan kabar gembira, Pak Doni."
Doni mengangkat alisnya. Kabar gembira? Dalam dua tahun terakhir, satu-satunya kabar dari nomor tak dikenal adalah tagihan tertunda atau pemasok yang mengancam.
"Kabar gembira macam apa?"
"Bapak memenangkan hadiah utama program undian Personal Chef untuk Selebriti Selama 1000 Hari yang kami sponsori!"
Doni terdiam. Di belakangnya, Andi berhenti mengaduk saus bolognese. Bahkan bunyi spatula yang membentur wajan ikut berhenti.
"Maaf, mungkin salah sambung. Saya tidak pernah ikut undian apa pun."
"Bapak mengisi kupon undian saat membeli paket bumbu dapur premium kami tiga bulan lalu di supermarket. Ingat? Kupon berwarna emas?"
Tiga bulan lalu. Aku bahkan tidak ingat apa hadiahnya. Doni mencoba mengingatnya melalui rutinitas harian yang padat. Ia memang pernah mengisi selembar kertas asal-asalan sambil menunggu di kasir. Nama, nomor telepon, selesai. Lalu ia buang kupon itu ke dalam kantong belanjaan, tidak pernah memikirkannya lagi.
"Oh, itu..." Doni menggaruk kepalanya. "Tapi saya tidak yakin bisa..."
"Totalnya?" Tania berhenti sejenak. Jeda itu terasa seperti hitungan mundur. "Delapan ratus juta rupiah, Pak Doni. Kontrak seribu hari sebagai personal chef untuk aktris ternama. Gaji dua puluh juta per bulan, sudah termasuk akomodasi dan fasilitas lengkap. Bonus dua ratus juta di akhir kontrak."
Delapan ratus juta rupiah.
Jantung Doni seperti berhenti seketika, lalu berdetak dua kali lebih cepat. Napasnya tertahan di tenggorokan. Matanya melirik sekeliling restoran mungilnya. Cat dinding mengelupas di sudut-sudut ruangan, meja kayu penuh goresan pisau dan noda kopi yang sudah meresap, beberapa kursi plastik diganjal kardus supaya tidak goyang. Dapur Sari, restoran yang ia bangun kembali dengan sisa tabungan dan pinjaman bank setelah kebakaran lima tahun lalu menghabiskan segalanya. Termasuk Sari, tunangannya, yang terjebak di dalam dapur saat api merembet dari kompor yang meledak.
Delapan ratus juta bisa melunasi semua utang. Bisa menyelamatkan tempat ini.
"Pak Doni masih di sana?"
"Ya, maaf. Ini... terlalu mendadak."
"Kami paham, Pak. Tapi ini kesempatan sekali seumur hidup. Klien Bapak adalah Naira Adani."
Tangan Doni mencengkeram ponsel. Jari-jarinya memutih di sekitar casing plastik. Detak jantungnya makin keras, bergemuruh di telinganya sendiri.
Naira Adani?
Nama itu seperti tamparan. Aktris papan atas yang wajahnya terpampang di mana-mana. Tetapi Doni juga tahu berita terakhir tentangnya: skandal perceraian yang mengisi setiap media gosip, foto-fotonya yang kurus dan pucat dengan mata kosong, mantan suaminya Rendra Wiratama yang memberi pernyataan seolah Naira penyebab masalah. Lalu Naira menghilang, meninggalkan keheningan yang membuat media semakin banyak berspekulasi.
Kenapa dia butuh personal chef dengan kontrak seribu hari?
"Pak Doni, kami butuh konfirmasi dalam dua hari. Kontraknya akan dimulai minggu depan. Semua akomodasi sudah disiapkan. Bapak hanya perlu membawa keahlian memasak dan profesionalisme."
Profesionalisme. Kata itu terdengar dingin di tengah tawaran yang terlalu bagus untuk nyata.
"Boleh saya pikir-pikir dulu?" Suaranya keluar lebih serak dari yang ia inginkan.
"Tentu, Pak. Tapi jangan terlalu lama. Kalau Bapak menolak, kami harus menghubungi pemenang cadangan. Ini email konfirmasinya." Tania menyebutkan alamat email dengan nada tetap ramah. "Kami tunggu kabar baiknya. Selamat pagi."
Sambungan terputus.
Doni menatap ponselnya yang kini gelap. Di sekelilingnya, dapur kembali riuh. Andi melanjutkan mengaduk saus, kompor mendesis, pesanan sarapan berdatangan. Tapi Doni masih berdiri di sana, pisau di tangan, jari-jarinya menggenggam gagang terlalu erat sampai buku-buku tangannya memutih. Bau bawang bombai masih menempel di jari-jarinya, menyengat hidung setiap kali ia mengusap wajah.
"Itu undian apa, Chef?" tanya Andi sambil menuang saus bolognese di atas piring pasta.
"Personal chef untuk selebriti. Seribu hari."
"Seribu hari?!" Andi nyaris menjatuhkan piringnya. Saus merah hampir tumpah ke lantai. "Gila! Itu hampir tiga tahun! Siapa selebritinya?"
"Naira Adani."
Piring di tangan Andi benar-benar hampir jatuh kali ini. "Naira Adani? Yang baru cerai itu? Astaga, Chef! Itu kesempatan bagus banget!"
Kesempatan bagus. Semua orang bicara tentang kesempatan bagus. Tapi Doni tahu, setiap kesempatan punya harganya. Dan harganya tidak selalu soal uang.
"Kamu bakal ambil, kan, Chef?" Andi menatapnya dengan mata penuh harap. "Gajinya pasti besar. Bisa buat benerin restoran ini."
Doni tidak menjawab. Ia kembali ke talenannya, memotong bawang yang tersisa dengan gerakan mekanis. Pisau beradu dengan talenan kayu, bunyi ketukan yang biasanya menenangkan kini terasa memaksa, seperti jam yang terus berdetak menghitung waktu keputusan.
Seribu hari jauh dari sini. Dari dapur ini. Dari foto Sari.
Matanya melirik ke dinding dekat kasir. Foto Sari tergantung di sana, tersenyum lebar dengan apron bertuliskan "Chef Terbaik". Senyum yang tidak akan pernah pudar, tidak akan pernah menua.
Tapi juga seribu hari untuk menyelamatkan semua yang tersisa darinya.
...---•---...
Malam itu, setelah pelanggan terakhir pergi dan bunyi kompor sudah lama padam, Doni duduk sendirian di meja sudut. Lampu neon di langit-langit berdenging pelan, suara jangkrik dari luar masuk lewat ventilasi yang rusak. Punggungnya pegal dari berdiri sepanjang hari, bahu kanannya kaku dari mengangkat wajan berat. Di hadapannya terbuka laptop tua dengan layar retak di pojok, cahayanya membuat matanya perih setelah menatap terlalu lama. Email dari PT Kulina Rasa Sejahtera sudah masuk, lengkap dengan berkas kontrak yang harus ia baca.
Jari-jarinya bergerak di atas touchpad, membuka file PDF. Huruf-huruf di layar terlihat tajam, setiap kata seperti paku yang menancap perlahan ke dalam kepalanya yang mulai berdenyut.
KONTRAK PERSONAL CHEF UNTUK KLIEN SPESIAL
Pihak Pertama: PT Kulina Rasa Sejahtera (penyelenggara program)
Pihak Kedua: Doni Pradipta (pemenang undian)
Pihak Ketiga: Naira Adani (klien)
Doni membaca pelan, satu pasal demi pasal. Pasal-pasal awal hanya membicarakan durasi dan kewajiban standar memasak. Lalu, nada kontrak itu berubah. Kalimat-kalimatnya makin dingin, makin mengikat seperti borgol yang dikencangkan perlahan di pergelangan tangannya.
Pasal 12: Batasan Profesional
Personal chef dilarang keras menjalin hubungan personal di luar konteks pekerjaan dengan klien. Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu. Tidak ada percakapan yang terlalu pribadi atau mengganggu privasi klien.
Tidak boleh terlibat secara perasaan.
Kalimat itu tertulis tebal dan digarisbawahi, seperti peringatan keras yang ditempelkan di dinding sel tahanan. Doni menatapnya lama. Dadanya terasa sesak, seolah ruangan ini tiba-tiba kekurangan udara.
Kenapa aturan seperti ini perlu ditulis?
Lalu datang bagian terakhir yang paling berat.
Pasal 23: Kerahasiaan Mutlak
Personal chef wajib menandatangani perjanjian kerahasiaan dan tidak boleh membocorkan informasi apa pun tentang klien kepada pihak ketiga, termasuk media, keluarga, atau teman. Pelanggaran akan dikenakan denda sebesar lima ratus juta rupiah serta tuntutan hukum.
Lima ratus juta.
Lebih besar dari semua utangnya digabung. Angka itu seperti jerat yang sudah terpasang, menunggu satu kesalahan kecil untuk menjerat lehernya.
Ini bukan sekadar kontrak pekerjaan. Ini penjara sukarela dengan bayaran mewah.
Ia terus membaca sampai akhir. Ada lima puluh pasal. Setiap pasal membuat ruang geraknya makin sempit. Tidak boleh membawa tamu, tidak boleh mengunggah apa pun di media sosial, tidak boleh menerima pekerjaan lain, tidak boleh keluar rumah klien tanpa izin tertulis. Bahkan waktu istirahatnya diatur: maksimal enam jam tidur per hari, harus siap dipanggil kapan saja jika klien membutuhkan.
Mata Doni mulai panas. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menghilangkan perih dari menatap layar retak terlalu lama. Lehernya kaku, bahunya tegang. Ia menutup laptopnya. Layar meredup perlahan, meninggalkan pantulan wajahnya yang lelah di permukaan hitam.
Kenapa kontraknya seketat ini?
Kenapa Naira Adani butuh personal chef dengan aturan seperti seorang tahanan?
Di luar, langit sudah gelap pekat. Hanya lampu jalan yang menyala redup, menerangi jalan sepi di depan restorannya. Doni mengusap wajahnya, merasakan kelelahan yang menumpuk di setiap otot. Lalu matanya kembali menatap foto Sari di dinding. Senyumnya yang lebar, matanya yang berbinar, tangannya yang mengacungkan jempol.
Dadanya sesak. Seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya perlahan.
"Apa yang harus aku lakukan, Sari?" bisiknya pelan, suaranya serak dan hampir tidak terdengar.
Tidak ada jawaban. Hanya angin malam yang masuk lewat celah pintu, membawa bau asap sisa masakan dan aroma kopi yang sudah dingin di cangkir di sebelahnya. Dengung lampu neon di atas kepalanya makin keras, mengisi keheningan seperti detak waktu yang terus berjalan.
...---•---...
...Bersambung...