Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
“Ya, nanti Faiz ke rumah sakit,” katanya akhirnya, suaranya tetap tanpa emosi. “Faiz akan lihat sebentar. Setelah itu Faiz harus pergi, ada urusan lain.”
“Ibu tidak mengerti dengan sikapmu ini, Faiz,” suara Ibu Maisaroh pecah, penuh kecewa. “Alea itu istrimu!”
Faizan tidak menanggapi. Ia hanya menutup telepon, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar. Gerakannya tenang, tapi jelas ada keengganan di setiap langkahnya. Dengan wajah datar, ia membersihkan diri dan mengganti pakaian, seolah-olah kabar tentang Alea hanya satu lagi masalah yang menambah tumpukan beban di kepalanya.
“Huuft… benar-benar merepotkan,” gumamnya dingin, hampir tanpa emosi.
--
Di luar, langit pagi ini mulai menggelap, awan tebal menggantung seolah mencerminkan suasana hati yang suram. Faizan mengambil kunci mobil dari meja, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tidak ada tanda-tanda tergesa-gesa, seakan kepergian ke rumah sakit bukan hal mendesak.
Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—bukan kekhawatiran, melainkan semacam kekesalan yang dipendam terlalu lama.
Sesampainya di rumah sakit, aroma obat-obatan langsung menyergap begitu ia melangkah masuk. Suasana koridor dipenuhi suara langkah perawat, bunyi mesin monitor, dan percakapan lirih keluarga pasien.
Faizan berjalan lurus menuju ruang perawatan Alea. Di depan pintu, ia berhenti sebentar, menarik napas panjang, lalu mendorongnya perlahan.
Alea terbaring di ranjang dengan wajah pucat, selang infus terpasang di tangan mungilnya. Matanya tertutup, napasnya pelan tapi teratur. Di samping ranjang, Ibu Maisaroh duduk dengan wajah cemas, sementara seorang perawat tengah memeriksa catatan medis.
“Faiz,” suara Ibu Maisaroh terdengar serak, ada kelegaan sekaligus amarah yang tertahan. “Akhirnya kamu datang juga.”
Faizan hanya mengangguk tipis. Pandangannya sekilas menyapu wajah Alea, tapi ekspresinya tetap datar, seolah tak ada yang benar-benar menyentuh perasaannya.
“Bagaimana keadaannya?” tanyanya singkat pada perawat.
Perawat itu menatap Faizan dengan ragu sejenak sebelum menjawab, suaranya pelan, penuh empati.
“Maaf, Pak… pasien sempat pendarahan hebat. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi… janinnya tidak bisa diselamatkan.”
Namun Faizan—hanya berdiri kaku di tempatnya. Tidak ada ekspresi terkejut, tidak ada amarah, tidak ada kesedihan di wajahnya. Ia hanya mengangguk tipis, seolah berita itu hanyalah laporan biasa yang harus ia dengar.
“Baiklah,” ucapnya pelan, datar, nyaris tanpa intonasi.
Ibu Maisaroh mendongak, matanya berkaca-kaca memandang putranya. “Faiz… apa cuma itu reaksimu? Ini bayimu… anakmu sendiri, Faiz! Alea sudah kehilangan darah begitu banyak, dia—”
“Yang penting dia selamat, kan?” potong Faizan tenang, nada suaranya dingin hingga membuat ruangan terasa kian sesak. “Soal bayi… itu sudah di luar kuasa kita.”
Alea yang sejak tadi terdiam hanya memejamkan mata lebih rapat. Ada air mata yang lolos di sudutnya, jatuh tanpa suara. Ia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—kehilangan buah hatinya, atau sikap suami yang bahkan tak terguncang sedikit pun.
Ibu Maisaroh berdiri dengan wajah marah bercampur sedih. “Kamu ini manusia atau bukan, Faiz? Alea butuh kamu! Dia kehilangan anakmu, dan kamu berdiri di sini seperti… seperti tidak terjadi apa-apa!”
Faizan menoleh perlahan ke arah ibunya. Tatapan matanya tenang, tapi di balik ketenangan itu ada dinding tebal yang tak bisa ditembus siapa pun.
“Aku tidak melihat gunanya histeris, Bu. Toh, menangis tidak akan mengubah apa pun.”
Suasana di ruangan itu membeku. Hanya suara detak monitor yang mengisi keheningan, sementara Alea terisak tanpa suara di balik kelopak matanya yang tertutup.
Faizan mengangguk lagi. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia menarik kursi dan duduk di dekat ranjang, tapi tidak menyentuh tangan Alea. Hanya menatapnya dalam diam, entah apa yang ada di pikirannya.
Ibu Maisaroh memandang putranya dengan tatapan tajam. “Faiz… Alea butuh suaminya sekarang. Bukan hanya tubuhmu yang duduk di sini, tapi hatimu juga.”
Kali ini Faizan mengalihkan pandangan ke ibunya, tapi hanya sekejap. “Aku sudah di sini, Bu. Itu saja sudah cukup,” ucapnya datar.
Suasana kamar seketika hening, hanya suara detak mesin monitor yang terdengar.
Faizan tetap duduk di kursinya, wajahnya datar tanpa sedikit pun perubahan. Tidak ada kehangatan yang benar-benar terasa. Hanya diam. Hanya kehadiran fisik semata.
-
Tiga puluh menit berlalu dengan lambat. Alea beberapa kali mencoba mengajaknya bicara, tapi jawaban Faizan selalu pendek dan hambar. Akhirnya ia hanya terdiam, menatap langit-langit kamar, menyimpan kecewa yang tak diucapkan.
Faizan berdiri, gerakannya tegas dan tanpa ragu. “Aku harus pergi,” katanya singkat sambil merapikan jaketnya.
Ibu Maisaroh yang sedari tadi memandang dengan hati geram langsung menahan lengannya. “Faiz! Kamu serius mau ninggalin istrimu lagi? Alea butuh kamu! Kamu pikir dia di sini sendirian kuat?” Suaranya bergetar menahan emosi.
Faizan menoleh, tatapannya dingin seperti es. “Aku sudah di sini. Itu cukup. Aku ada urusan lain.”
“Apa urusanmu lebih penting daripada istrimu yang baru saja sakit begini?” suara Ibu Maisaroh meninggi, hampir pecah.
Faizan menarik lengannya perlahan, tapi tegas. “Bu, jangan paksa aku. Aku nggak bisa pura-pura jadi orang yang Ibu mau.”
Lalu tanpa menunggu jawaban, Faizan melangkah pergi. Pintu kamar menutup dengan suara yang terasa seperti pukulan di hati Alea.
Ibu Maisaroh berdiri mematung, dadanya naik-turun menahan marah dan kecewa. Sementara Alea hanya menatap pintu itu dengan mata berkaca-kaca, berusaha menelan kenyataan bahwa suaminya memang tak pernah peduli padanya.
Alea memalingkan wajah ke arah jendela, berusaha menyembunyikan air matanya yang akhirnya jatuh juga. Tubuhnya terasa lemah, tapi yang paling menyakitkan bukan luka di tubuh—melainkan di hatinya.
Ibu Maisaroh cepat-cepat mendekat, duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan Alea. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha menenangkan.
“Sudah, Nak… jangan dipikirin dulu Faiz,” ucapnya pelan, mengelus tangan Alea yang dingin. “Laki-laki itu… kadang keras kepala. Ibu tahu kamu sakit bukan cuma di badan, tapi juga di hati.”
Alea menggeleng lemah. “Bu… dia… bahkan nggak peduli dengan anak yang aku kandung.” Suaranya pecah di akhir kalimat, dan air matanya mengalir deras.
Ibu Maisaroh menarik napas panjang, berusaha tetap tegar meski hatinya sendiri ikut perih melihat menantunya begitu hancur. “Alea, yang penting sekarang kamu sembuh dulu, ya? Urusan Faiz… nanti kita bicarakan lagi. Ibu nggak akan diam. Ibu janji.”
Alea menggigit bibirnya, menahan isak. Ia tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Ibu Maisaroh lebih erat, seolah butuh pegangan di tengah badai yang ia hadapi sendirian.
Di dalam hati, Ibu Maisaroh menyimpan kemarahan pada putranya sendiri. Tapi ia memilih diam, tak ingin membuat Alea makin terluka dengan kata-kata yang mungkin justru memperparah keadaan.
...----------------...
Bersambung...