Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Renggang
"Laras!" teriak mas Rama, mungkin dia terkejut melihat aku menonjok mulut istrinya tersebut.
"akhhhh!" teriak Sinta. Sontak saja mas Rama langsung merangkul sang istri begitupun dengan pak Karto matanya sampai membulat saat tau aku menyakiti putrinya.
"apa yang kau lakukan pada putriku!" teriak buk Surti.
" melakukan hal yang sepantasnya," ucapku santai, tak lama ibu ku sudah berdiri di sampingku. Tampak raut takut plus bingung di wajah tuanya.
"apa yang kau lakukan Laras," ucap ibuku seraya memegang lenganku.
"memberikan pelajaran pada mereka buk, apa ibu tau mas Rama akan di jadikan tumbal oleh mereka buk. Buk Surti itu bersekutu dengan iblis bahkan suaminya sendiri yang akan lebih dulu menjadi tumbal." ucapku gamblang.
Sudah sekian lama aku memendam rasa ini, sekarang sudah saatnya ku tumpahkan. Aku tidak perduli bagaimana nanti hubungan ibu dengan buk Surti tapi point terpenting nya adalah mas Rama bisa terbebas dari dua pemuja iblis ini.
"mas gak nyangka Ras, kau bisa berbuat sekeji itu. " ucap mas Rama sembari melihatku. Sementara Sinta, masih berada di pelukan kakakku.
"maaf mas, Laras bukan keji. Tapi semuanya memang fakta. Istrimu telah melakukan hubungan terlarang dengan iblis itu, bahkan dia sengaja mengatakan bahwa kau akan menjadi tumbal setelah pak Karto. Pak Karto yang lebih dulu, baru menyusul kau, dan yang lainnya. Tolong percaya dengan kami, kami tidak akan mungkin menyakiti mu." ucap Galuh menengahi.
Tampak mas Rama membuang nafasnya dengan kesal, mungkin dia menganggap kami semua bercanda dalam hal ini. Seharusnya dia membuka mata, bukan malah diam seperti orang tolol begitu.
"cukup cukup. Jangan terus fitnah putriku. Kalian sudah bertindak terlalu jauh. Jika tau akan menjadi seperti ini, aku akan menolak pernikahan Rama dengan Sinta!" teriak buk Surti.
Cuiiiih, dasar setan. Bisa-bisanya dia bermuka dua di saat seperti ini. Membalikkan fakta seolah-olah kamilah yang bersalah.
"dasar iblis, jika memang begitu mas Rama akan kami bawa pulang. Lebih baik dia ikut bersama kami dari pada menjadi tumbal kebiadaban mu!" balasku tak mau kalah.
Dia kira dia saja yang bisa begitu, aku juga bisa. Tatapan bengis di layangkan nya padaku, seolah mengatakan dasar kurang ajar.
"tidak, jangan bawa suamiku. Aku tidak mau berpisah dengannya." histeris mbak Sinta.
Mataku seketika mendongak, gak salah dengar nih dia bicara seperti itu. Ku lepas tangan ibu yang masih memegang lenganku, kemudian beranjak mendekat pada mereka.
"apa kau bilang tadi? Tidak mau berpisah dengannya?" ucapku dengan nada setengah mengejek. Dasar sialan, tidak ibu tidak anak semuanya sama.
"kalau iya kenapa? Kau iri iya!" bentaknya tepat di wajahku. Jangan lupakan nafas bau dan mulut baunya, tanpa ba-bi-bu lagi langsung ku jambak rambut si Sinta kurang ajar ini. Aku tidak perduli, jika mas Rama masih memeluk setan ini.
"awwww sakit!" teriaknya.
"ternyata kau pandai bersilat lidah rupanya, malam tadi kau katakan siluman itu lebih perkasa di bandingkan mas Rama, bahkan kau dan ibumu sepakat untuk menumbalkan bapakmu dan mas Rama. Sekarang kau katakan kau tidak mau berpisah dengannya, dasar biadab!" teriakku seraya menguatkan jambakan di rambutnya.
"awww sakit, sakit mas." teriak Sinta, gigi kuningnya sangat terlihat jelas bahkan di mataku kuningnya semakin pekat.
"lepaskan Laras, lepaskan!" ucap mas Rama mencoba melepaskan jambakan ku. Namun, entah sengaja atau tidak tiba-tiba saja mas Rama mendorong ku sampai aku tersungkur ke tanah.
"keterlaluan kau Laras, Sinta ini istriku." bentaknya.
" dia itu iblis mas, iblis!" teriakku.
Tampak dadanya bergemuruh, memandang ku seperti memandang seorang penjahat.
"betul yang di katakan ibu mertua kau sudah kelewatan Laras, kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu lagi. Kecewa aku memiliki adik seperti mu!" tunjuknya tepat di wajahku.
Tatapan menjadi nyalang, ada kecewa di hati ini aku yang hendak berdiri, tiba-tiba di bantu oleh Galuh. Mungkin dia merasa kecewa juga.
"kecewa katamu mas? Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Aku dan temanku berusaha menyelamatkan mu dari para iblis ini kau malah berkata yang tidak-tidak."
"aku tidak butuh semua itu Laras, mau seperti apa pun Sinta dia tetap istriku. Aku tidak akan pernah meninggalkan. Sekarang lebih baik kau pulang, dan mulai sekarang sudah ku putuskan aku akan tinggal di rumah Sinta, tidak di rumah ibu lagi." ucapnya sembari memeluk Sinta sialan itu dari samping.
Tampak wajah Sinta langsung sumringah melihat mas Rama berpihak pada nya, sementara aku menelan kekecewaan di sini.
"Rama jangan begitu nak" ucap ibuku.
"kesabaran Rama sudah habis buk, dari dulu Laras memang sengaja ingin memisahkan aku dengan Sinta, kali ini aku tidak mau kecolongan lagi. Biar bagaimanapun Sinta adalah istriku, sudah sepantasnya aku melindunginya."
Tampak ibuku kecewa di sini, mungkin dia tidak menyangka anak lelaki satu-satunya bisa berkata seperti itu.
"kau akan menyesal mas, telah mengambil keputusan yang salah." ucapku.
" tak kan ada penyesalan Laras, keputusan ku sudah bulat."
Dadaku bergemuruh, aku belum kalah. Aku belum kalah!.
"sudahlah Laras berhenti memfitnah keluarga ku. Kali ini kau ku maafkan karena aku masih memandang ibumu dan juga Rama, namun jika hal ini terulang kembali, tidak ada pintu maaf untuk mu yang kedua kalinya." ucap Surti sialan itu sembari menyilangkan kedua tangannya.
Ku cabikkan bibir ini, dasar iblis. Gegas aku bergerak berjalan menjauh dari mereka. Tau apa yang ku lakukan, mengambil tanggok yang berukuran besar mirip seperti jala tapi bergagang. Karena mataku baru melihat ada tanggok yenga teronggok di sudut tembok sana.
"aku akan membuktikan pada kalian semua, terumah kau mas Rama. Bahwa apa yang ku katakan semuanya adalah benar!"
Dengan cepat aku mengangguk alat untuk menangkap ikan tersebut, lalu membawa nya ke tepian kolam.
"apa yang mau kau lakukan!" teriak buk Surti.
" diam, diam kau! Jangan ikut campur urusan ku!"
" Bima, ayo kita tanggok ikan di dalam kolam ini bila perlu habiskan! " perintah ku.
" dengan senang hati Laras."
Dengan cepat Bima memasukkan alat itu ke dalam kolam, dan siapa sangka sekali angkat lima ekor ikan lele jumbo langsung terangkat.
Bima langsung meletakkan ikan-ikan itu di atas tanah, kemudian memasukkan alat itu kembali ke dalam kolam kemudian di angkat lagi kali ini lima ekor terambil.
Begitu seterusnya hingga terdengar teriakan buk Surti dari tempatnya.
"hentikan!" histeris nya.
"kenapa? Kau takut siluman itu marah. Iya!" teriakku.
Sementara itu Bima masih terus mengambil ikan-ikan itu, terlihat di tanah ikan-ikan itu pada menggelepar karena tak ada asupan air.
Setelah cukup banyak terambil dengan cepat ku keluarkan kater dari saku milikku.
"creeeesssss, creeeesss, creeeees,"
Pisau yang tajam dengan cepat menyayat leher ikan yang mulai kehabisan nafas itu.
"rasakan!" batinku.
Namun baru setengah perjalanan aku melakukan tugasku, tiba-tiba tubuhku ambruk terjungkal. Siapa lagi pelakunya kalau bukan buk Surti.
"berhenti pembunuh," teriaknya histeris.
" kau kira aku perduli! " bentakku. Ku lanjutkan aksi ku, namun siapa sangka buk Surti malah memegang lenganku yang kosong.
"hentikan bedebah!" ucapnya tajam.
"jangan halangi aku sialan, apa kau mau pipi mu yang peot itu terkena pisau milikku." balasku.
Buk Surti lantas mundur kemudian dia berlari menuju sang suami.
"pak, tolong hentikan Laras pak. Tolong." u apanya histeris.
Tak ada pergerakan dari sang suami, namun sepertinya dia enggan.
"Galuh, bantu aku membuang bangkai ikan ini ke dalam kolam!"
Sahabatku itu seketika mengangguk, dengan cepat dia membuang ikan yang sudah mati ke dalam kolam, dan reaksi buk Surti semakin histeris jadinya.
"jangan... Jangan!" teriaknya.
"sudahlah buk," ucap sang suami mencoba menenangkan nya.
"sudah bapak bilang, kita semua bisa celaka pak. Kita bisa celaka."