Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 22
Malam itu, langit dunia bawah tampak seperti laut hitam yang tenang namun menyimpan badai. Cahaya api biru menari di sepanjang lorong batu, memantul di permukaan lantai marmer gelap yang dingin dan licin. Di sanalah, Liora berjalan pulang ke kediamannya dengan wajah kecewa dan hati yang terasa hampa.
Ia baru saja dari kediaman Raja, berharap bisa menemui Yang Mulia Azrakel, tapi ternyata sang Raja tidak berada di tempat.
“Menemui suami yang memiliki banyak istri, benar-benar sulit,” gumam Liora pelan, suaranya nyaris tertelan angin neraka yang berhembus lembut.
Dalam hatinya, ada sesal yang menggelitik. Seharusnya ia bisa bertanya lewat koneksi batin yang ia miliki dengan Raja, sebuah anugerah langka di antara para selir. Tapi karena terlalu bersemangat, ia lupa melakukannya.
Bodohnya aku, pikirnya getir.
“Putri,” suara lembut Dreya memecah kesunyian. “Sebenarnya, kenapa Anda ingin menemui Yang Mulia malam-malam begini?”
Liora menoleh sedikit. “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.”
“Apa yang ingin Putri tanyakan?” kini Vaelis ikut bertanya, nada suaranya lembut tapi ingin tahu.
“Sesuatu yang penting,” jawab Liora pendek, matanya menatap ke depan.
Ia tak bisa jujur pada dua dayangnya itu, tak mungkin ia mengatakan bahwa ia ingin menanyakan sesuatu yang bisa mengguncang tatanan dunia bawah: apakah aturan yang melarang dayang dan penjaga neraka untuk saling mencintai bisa dihapuskan?
Langkah mereka terus berderap di koridor panjang. Dari kejauhan, tampak barisan lentera dan bayangan para pelayan lain. Di tengah rombongan itu, berdiri seorang wanita dengan gaun merah menyala, bertabur batu neraka yang berkilauan di bawah cahaya api biru. Putri Wei, selir tertua, wanita yang disebut-sebut sebagai permaisuri hati Raja Azrakel.
Liora segera menunduk memberi hormat.
“Putri Wei,” ucapnya sopan.
“Oh, rupanya Putri Liora,” sahut Putri Wei dengan senyum kecil yang tak sampai ke matanya. “Apakah kau baru saja dari kediaman Yang Mulia?”
“Iya, Putri. Tapi Yang Mulia sedang tidak berada di tempat,” jawab Liora tenang.
“Sayang sekali,” ujar Putri Wei, mengangkat dagunya sedikit. “Aku pun berniat menemui beliau. Sepertinya malam ini beliau sibuk… di tempat lain.”
Nada suaranya lembut, tapi setiap katanya mengandung duri. Liora menunduk lagi, menahan diri agar tidak terpancing. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah semua perempuan di istana ini menganggapnya pesaing?
Saat Liora hendak berpamitan, kejadian itu terjadi begitu cepat.
Brukk!
Tubuh Liora terhempas ke tanah, wajahnya membentur lantai batu yang keras dan dingin.
“Putri! Anda tidak apa-apa?” Dreya dan Vaelis langsung menghampirinya panik.
Liora meringis, mencoba bangkit sambil menepuk debu dari pakaiannya. Rasa perih menjalar di pipinya. Ia mendongak dan menemukan Putri Wei berdiri anggun dengan ekspresi pura-pura kaget.
“Oh, Putri Liora… kau jatuh?”
Nada manis itu justru terdengar seperti ejekan.
Liora menatapnya tajam. “Apa Anda sengaja, Putri Wei?” tanyanya dengan nada menahan amarah.
Putri Wei mengangkat alis, berpura-pura tidak mengerti. “Sengaja? Apa maksudmu, Putri Liora? Apa kau menuduhku yang membuatmu jatuh?”
“Bukan Anda, tapi kaki Anda yang sengaja menyandungku,” balas Liora tegas.
Udara di sekeliling mereka seketika menegang. Para pelayan yang lewat berhenti, menatap ke arah kedua selir itu dengan wajah ngeri.
Putri Wei tertawa kecil, tawanya dingin. “Kau keterlaluan, Putri Liora. Menuduhku seperti itu tanpa bukti. Aku akan melaporkan ini pada Yang Mulia. Kita lihat nanti siapa yang akan dihukum karena berani menista selir tertua.”
“Dia melakukannya!” tiba-tiba Dreya bersuara lantang. “Saya melihatnya sendiri. Putri Wei menyandung kaki Putri Liora, lalu tertawa saat Putri jatuh!”
Tatapan Putri Wei berubah tajam, kilat amarah tampak di matanya. Ia mengangkat tangannya hendak menampar Dreya, tapi Vaelis segera maju menahan tangannya.
“Putri Wei,” kata Vaelis tegas. “Sebaiknya Anda bersikap seperti gelar yang Anda sandang.”
Putri Wei menatap keduanya penuh benci. “Kalian berani melawan aku? Kalian akan menyesal!” serunya, lalu berbalik pergi, langkahnya berderap cepat di lorong batu.
Liora menghela napas berat. Dreya dan Vaelis segera membantu membersihkan bajunya.
“Putri, wajah Anda memar,” ujar Vaelis cemas.
“Aku tidak apa-apa,” kata Liora, menatap keduanya lembut. “Kalian berdua… terima kasih karena membelaku. Dan maaf. Karena aku, kalian jadi dimarahi, bahkan hampir ditampar.”
“Tak apa, Putri,” jawab Dreya dan Vaelis hampir bersamaan. “Tugas kami adalah melindungi Anda.”
Liora tersenyum kecil. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu sesuatu akan terjadi. Putri Wei bukan tipe wanita yang membiarkan harga dirinya diganggu.
Beberapa jam kemudian, di ruangannya yang dingin, Liora duduk di depan cermin batu hitam. Dreya sedang mengoleskan ramuan penyembuh ke pipinya yang memar.
Rasa nyeri itu bukan hanya dari luka, tapi juga dari rasa malu, karena ia tahu, semua pelayan istana pasti sudah membicarakan kejadian tadi.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah cantik dengan luka merah samar. Aku terlihat seperti selir muda yang baru belajar bertahan hidup, pikirnya getir.
Dia menunduk, menghela napas dalam.
“Benar-benar malang aku… menikahi raja yang bahkan tak sempat kutemui, sementara istrinya yang lain menjatuhkanku di depan banyak orang,” gumamnya pelan.
Ketika Dreya selesai mengobatinya, ketukan keras terdengar di pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Masuklah,” ujar Liora.
Dua pengawal istana muncul, wajah mereka kaku dan dingin.
“Putri Liora,” kata salah satu. “Kami mendapat perintah dari Yang Mulia Raja.”
Liora berdiri. “Perintah apa?”
Tanpa menjawab, kedua pengawal itu menoleh ke belakang. Di sana, Dreya dan Vaelis berdiri terpaku.
“Yang Mulia memerintahkan agar mereka dibawa ke penjara bawah,” kata salah satu pengawal. “Sebagai hukuman atas kelancangan mereka terhadap Putri Wei.”
“Apa?!” seru Liora. “Mereka tidak bersalah! Kalian salah orang!”
“Maaf, Putri. Ini perintah langsung dari Yang Mulia,” ucap pengawal datar. Dua orang lainnya sudah menggenggam lengan Dreya dan Vaelis.
“Lepaskan mereka!” Liora menahan napas, mencoba menahan emosinya. “Aku tidak mengizinkan kalian menyentuh dayangku!”
“Perintah raja tidak bisa dibantah, Putri.”
Liora menatap mereka dengan mata berapi. “Ini juga perintahku!” suaranya meninggi. “Aku adalah salah satu selir Yang Mulia. Kalian wajib mendengarkanku!”
Tapi para pengawal tidak bergeming. Mereka menyeret Dreya dan Vaelis keluar ruangan, meninggalkan Liora yang berdiri membeku di tempat.
“Tidak! Jangan bawa mereka!” teriaknya. “Dreya! Vaelis!”
Namun teriakan itu hanya bergema di lorong, tak ada yang menjawab.
Liora menatap ke pintu yang kini tertutup. Tangannya mengepal gemetar.
“Untuk apa aku disebut Putri jika bahkan pengawal pun tak menghormatiku?” ucapnya pelan, matanya berair karena marah.
Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, melewati lorong panjang menuju kediaman Raja Azrakel. Nafasnya tersengal, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin membebaskan dua dayangnya.
Di tengah jalan, ia hampir menabrak seseorang. Sebuah tangan kuat menahan bahunya.
“Putri Liora, hati-hati,” suara itu dalam dan tenang, Kaelith, penjaga gerbang neraka.
“Kaelith,” ucap Liora cepat. “Kau tahu di mana Yang Mulia?”
“Iya. Baru saja aku dari kediamannya,” jawab Kaelith.
“Vaelis dan Dreya ditangkap! Mereka dibawa ke penjara bawah!” katanya dengan napas terengah.
Mata Kaelith membulat. Ada kilatan emosi yang tak bisa ia sembunyikan saat mendengar nama Vaelis disebut. Tapi ia hanya menunduk sedikit. “Pergilah ke Raja. Hanya dia yang bisa menghentikannya.”
Liora mengangguk dan berlari lagi.
Setibanya di depan kediaman Raja, dua pengawal membukakan pintu besar dari besi hitam.
Liora masuk tergesa, jantungnya berdentum cepat.
“Yang Mulia…” suaranya bergetar.
Raja Azrakel duduk di singgasananya yang tinggi, dikelilingi api biru yang berputar pelan seperti kabut hidup. Wajahnya tampan tapi dingin, matanya menatap lurus tanpa ekspresi.
“Tenangkan dirimu dulu, Putri Liora,” ucapnya dengan suara berat. “Atur napasmu.”
Liora mematuhi, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, “Yang Mulia… tolong bebaskan Dreya dan Vaelis. Mereka tidak bersalah. Yang bersalah adalah Putri Wei.”
Tatapan Raja tidak berubah. “Kau berani menuduh sesama selir?”
“Aku tidak menuduh, aku mengatakan kebenaran,” kata Liora tegas. “Aku melihatnya sendiri. Putri Wei menyandungku hingga jatuh, lalu menuduh dayangku. Jika seseorang harus dihukum, maka hukum aku, bukan mereka!”
Suara Liora menggema di aula besar itu. Udara terasa berat. Beberapa penjaga menunduk, takut akan reaksi Raja.
Raja Azrakel berdiri perlahan, jubah hitamnya bergoyang lembut. Ia melangkah turun dari singgasana, mendekati Liora.
“Putri Liora,” katanya pelan. “Kau masih baru di istana ini. Ada hal-hal yang tidak bisa kau ubah hanya dengan keberanian.”
“Tapi ketidakadilan tidak boleh dibiarkan, Yang Mulia,” balas Liora dengan mata berkaca. “Jika orang bersalah bebas karena gelarnya, dan orang jujur dipenjara karena kebenaran, apa gunanya semua aturan di dunia bawah ini?”
Hening. Hanya suara api yang berdesis di sekitar ruangan.
Azrakel menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu. Lalu ia berbalik.
“Pergilah ke kamarmu, Putri Liora. Aku akan mempertimbangkan permintaanmu.”
“Tapi....”
“Cukup.”
Nada suaranya tak bisa dibantah.
Liora menunduk dalam-dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia membungkuk, lalu melangkah keluar dari aula. Setiap langkah terasa berat.
Di luar, angin bawah dunia berembus dingin, membawa aroma belerang dan api. Liora berhenti di tengah lorong, memandang langit gelap yang tak pernah berubah.
Dalam hatinya, sesuatu mulai tumbuh, bukan sekadar amarah, tapi tekad.
Jika keadilan hanya berpihak pada mereka yang berkuasa, maka ia sendiri yang akan merobohkan sistem itu.
Demi Dreya. Demi Vaelis. Demi setiap jiwa yang tak punya suara di istana ini.
“Jika dunia bawah menolak cinta dan keadilan,” bisiknya pada diri sendiri, “maka aku akan menjadi api yang membakarnya.”
Api obor di dinding bergetar, seolah menunduk pada sumpah yang baru lahir malam itu.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪