Mengisahkan Keyla Ayunda seorang janda yang baru saja kehilangan saja kehilangan suaminya namun harus menghadapi kenyataan bahwa sang adik ipar rupanya menyimpan perasaan padanya. Drama pun terjadi dengan penuh air mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Besar
Pengakuan Rezi barusan membuat Keyla merasa mual. Di hari yang seharusnya didedikasikan untuk mengenang suaminya yang telah tiada, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya sendiri tidak hanya meninggalkannya, tetapi juga memicu drama pengkhianatan emosional di antara orang-orang terdekatnya. Kepalanya terasa pening, ia merasa lemas, seperti jiwanya baru saja dicabut dua kali.
Zehra menarik napas, matanya merah menyala. “Aku tidak bisa melihatmu lagi, Rezi.”
Tanpa menunggu balasan, Zehra berbalik. Ia berjalan cepat meninggalkan teras, gaun hitamnya berkibar menentang angin. Langkah kakinya terdengar tergesa-gesa, terburu-buru seolah ia sedang berlari dari api yang membakar habis kehidupannya. Rezi hanya bisa mematung, menatap punggung istrinya yang menjauh, rasa bersalah dan keputusasaan meremukkan dadanya. Ia ingin mengejar, tapi ia tahu, saat ini Zehra tidak akan mau mendengarnya.
Keyla bangkit dari sofa, langkahnya goyah. Ia berjalan ke pintu, menghadapi Rezi yang masih berdiri di teras. Wajah Keyla tampak kosong, tetapi matanya memancarkan kesakitan yang baru, kesakitan yang bahkan lebih tajam dari kesedihan atas kematian Ardito.
“Pergi,” ucap Keyla, suaranya pelan dan bergetar, namun tegas.
Rezi mendongak. “Keyla, dengarkan aku. Kumohon. Ini bukan saatnya—”
“Aku bilang, pergi!” Keyla meninggikan suaranya, tangannya mencengkeram kusen pintu dengan erat. “Apakah ini yang kau inginkan, Rezi? Apakah ini yang kamu tunggu? Suamiku mati… dan di hari dukaku, kau menghancurkan pernikahan adikku dan… dan seluruh duniaku yang tersisa?”
“Tidak, Keyla! Aku tidak pernah menginginkan ini! Aku tidak pernah ingin Ardito mati! Aku minta maaf! Aku hanya—”
"Cukup dengan permintaan maafmu yang busuk itu!” Keyla memotong, air mata yang ia tahan kini luruh, tetapi bukan air mata kesedihan, melainkan kemarahan yang membakar. “Aku tidak butuh penjelasanmu! Aku tidak butuh cintamu yang terlarang itu! Kau adalah iparku! Suami dari adik kandungku! Bagaimana mungkin kau bisa berdiri di samping makam Ardito, menenangkan aku, sementara di dalam hatimu kau mengharapkan kesempatan ini?!”
Keyla menutup matanya, mengambil napas berat untuk menstabilkan dirinya yang rapuh.
“Pergi sekarang, Rezi. Jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Jangan hubungi aku. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. Cukup. Semuanya cukup. Pergilah.” Keyla membuka matanya, dan di sana Rezi melihat Keyla Ayunda yang sudah mati rasa, Keyla yang tidak akan pernah sama lagi.
Rezi tahu ia kalah. Ia menundukkan kepala, membiarkan Keyla menutup pintu rumahnya dengan suara dentuman pelan namun final. Suara yang memutus semua harapannya.
Keyla bersandar di pintu yang tertutup, merosot ke lantai. Ia menarik lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lengan. Isakan yang terpendam kembali menyeruak, kali ini lebih brutal. Kematian Ardito terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. Tetapi pengkhianatan emosional dari Zehra dan Rezi, di bawah bayangan kematian itu, terasa jauh lebih kejam.
“Ardito… Ardito…” Keyla merintih, memanggil nama suaminya. “Kenapa aku harus mengalami semua ini? Kenapa?”
****
Sementara itu, Zehra mengemudikan mobilnya dengan kecepatan gila. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, ia hanya ingin menjauh, jauh dari Rezi, jauh dari Keyla, jauh dari rumah duka yang bau pengkhianatan. Pikirannya dipenuhi kilasan-kilasan kebersamaan Rezi dan Keyla. Senyum mereka yang terlalu akrab, sentuhan yang terlalu lama, mata Rezi yang selalu mencari Keyla di setiap pertemuan keluarga.
Ia menepi mendadak di tepi sebuah danau kecil yang tenang, dikelilingi pohon-pohon rindang. Ia mematikan mesin, keluar dari mobil, dan berlari ke tepi air.
“Aaaaarrggghhh!”
Teriakan itu pecah dari dadanya, menusuk kesunyian alam. Zehra berlutut di tepi danau, membiarkan gaunnya kotor oleh lumpur. Ia meninju tanah, berulang kali, menyalurkan kemarahan yang tak tertahankan.
“Kenapa?! Kenapa harus dia, Rezi?! Kakakku sendiri!”
Zehra meraih segenggam pasir dan melemparkannya ke permukaan danau, membuat riak gelombang kecil. Air matanya berderai deras, jatuh tak henti-henti, bercampur dengan ludah kemarahan yang ia muntahkan. Ia tidak berteriak pada Rezi, ia berteriak pada takdir, pada rasa sakit yang menggerogoti.
"Aku istrimu! Aku yang akan melahirkan anak-anakmu! Aku yang ada di sisimu saat kau terpuruk! Kenapa setelah semua itu, kau masih memilihnya?! Apa kurangnya aku, Rezi?! Apa?!”
Zehra menarik-narik rambutnya, membenamkan wajahnya di antara lututnya. Ia meraung. Raungan itu adalah suara seorang wanita yang harga dirinya direnggut, pernikahannya dirusak, dan cintanya dibalas dengan pengkhianatan yang paling menyakitkan—pengkhianatan oleh suaminya dan kakaknya sendiri.
Ia duduk di sana, di tepi danau, di bawah langit sore yang mulai menggelap. Sosoknya yang kecil dan rapuh tenggelam dalam kesedihan yang tak terhingga, menatap pantulan dirinya yang hancur di permukaan air yang gelap.
Hingga malam tiba, Zehra masih duduk, membiarkan dinginnya angin merangkulnya. Ia sudah tidak punya air mata lagi. Yang tersisa hanyalah tekad dingin yang baru terbentuk: Ia tidak akan pernah memaafkan.
****
Langit di atas kediaman Rezi dan Zehra tampak sehitam arang, seolah alam turut merasakan kekacauan emosional yang terjadi di dalam rumah itu. Zehra tiba hampir tengah malam, mobilnya diparkir sembarangan. Wajahnya keras, matanya tidak lagi merah karena tangisan, melainkan karena kelelahan yang dingin dan tekad yang membaja.
Rezi menunggunya di ruang tamu, duduk di sofa dengan punggung tegak, membiarkan dirinya ditenggelamkan oleh rasa bersalah. Ketika pintu terbuka, ia langsung berdiri.
“Zehra,” panggilnya pelan, suaranya serak. Ia melihat gaun hitam istrinya yang kini kotor oleh lumpur dan debu, dan tatapan Zehra yang kosong menembusnya, bukan menatapnya.
“Aku sudah membereskan barang-barangku yang di kamar,” Zehra berkata, suaranya datar, tanpa emosi, lebih mematikan dari teriakan histeris sebelumnya. Ia melepas heels hitamnya dengan gerakan lambat dan cermat, seolah ia sedang melakukan ritual pelepasan.
Rezi tersentak, dadanya terasa nyeri mendengarnya. “Zehra, jangan bicara seperti itu. Aku tahu aku salah, sangat salah. Tapi beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Kumohon."
Zehra akhirnya mengangkat tatapannya, mata gelapnya menusuk Rezi. “Menjelaskan apa, Rezi? Menjelaskan bahwa kau mencintai Kakakku? Kau sudah melakukannya di depan rumahnya. Apa lagi yang perlu dijelaskan? Bagaimana perasaanmu saat kau berpura-pura menciumku di depan semua orang, sementara hatimu ada di tempat lain?”
Ia berjalan ke tengah ruangan, berhenti di depan meja kopi. Ia mengeluarkan selembar kertas yang sudah lecek dari tas tangannya.
****
“Aku sudah menemui pengacara,” katanya, suaranya tidak bergetar. “Besok pagi, berkas gugatan cerai akan masuk. Aku tidak mau bertele-tele. Aku tidak mau mediasi. Aku tidak mau drama. Kau sudah memilih, Rezi. Dan sekarang, aku juga memilih.”
Rezi menatap kertas itu, lalu kembali ke wajah Zehra. Ia melihat tekad yang mutlak, dinding yang tidak bisa ditembus. Ia tahu, berdebat saat ini hanya akan menambah luka pada wanita yang seharusnya ia jaga.
“Baik,” jawab Rezi. Satu kata itu adalah pengakuan kekalahannya, penerimaan atas konsekuensi yang ia ciptakan sendiri. “Aku mengerti. Aku menghormati keputusanmu.”