NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

...Hitungan Mundur...

...****************...

Reany membuka pintu apartemen yang selama tujuh tahun menjadi tempatnya pulang—tempat yang ia rawat seperti merawat hatinya untuk Juna. Apartemen itu sunyi, terlalu sunyi, seperti ikut mengutuk keputusannya yang terlambat.

Begitu pintu tertutup, lututnya hampir goyah.

Di sinilah ia menunggu Juna pulang setiap malam.

Di sinilah ia menyeduh kopi favoritnya.

dan di tempat ini Reany ia menyusun mimpi yang ternyata… hanya milik satu orang.

Reany menarik napas panjang, lalu mulai mengemasi pakaiannya.

Satu per satu, masuk ke koper tanpa jeda—seperti ritme hitungan mundur menuju kebebasan yang selama ini ia takutkan.

Sambil melipat gaun biru langit, ingatan itu menyerangnya tanpa ampun.

Malam-malam ketika ia duduk di sofa sampai fajar, menunggu Juna pulang.

Malam-malam ketika ia mengirim pesan singkat “Hati-hati di jalan, aku tunggu” tapi tidak pernah dibalas.

Malam-malam ketika ia tahu Juna bersama Renata—bukan karena ia curiga, tetapi karena Juna sendiri tidak pernah menutupinya.

Yang paling menusuk adalah semua alasan konyol yang Juna pakai untuk pergi.

Renata menangis sedikit?

Juna pergi.

Renata jatuh karena sepatu haknya licin?

Juna panik, lalu pergi.

Renata demam ringan?

Juna bergegas ke mansion wanita itu—rumah megah yang akhirnya Reani tahu, adalah hadiah khusus Juna untuk kepulangan Renata.

Miris.

Memuakkan.

Dan selama ini, Reany hanya diam.

Menunggu.

Membenarkan luka-lukanya sendiri.

Sebuah foto besar tergantung di dinding ruang tamu—foto pernikahan mereka.

Kedua orang itu tersenyum sedangkan Reany tampak penuh harapan, Juna memeluknya dengan tangan yang kini ia tahu tidak pernah benar-benar menggenggam.

Reany berdiri di depan foto itu.

Matanya tak berkedip.

Lalu ia mengangkat bingkai itu perlahan.

Tangannya gemetar—bukan karena ragu, tapi karena menahan kemarahan tujuh tahun lamanya.

Ia membuka bingkai.

Foto itu ditarik keluar.

Dan tanpa suara, ia merobeknya menjadi potongan-potongan kecil.

Potongan itu jatuh ke lantai seperti salju kelabu.

Tak cukup.

Reany mengambil tong sampah besi kecil yang ia siapkan di balkon.

Ia menyalakan korek.

Api menyala dengan suara kecil, seperti bisikan persetujuan.

Satu potongan foto jatuh.

Lalu potongan lainnya.

Kemudian album pernikahan mereka.

Benda-benda yang dulu menghangatkan hatinya kini menjadi kayu bakar bagi tekad yang baru.

Ia menonton hingga api melahap semuanya tanpa sisa.

Tak ada yang tersisa untuk dikenang.

Tak ada alasan untuk kembali.

“Aku tidak sudi meninggalkan kenangan tentangku untukmu,” bisik Reany, suaranya serak namun tegas.

“Aku tidak mau punya hubungan apa pun lagi denganmu, Juna. Tidak sebagai istrimu… bahkan tidak sebagai seseorang yang pernah kau cintai.”

Reany baru saja menutup koper ketika suara pintu utama berputar perlahan.

Klik.

Reany membeku.

Langkah-langkah berat memasuki apartemen yang sudah tidak lagi terasa seperti rumah bagi dirinya.

“Rea?”

Suara itu—suara yang dulu mampu membuat hatinya tenang—kini hanya menimbulkan rasa asing.

Juna muncul di ambang pintu ruang tamu, melepas setelan jasnya dengan gerakan santai, seakan ini adalah malam seperti biasanya. Seakan tidak ada yang berubah.

Padahal semua sudah runtuh.

Alis Juna terangkat saat melihat koper besar di samping sofa.

“Kamu… mau ke mana?” tanyanya datar.

Tidak cemas.

Tidak panik.

Tidak sedikit pun menunjukkan bahwa ia sadar ada sesuatu yang mengancam hidup pernikahan mereka.

Reany menoleh perlahan, menyembunyikan jejak amarah yang masih membakar.

“Aku mau pergi liburan sejenak.”

Suaranya lembut, stabil.

Tidak ada getaran yang akan membuat Juna curiga.

“Liburan?” Juna memijit lehernya sambil mengangguk ringan. “Oh.”

Ia mengambil botol air di meja, meminumnya seteguk.

“Kuharap menyenangkan.”

Begitu saja.

Tidak ada pertanyaan ke mana, dengan siapa, atau kenapa mendadak.

Juna benar-benar tidak sadar bahwa apartemen ini sudah berubah.

Tidak ada bunga segar di meja makan.

Tidak ada aroma lavender favorit Reany.

Tidak ada lagi mantel Juna yang biasanya Reany rapikan di gantungan.

Semua sentuhannya sudah ia hilangkan.

Yang tersisa hanya dinding-dinding dingin dan ruangan kosong yang mencerminkan hubungan mereka: mati.

Reany merapatkan bibirnya sebelum berkata pelan, “Aku berangkat besok pagi.”

Juna hanya mengangguk, membuka ponselnya sambil berjalan ke dapur.

“Baik. Hati-hati di jalan.”

Tidak ada “Aku ikut mengantar.”

Tidak ada “Jangan pergi terlalu lama.”

Tidak ada apapun.

Reany sudah terlalu sering berharap pada pria yang bahkan tidak melihatnya sebagai pilihan untuk dipertahankan.

“Oh ya, Jun,” ucap Reany, suaranya dibuat santai.

“Ada dokumen yang harus kamu tanda tangani. Doni kirim tadi sore. Katanya penting dan harus segera ditandatangani.”

Juna menatap Reany sekilas ketika wanita itu menyebutkan dokumen dari Doni.

“Oh ya?”

Ia melepas jam tangannya, meletakkannya sembarang di meja, lalu berjalan menuju ruang kerja kecil mereka.

“Bawa ke sini aja. Sekalian aku tanda tangan sekarang.”

Reany merasakan dadanya mengencang.

Ia mengambil map krem di meja makan, lalu membawanya ke Juna.

Pria itu duduk di kursi kerjanya, menyandarkan punggung dengan lelah seperti biasa—lelah yang tidak pernah ia sisakan untuk Reany.

“Ini,” kata Reany pelan.

Juna mengambil map itu tanpa rasa penasaran sedikit pun.

Tidak bertanya isi apa.

Tidak membuka untuk memastikan.

Ia hanya mengambil pulpen hitam kesayangannya, membuka halaman pertama yang memang sengaja diletakkan Reany paling depan—halaman tanda tangan.

“Tanda tangan di sini?” tanya Juna buru-buru, matanya masih fokus pada layar ponsel yang baru saja berbunyi.

Reany mengangguk. “Iya.”

Juna langsung menorehkan tanda tangannya—cepat, tegas, dan acuh.

Tanpa membaca satu kalimat pun.

Tanpa melihat judul dokumen di bagian atas yang jelas tertulis:

SURAT PERMOHONAN PERCERAIAN

Reany berdiri diam, menonton bagaimana tanda tangan itu menghapus tujuh tahun hidupnya dalam hitungan detik.

Coretan yang sama…

Coretan tangan yang dulu membuat Reany merah padam bahagia ketika mereka menandatangani surat pernikahan.

Kini, dengan coretan tangan yang sama, Juna menghancurkan semua itu—tanpa sadar, tanpa peduli, tanpa menengok ke arahnya.

“Sudah ya?” Juna menutup map dan menyerahkannya kembali ke Reany.

Ia bangkit dari kursi sambil berkata santai, “Kalau nggak ada lagi, aku mandi dulu. Laper banget.”

Seolah yang ia tanda tangani hanyalah laporan inventaris barang kantor.

Seolah yang ada di hadapannya bukan istrinya.

Seolah tidak ada apa pun yang bisa hilang malam itu.

Reany menerima map itu dengan kedua tangan, berusaha agar jemarinya tidak gemetar.

“Sudah,” jawabnya perlahan.

“Semuanya sudah.”

Juna mengangguk singkat, lalu pergi ke kamar, menutup pintu dengan bunyi lembut.

Dan di ruang kerja yang kini terasa dingin, Reany menatap map itu lama sekali.

Hanya ada satu pikiran yang bergema dalam hatinya.

Kalau tanda tangan pernikahan dulu ia lakukan dengan cinta, tanda tangan perceraian ini ia lakukan karena ia tidak pernah menganggap diriku berharga.

Reany memejamkan mata.

Besok pagi, ia tidak hanya berangkat liburan.

Ia berangkat menuju hidup baru—hidup yang tidak lagi menunggu seseorang yang bahkan tidak membaca saat ia melepaskannya.

_bersambung_

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!