NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 27

Langit masih gelap. Hujan belum turun, tapi angin dini hari menampar-nampar genteng rumah seperti sedang ikut merintih.

Di atas sajadah yang basah oleh air wudhu dan air mata, Ustadz Yassir Qayyim bersimpuh. Kain sarungnya sedikit kusut, kemeja koko putihnya menempel di punggung yang sedikit gemetar. Di pelukannya, bayi kecil mungil bernama Miera, terlelap dengan dada naik turun, tak tahu ayahnya sedang pecah di sepertiga malam yang paling sunyi.

“Allahu... kalau ini bentuk rindu yang Engkau pilih untukku, maka kuatkan,” bisiknya lirih, suara serak nyaris putus.

Lama ia diam. Hanya lampu temaram dan dzikir pelan dari bibirnya yang menemani. Tapi tiba-tiba, suara itu pecah—bukan marah, bukan kecewa, hanya rindu yang tak bisa lagi dibendung.

“Saya bukan nabi, ya Rabb. Saya bukan wali. Saya cuma lelaki biasa yang sedang kehilangan rumahnya. Zamara itu rumah saya, ya Allah,” lirihnya, bergetar di antara isak yang ditahan.

Air matanya jatuh satu-satu, membasahi sajadah dan pipi bayinya.

“Dia istri saya... istri saya yang saya tunggu dari dulu. Zamara itu bukan cuma cantik, dia penenang saya, tempat saya bertanya, tempat saya pulang,” curhatnya dengan suara pecah.

Tangannya menggenggam jari mungil Miera, lalu mengangkatnya pelan ke dada.

“Kau tahu, Miera... Mamamu itu keras kepala, manja, suka ngambek. Tapi kalau kamu tahu betapa pintarnya dia nyembunyiin air mata supaya Ayahmu ini tetap kuat berdiri di mimbar, kamu pasti bangga,” bisiknya sambil mengecup kening anaknya.

“Dia pergi. Iya. Tapi Ayah yakin dia nggak pernah betul-betul ninggalin kita. Hatinya masih di sini. Di rumah ini. Di kamu,” katanya lagi, suara mulai parau.

Yassir menarik napas dalam, mencoba menahan tangis yang mulai menggulung kembali dari dada.

“Saya pengin dia pulang, Bu... saya pengin dia duduk di sebelah saya lagi, ketawa lagi, ngetawain lelucon receh saya, atau marah-marah kalau saya lupa ngunci pintu,” lirihnya, seolah menjawab suara Bu Salamah dari beberapa jam lalu.

Tiba-tiba ia memeluk Miera lebih erat, lalu menunduk. Keningnya menyentuh sajadah.

“Kalau memang saya harus diuji seperti ini... jangan Engkau ambil kepercayaan saya untuk menunggu,” ucapnya lirih.

Lalu malam itu benar-benar sunyi. Tak ada suara kecuali tangisan pelan seorang lelaki 32 tahun yang biasa berdiri tegak di atas mimbar, namun kali ini, lututnya gemetar karena kehilangan.

Dia bukan imam yang sempurna.

Tapi malam itu, di sepertiga yang sunyi, Yassir Qayyim hanya ingin jadi suami yang dirindukan istrinya, dan ayah yang tak pernah pergi dari sisi anaknya.

Dan saat adzan Subuh perlahan menggema dari masjid di seberang jalan, Yassir mengusap wajahnya. Bibirnya tersenyum pelan, meski matanya masih basah.

“Zamara... di mana pun kamu sekarang, pulanglah. Bukan untuk minta maaf, tapi untuk bahagia lagi. Bersama.”

Jakarta, siang yang terik...

Langkah ustazah Aisyah terdengar pelan namun mantap menyusuri halaman rumah pribadi milik Ustadz Yassir Qayyim. Tangan kirinya menjinjing tas berisi makanan dan kue-kue basah, tangan kanannya membawa kantong besar berisi popok dan susu bayi.

Wajahnya dihiasi senyum manis, tapi dalam benaknya ia menyusun skenario baru, seperti biasa berharap bahwa hari ini hati sang ustadz akan melunak.

Pintu dibukakan oleh Bu Salamah, pembantu setia di rumah itu. Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

“Assalamualaikum, Bu Salamah. Ustadz Yassir ada?” sapa Aisyah dengan ramah.

“Wa’alaikumussalam… Eeh, Ustadz baru saja berangkat ke Al Muttaqin, Bu. Tapi… silakan masuk,” ucap Bu Salamah ragu. Ia langsung menyampaikan kabar itu ke Faris, Salwa, dan Gilang yang sedang berkumpul di ruang tengah.

Tak butuh lama, ketiganya muncul.

“Ustazah Aisyah,” sapa Faris dengan datar.

“Alhamdulillah… Kalian semua di rumah. Saya bawa ini, sedikit makanan, dan juga perlengkapan bayi. Saya yakin, pasti berat mengurus bayi tanpa perempuan di rumah ini.”

Salwa berdiri dan menghampiri dengan senyum sopan. “Terima kasih, Ustadzah. Tapi... kami bisa urus semuanya. Kami sudah biasa.”

“Ah, Salwa sayang... Aku hanya ingin membantu. Lagipula, sampai kapan kalian semua akan menunggu perempuan yang bahkan entah di mana jasadnya?” Nada suara Aisyah mulai berubah, senyumnya memudar, kepahitannya menyeruak. “Zamara sudah tiada. Kenapa kalian tidak merelakan saja?”

Ucapan itu langsung membuat suasana tegang. Gilang berdiri, rahangnya mengeras.

“Ustazah, tolong jaga ucapan. Kami semua masih menunggu Kak Zamara, dan kami tidak pernah anggap dia tiada.”

Faris menambahkan dengan suara tegas. “Dan maaf... sebaik apa pun niat Ustazah datang, Ustadz Yassir tidak berniat menikah lagi. Sekaya, sepintar, secantik apa pun orangnya. Kami tidak ingin luka lama dibuka lagi.”

Mata Aisyah mulai berkaca. “Kenapa kalian keras sekali padaku?! Aku mencintainya! Aku siap jadi ibu dari anaknya! Kenapa kalian menutup semua pintu?”

Salwa tetap tenang. “Karena pintu itu tidak pernah terbuka, Ustazah. Cinta yang dipaksakan hanya akan merusak, bukan membahagiakan.”

Aisyah menatap satu per satu wajah mereka, lalu mendengus keras.

“Kalian semua pengecut! Masih terjebak dalam bayang-bayang perempuan mati!”

Gilang langsung menyahut tajam, “Lebih baik kami setia pada kenangan yang hidup, daripada mengkhianati hati yang belum sembuh. Dan tolong... ini rumah kami. Jangan datang membawa luka lalu berharap diterima seperti pahlawan.”

Ucapan itu menampar harga diri Aisyah.

Dengan wajah menegang, ia mendesis, “Suatu saat kalian akan sadar… pria seperti Yassir butuh wanita yang nyata, bukan bayang-bayang masa lalu.” Lalu ia berbalik dan melangkah pergi dengan kasar, meninggalkan bungkusan yang ia bawa.

Sesaat kemudian, keheningan menyergap rumah itu.

Salwa menghela napas, Faris duduk sambil memijat pelipisnya, sementara Gilang berkata lirih, “Kak Yassir harus tahu ini. Ustazah Aisyah makin nekat.”

alam mulai turun perlahan di Jakarta. Rumah dua lantai milik Ustadz Yassir Qayyim temaram oleh cahaya lampu kuning yang hangat. Hening, namun tidak pernah kehilangan napas kehidupan. Dari kamar atas terdengar suara gemericik air dan aroma minyak telon yang menenangkan.

Ustadz Yassir baru selesai mandi. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian rumahan sederhana: kaus putih lengan panjang dan sarung kotak yang dililit rapi. Rambutnya sedikit basah, wajahnya segar meski sorot matanya tetap teduh seperti biasa. Dalam diam, tangannya mengambil sisir kecil lalu merapikan rambutnya sebentar.

“Bismillah,” gumamnya pelan sambil melangkah ke tempat tidur bayi di pojok ruangan.

Dengan gerakan hati-hati, ia membungkuk, mengangkat bayi mungil itu dari ranjang. Miera yang tengah tertidur, perlahan membuka matanya, lalu tersenyum kecil melihat wajah ayahnya. Senyuman yang tak pernah gagal meluluhkan dada Yassir.

“Assalamualaikum... putri shalihah Abi,” bisiknya lembut, menggendong Miera sambil mengecup pelipis mungil itu.

Langkahnya turun ke lantai bawah pelan-pelan. Badannya condong ke depan seolah menjaga bayinya dari angin malam yang menyusup lewat celah jendela. Sampai di ruang tengah, suara tawa kecil terdengar. Di sana, orang tua angkatnya, Pak Bahar dan Bu Salamah, duduk bersila di karpet bersama Faris, Gilang, dan Salwa. TV menayangkan sinetron religi, tapi yang mereka tonton lebih banyak tingkah lucu satu sama lain.

“Eh, akhirnya turun juga ustadznya!” seru Pak Bahar sambil tertawa kecil. “Sini-sini, Miera biar kakek gendong,” sambungnya.

Yassir tersenyum, lalu duduk di dekat mereka. Ia menempatkan Miera di pangkuan Bu Salamah yang langsung mengelus lembut kepala cucu kecilnya. Faris mengambil satu gorengan lalu berkata sambil melirik:

“Abi… ehm, pagi tadi Ustadzah Aisyah datang.”

Yassir hanya menoleh singkat. “Begitu ya,” ujarnya kalem, sembari menyeka sisa air di telinga Miera.

“Dia bawa makanan, kue, juga perlengkapan bayi. Tapi… kata-katanya tadi sempat menyinggung,” tambah Gilang pelan.

Salwa mengangguk. “Dia bilang, ‘Sampai kapan kita nunggu perempuan yang entah di mana jasadnya,’ gitu katanya.”

Pak Bahar ikut menimpali, “Saya ngerti maksud Aisyah itu baik, cuma caranya... ya Allah.”

Yassir tidak langsung membalas. Ia menatap bayinya lama, mengusap pipi kecil itu dengan ujung jarinya. Baru setelahnya ia bicara pelan, penuh makna.

“Tamu tetap tamu. Sekesal apapun, rumah ini tidak boleh menolak siapapun yang datang baik-baik,” ucapnya tenang. “Apalagi membawa makanan. Itu tetap rezeki. Harus disyukuri.”

Ia mengangkat pandangannya, menatap satu per satu anggota keluarganya.

“Tapi...,” lanjutnya pelan, “...hati dan tubuhku hanya milik Zamara. Sampai kapan pun. Sampai Allah sendiri yang bilang cukup.”

Kalimat itu membuat semua terdiam.

Yassir menarik napas panjang. “Aku ini laki-laki. Tapi bukan berarti bebas mencintai siapa saja. Zamara bukan hanya istri. Dia rumah, dia doa, dia saksi dalam sujud-sujudku.”

Bu Salamah berkaca-kaca matanya. “Ya Allah, Nak…”

“Biarlah dunia bilang Zamara sudah pergi. Tapi buatku, dia masih di sini,” ujar Yassir sambil menepuk dada kirinya. “Aku tidak butuh wanita baru. Aku cuma butuh waktu. Kalau Allah takdirkan dia kembali, Alhamdulillah. Kalau tidak, aku akan tetap menjadi ayah dan suami yang setia, meski sendiri.”

Salwa menunduk haru. Gilang mengusap matanya yang mulai merah. Faris memalingkan wajah ke jendela, menghela napas.

“Dan satu hal lagi,” kata Yassir sambil berdiri perlahan, menggandeng Miera yang tertidur kembali. “Jangan marah pada siapa pun yang datang ke rumah ini. Kita bisa menolak niatnya, tapi bukan orangnya. Karena rumah ini dibangun dari kesabaran dan doa, bukan dari kebencian.”

Ia melangkah pelan kembali ke lantai atas. Suara langkahnya berpadu dengan detak jam dinding.

Di kamar, Yassir membaringkan Miera dengan hati-hati. Lalu, sebelum mematikan lampu, ia mengambil mushaf kecil dari atas nakas. Tapi sebelum membukanya, ia menatap foto di dinding. Foto Zamara, dengan gaun putih dan senyum yang tak pernah ia lupakan.

“Sayang... tidakkah kamu dengar aku masih menunggu?” bisiknya lirih.

Lalu ia mulai mengaji, pelan. Suaranya merambat seperti angin malam, menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:

Menikah Mantan Istri Sahabatku

Pawang Dokter Impoten

Dipaksa Menjadi Istri Kedua

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!