Aku Bukan Pelacur
“Faiz, sedang apa kau berdiri di situ? Ayo, semua tamu undangan sudah menunggu.”
Maisaroh, ibu Faizan, menghampiri putranya yang masih saja berdiri di balkon kamar.
Jas hitam dengan kemeja putih melekat rapi di tubuh tegap Faizan.
“Aku tidak melakukan apa pun padanya, Mah,” kata Faizan lirih, masih menatap pepohonan di kejauhan.
“Mamah tahu, Nak. Tapi kau harus membuktikan pada mereka kalau kau tidak melakukannya malam itu.”
---
Pada malam itu telah terjadi kesalahpahaman besar, yang membuat Faizan harus menikahi seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.
Faizan mendengar suara teriakan dari ujung jalan dan menghentikan motor yang ia kendarai. Ia baru saja pulang setelah pengajian di masjid terdekat.
Faizan menoleh karena suara minta tolong itu terdengar jelas dari arah kirinya. Rasa penasaran membuatnya mengarahkan motor ke sumber suara.
“Hey, kau kenapa? Apa yang sudah membuatmu seperti ini?” tanyanya pada seorang gadis yang terbaring di tanah.
Saat hendak membantu gadis itu bangun, tangan Faizan justru ditolak kasar olehnya. Gadis itu menatap Faizan dengan sorot mata penuh ketakutan. Penampilannya acak-acakan: rambut kusut, lengan baju sobek, pipi basah karena air mata.
“Pergi! Jangan sakiti aku!” suara gadis itu bergetar ketakutan.
“Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya me—”
“Tolooong...!” gadis itu berteriak sekeras mungkin, membuat Faizan mundur selangkah. Niat baiknya disalahpahami.
Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang baru selesai pengajian beramai-ramai menghampiri mereka.
Dengan wajah penuh ketakutan, gadis itu menangis tersedu, menatap Faizan dengan ngeri.
“Di... dia mau melecehkan aku. Tolong aku...” rintihnya sambil menunjuk Faizan di hadapan orang-orang yang mulai berkerumun.
Ekspresi Faizan berubah drastis, terkejut mendengar tuduhan itu. Seorang wanita paruh baya berlutut di samping gadis tersebut, berusaha menenangkannya.
Faizan menggeleng, tangannya mengepal kuat menahan amarah.
“Maaf, sebenarnya bukan itu yang terjadi. Aku hanya—”
“Sudahlah, jangan mengelak. Jujur saja, kau sebenarnya mau memperkosa gadis ini, kan?” teriak seorang wanita dari kerumunan.
“Iya! Lihat saja, baju gadis itu sudah sobek. Pasti dia memaksanya!” sahut ibu-ibu yang lain.
“Bapak-bapak, dia harus segera dibawa ke kantor polisi. Dia sudah melakukan pelecehan terhadap gadis ini!” seru seorang wanita dengan tegas.
Di pertigaan, seorang ibu paruh baya yang berjalan bersama teman-temannya terhenti melihat kerumunan itu.
“Ada apa itu ramai-ramai?” tanya seorang temannya.
“Nggak tahu, ayo kita lihat.”
Ibu paruh baya itu—Maisaroh—akhirnya mendekat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat putranya menjadi sasaran tuduhan.
“Ada apa ini? Kenapa putra saya diseret-seret begini?” protesnya.
Faizan memegang tangan ibunya. “Ada apa ini, Faiz? Apa yang terjadi?” tanya Maisaroh.
“Mereka salah paham, Mah. Mereka kira aku melecehkannya.”
“Astaghfirullah...” ucap Maisaroh lirih.
“Halaaah... tidak usah sok alim, Bu! Masa iya, ibunya ustadzah, anaknya melecehkan seorang gadis?” sindir seorang wanita.
“Tutup mulutmu! Sudah kubilang, aku tidak pernah melecehkannya! Menyentuhnya pun tidak!” tegas Faizan, wajahnya memerah menahan emosi.
Ucapan-ucapan penuh fitnah terus menghujani mereka. Maisaroh hanya bisa menahan sedih; dia tahu putranya tidak akan melakukan hal serendah itu.
“Ayo, Mah. Kita pulang.” Faizan menggandeng tangan ibunya.
“Hey! Jangan lari dari tanggung jawab, Faizan!” teriak seorang pria paruh baya, membuat langkah mereka terhenti.
Maisaroh menatap kerumunan dengan wajah tegang. Setelah menarik napas panjang, ia memberi keputusan mengejutkan:
“Baiklah. Putra saya, Faizan, akan bertanggung jawab pada gadis ini.”
Faizan menatap ibunya, ekspresinya tak percaya.
“Mah, aku nggak melakukan apa-apa. Aku hanya ingin menolongnya saat dia berteriak minta tolong,” suaranya tercekat.
“Apa kau punya bukti bahwa kau tidak melakukan itu, Nak?” tanya Maisaroh dengan nada tegas.
“Mamah nggak percaya pada anak sendiri?” Faizan terlihat kecewa.
“Mamah percaya, Faiz. Sangat percaya,” balas Maisaroh lembut. “Tapi tanpa bukti, kita akan menanggung malu seumur hidup. Pikirkan reputasi Mama, juga perusahaanmu. Pikirkan itu.”
“Tidak perlu mendengarkan ucapan mereka, Mah,” Faizan mulai frustrasi.
“Itu menurutmu. Tapi Mama memikirkan nama baik kita ke depannya.”
Maisaroh menatap gadis yang masih ketakutan, lalu bersuara tegas di hadapan semua orang:
“Baiklah! Putra saya akan menikahi gadis ini. Dia akan bertanggung jawab sepenuhnya.”
Faizan berdiri kaku. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, napasnya tersengal menahan emosi. Tatapannya menusuk ke arah gadis itu, yang menunduk ketakutan setelah menuduhnya.
Dengan suara bergetar menahan marah, Faizan berbisik lirih:
“Gadis murahan... pelacur tidak berguna...”
***
Bersambung...
****************
Assalamualaikum, haaay semuanya para pembaca setiaku... Miss Ra hadir lagi dengan cerita baru. Mohon dukungannya yaaa... Cerita ini Miss Ra buat dengan memutar otak keras yaa...
Jangan lupa kasih jempol dan komentar baiknya, pantengin terus kisah cerita *Aku Bukan Pelacur*
Oke selamat membaca semuanya, semoga suka dengan ceritanya. Iloveu sekebon buat kalian semua, sampai jumpa di Up selanjutnya yaa...
See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Anonymous
😍😍😍
2025-09-22
1