NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aleron's Birthday

Dua hari setelah ulang tahun Thea, hari Senin malam. Hujan tipis baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang meresap ke dalam hidung Al begitu ia keluar dari mobil. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Ia baru pulang dari kantor karena ada laporan penting yang harus ia selesaikan. Kepalanya penat, pundaknya terasa berat, tapi rasa rindunya pada Thea dan Baby Cio membuatnya bersemangat pulang.

Al masuk ke mansion yang gelap dan hening. Hanya lampu-lampu kecil penerang koridor yang menyala temaram. Tidak ada aroma makanan atau suara lembut musik dari speaker seperti biasanya. Semua gelap dan sepi.

Al menaruh jasnya di gantungan sambil mengernyit bingung. Biasanya, bahkan jika ia meminta mereka untuk tidur lebih dulu, Thea dan Cio tetap akan menunggunya di sofa ruang keluarga, atau sekadar meninggalkan lampu menyala. Tapi malam ini... kosong. lalu melangkah ke ruang keluarga, berharap mendapati Thea duduk menunggunya seperti biasa — dengan Baby Cio di pangkuannya, sama-sama terkantuk-kantuk menunggu Al pulang.

Namun ruang keluarga kosong. Cangkir teh di meja masih rapi. Remote TV di tempatnya. Tidak ada suara tawa kecil Thea atau tangis rengek manja Cio. Al mengernyit heran.

Ia menaiki tangga menuju kamar Thea.

Didorongnya perlahan pintu kamar Thea — kosong. Hanya ranjang rapi dengan aroma lembut wangi linen. Didekatinya ranjang Baby Cio yang biasa ditaruh di samping — kosong juga.

Al mulai panik.

Ia bergegas ke kamar Baby Cio yang lain, memeriksa satu per satu.

Masih kosong.

Panik mulai merayap di dada Aleron.

“Apa Thea dan Cio menginap di luar? Tapi nggak mungkin. Dia pasti pamit…”

Napasnya mulai tak teratur. Kepalanya penuh bayangan buruk.

Jantung Al berdegup kencang. Tiba-tiba muncul pikiran buruk. "Jangan-jangan sesuatu terjadi…”Al meneguk ludah, lalu berlari turun kembali ke lantai bawah. Ia memeriksa ruang makan, ruang baca, sampai ruang musik — nihil.

Karena mansion ini sangat luas dan para maid hanya bekerja sampai sore lalu pulang ke paviliun dekat taman belakang, suasana malam memang sunyi.

Dengan napas memburu, Al mengambil ponselnya dan menekan nomor Arga.

“Arga, kerahkan semua orang kita. Cari Thea sama Baby Cio sekarang juga. Gue takut terjadi sesuatu.”

Baru saja Arga mengiyakan dengan suara panik, tiba-tiba terdengar suara *GEDUBRAK* — bunyi benda jatuh keras dari arah taman belakang.

Al segera memutus telepon dan berlari ke arah suara itu. Nafasnya makin cepat, ia bahkan tak sempat pakai sepatu, hanya berlari dengan kaus kaki melewati koridor panjang menuju pintu kaca yang mengarah ke taman belakang.

♾️

Di taman belakang mansion

Sesampainya di teras taman, Al tertegun.

Taman belakang mansion biasanya diterangi lampu-lampu temaram cantik yang melingkari pohon-pohon besar, tapi sekarang semuanya gelap total. Hanya terdengar desir angin malam dan aroma mawar basah sisa hujan.

Al menatap waspada, matanya mencoba menembus gelap.

Tiba-tiba CLICK

Lampu-lampu taman menyala serentak, menyoroti pemandangan di tengah halaman rumput luas.

Di sana berdiri Thea, mengenakan dress cantik berwarna burgundy yang jatuh anggun membingkai tubuhnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai sedikit berantakan ditiup angin malam. Di tangannya ada kue tart dengan lilin yang menyala lembut. Di sampingnya berdiri Baby Cio, tampak setengah ngantuk dengan piyama beruangnya tapi matanya berbinar melihat papanya.

Di belakang mereka ada meja makan bundar yang dihias indah dengan lampu-lampu gantung kecil yang menjuntai dari pohon. Ada setangkai mawar putih di vas, sepiring steak yang masih mengepul, sup jamur dalam mangkuk cantik, serta roti baguette di keranjang anyaman. Bau gurihnya menampar hidung Al yang sejak tadi belum makan malam.

Thea tersenyum tipis lalu mulai menyanyikan,

🎶 Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday dear Al...🎶

Suaranya lembut bergetar menahan haru.

Al yang tadinya penuh kekhawatiran langsung meneteskan air mata. Dadanya serasa sesak, semua rasa panik yang sempat menyiksanya kini luruh diganti rasa syukur. Dua orang yang paling ia cintai berdiri di depannya, memberikan kejutan yang bahkan tak pernah ia bayangkan.

Ia berjalan perlahan mendekat, menatap Thea dan Cio dalam-dalam.

Sesampainya di depan mereka, Thea berkata lembut,

“Make a wish dulu ya, Al...”

Al memejamkan mata. Ia menarik napas panjang, berdoa penuh kesungguhan — berterima kasih pada Tuhan untuk hidupnya, untuk Thea dan Baby Cio, memohon agar keluarganya selalu dilimpahkan kesehatan, kebahagiaan, dijauhkan dari marabahaya, dan supaya ia diberi kekuatan menjadi ayah dan suami yang baik kelak.

Selesai berdoa, ia membuka mata, meniup lilin.

Thea tersenyum lebar, lalu mengecup pipi Al.

“Happy birthday, Al...”

♾️

Mereka lalu duduk di meja makan itu. Baby Cio diletakkan di baby chair kecil dengan mainan.

Al mencicip steak di piringnya.

“Ini... luar biasa enak. Kamu yang masak?” tanyanya masih terharu.

“Hmm syukurlah kalau kamu suka,” jawab Thea sedikit malu-malu, padahal senyumnya sangat bangga.

"Apa kamu lupa dari dulu aku yang selalu menjadi kelinci percobaanmu, tapi walaupun itu pertama kamu memasak tidak pernah gagal" Kata Al menggoda dan Thea hanya diam karena itu benar. Thea tidak seberapa suka memasak. Tapi entah dulu ia fomo atau apa ia tiba-tiba jadi rajin memasak dan Al lah yang ia suruh mencoba.

Al tertawa kecil lalu menatap Thea penuh rasa.

“Tahu nggak? Aku kira tadi kalian kenapa-kenapa. Jantungku rasanya mau copot.”

Thea memegang tangan Al di atas meja, mengusap punggung tangannya pelan.

“Maaf ya bikin kamu khawatir... Tapi aku cuma mau kasih sesuatu yang spesial untuk kamu. Kamu sudah kerja terlalu keras. Kamu selalu mikirin semua orang, sekarang biar kami berdua yang bikin kamu merasa dicintai.”

Al diam menatap Thea, lalu jemarinya menggenggam erat tangan Thea.

“Terima kasih, Love. Kamu nggak tahu betapa bersyukurnya aku kalian berdua ada di hidupku.”

Baby Cio tiba-tiba tertawa kecil sambil menepuk meja seolah ikut senang.

Thea dan Al pun ikut tertawa.

♾️

Malam makin larut. setelah makan, Al mengangkat Thea dari kursinya, lalu memeluknya erat di bawah lampu-lampu taman.

“Terima kasih ya... untuk semua ini, untuk selalu ada buat aku,” bisik Al di telinga Thea.

Thea menatap Al, mengusap wajahnya lembut.

“Aku juga berterima kasih sama kamu, Al. Kamu bikin aku mau percaya lagi sama kata ‘keluarga’.”

Al menunduk mencium kening Thea lama sekali, lalu menempelkan dahinya di dahi Thea.

“Selamanya ya, Thea. Kamu, aku, dan Cio.”

“Selamanya,” jawab Thea berbisik.

Mereka lalu kembali merapikan meja bersama, sebelum masuk ke dalam mansion sambil masing-masing menggendong Baby Cio yang sudah mulai mengantuk. Malam itu benar-benar menjadi malam penuh cinta yang menenangkan hati mereka setelah sekian lama sama-sama lelah dengan dunia.

♾️

Setelah makan malam hangat mereka di taman belakang, Al dan Thea menidurkan Baby Cio lebih dulu. Bayi kecil itu sudah kelelahan, hanya sempat menggumam manja sebelum terlelap dalam boks di kamar.

Kini, Thea dan Al berdiri berdua di balkon kamar Thea. Angin malam berhembus pelan, menebar aroma rerumputan basah sisa siraman sprinklers taman. Dari kejauhan gemerlap lampu kota Jakarta terlihat seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi.

Thea berdiri bersandar pada pagar balkon, memeluk kedua lengannya sendiri. Tatapannya kosong menembus gelap. Udara malam terasa menenangkan, tapi bagi Thea justru sebaliknya — menegaskan sunyi yang menguak luka-luka lamanya.

Thea menatap kosong jauh ke taman. Perlahan ia meremas jemari Al yang sejak tadi menggenggam tangannya, seakan menarik kekuatan dari sana.

“Al...” gumamnya pelan.

“Hm?” Al menoleh, sabar menunggu.

“Aku mau jujur soal apa yang sebenarnya selalu aku takutkan.”

Al mengusap punggung tangannya lembut. “Tell me. Please.”

Thea menarik napas panjang, suaranya bergetar.

“Aku... aku takut, Al. Takut kalau aku nggak bisa jadi istri yang baik untuk kamu. Kalau nanti kamu nyesel udah milih aku. Kamu tau kan, aku punya terlalu banyak luka. Terlalu banyak hal yang nggak selesai dalam diriku.”

Al hanya diam, membiarkan Thea mengeluarkan semua.

“Aku terbiasa sendiri sejak lama. Terbiasa ngejalanin semuanya sendiri, disalahin sendiri, jatuh bangun sendiri. Dan sekarang, sama kamu... aku takut. Takut semua ini terlalu indah buat jadi nyata.”

Napasnya semakin berat, lalu matanya mulai basah.

Thea menoleh menatap Al, wajahnya dipenuhi rasa sakit yang sudah lama ia simpan.

“Dan Al... salah satu ketakutanku yang paling besar adalah...” suaranya patah, jemarinya menggenggam tangan Al makin erat.

“…Karena trauma yang kamu kasih dulu. Kamu pernah ninggalin aku, tepat saat aku paling hancur.”

Al tertegun. Dadanya ikut ngilu. Thea menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Al tau Thea tak akan pernah mau menangis karena ini. Baginya menangis ada bentuk kelemahannya.

“Inget waktu dulu, beberapa tahun lalu, saat kamu datang ke tempatku... kamu kira itu rumahku, padahal ibarat cuma rumah yang aku sewa dari cewe lain. Kamu nggak tau, malam itu aku lagi benar-benar retak, Al. Mungkin saat itu harusnya aku bisa lebih tegas untuk tidak mencoba melangkah maju. Tapi akhirnya entah kenapa akh maju, padahal aku tau 'orang lama pasti pemenangnya' . Dan akhirnya kamu pergi. Kamu tinggalin aku saat aku paling butuh pegangan.”

“Sejak itu, di kepalaku selalu ada suara bilang... suatu hari nanti kamu juga bakal ninggalin aku lagi. Kalau aku terlalu rapuh, kalau kamu lelah sama kekurangan yang aku punya.”

Al terdiam cukup lama.

Dibalik matanya, ribuan memori menyala, Thea yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama di villa Bali, tatapan Thea yang teduh setiap mereka menceritakan mimpinya, Thea yang apa adanya, aromanya yang sangat ia sukai, Thea yang kuat dan selalu bisa menenagkannya, bahkan tangis mereka berdua saat kakek mereka masing-masing—Ron Moonstone dari dan Petrus Rosewood—meninggal hanya selisih dua minggu.

Al mendekat perlahan, menahan napas, lalu memegang kedua pundak Thea.

“Thea…” suaranya parau.

“Kamu benar. Aku bodoh. Sangat bodoh. Aku gagal pada saat itu"

Thea terkejut Al mengatakannya sejujur itu.

“Saat dia tiba-tiba muncul lagi—kamu tahu siapa maksudku—aku… tidak cukup tegas.

Aku pikir aku melindungimu. Kamu tahu seberapa gilanya dia. Aku bukan tak yakin kita bisa menghadapinya bersama, karena aku tahu kamu nggak akan mau bertahan dengan seorang laki-laki yang selalu diganggu perempuan lain. Aku pikir kalau aku menjauh, kamu nggak akan terluka lebih dalam. Tapi aku salah.”

Al menunduk menatap jemari Thea yang bergetar dalam genggamannya.

“Setiap hari selama dua tahun itu aku tersiksa. Bohong jika aku tak merindukanmu. Aku nggak punya akses tentang kamu. Rose dan Regan nggak mau kasih apa pun. Aku cuma tahu kamu pergi ke London.Dan aku cuma bisa berdoa kamu bahagia.”

Air mata Al menetes tanpa bisa ia tahan.

“Sampai hari itu datang… saat daddymu berpulang.

Aku baru selesai meeting di Singapore. Begitu Regan kabarin, aku langsung terbang ke Jakarta.

Dan di rumah duka itu… aku lihat kamu lagi. Setelah dua tahun. Kamu berdiri sendirian di samping peti, Thea. Yang paling ingin kulakukan waktu itu adalah narik kamu ke pelukanku. Menguatkanmu, kayak waktu dulu kakekmu sama kakekku meninggal. Tapi aku sadar, aku yang membuat kita sejauh ini.”

Thea menutup mulutnya, air matanya yang ia tahan mulai sedikit menetes.

“Maaf, Thea…” bisik Al pelan sekali, seperti takut suaranya akan pecah.

“Maaf karena aku bodoh, pengecut, dan lebih milih kamu sakit sendiri daripada kita hadapi sama-sama. Maaf karena aku nggak memperjuangkanmu sekuat kamu pantas diperjuangkan."

Ia menarik Thea ke pelukannya.

Menutup jarak di antara mereka seerat mungkin, seakan ingin menyalurkan semua rasa penyesalan dan cinta yang tak sempat terucap.

“Tapi sekarang aku di sini. Dan aku akan selalu di sini. Aku nggak akan pergi lagi. Aku akan sabar menunggu sampai kamu yakin lagi, sampai kamu mau percaya padaku lagi. Berapa lama pun itu. Bahkan kalau kamu runtuh, aku akan tetap di sampingmu. Karena kita udah jalan terlalu jauh. Kita punya Cio, kita punya kita. Dan kamu harus tau, 'orang lama belum tentu pemenangnya'. Kamu Althea Reycecilia Rosewood, adalah pemenangnya. Kamu dan Baby Cio adalah kehidupanku dan nyawaku."

Thea terisak, tapi tangannya naik memeluk balik Al erat-erat.

“Aku takut banget, Al. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu. Aku cuma belum sepenuhnya sembuh.”

Al mengusap punggung Thea naik turun menenangkan.

“Kamu nggak perlu sembuh total untuk bisa bahagia sama aku. Kamu cukup mau berproses. Aku akan sabar nunggu kamu — sampai kapanpun. Kita akan sama-sama belajar lagi tentang cinta, tentang keluarga. Kita jalan pelan-pelan, ya?”

Thea hanya mengangguk pelan dalam pelukan Al, bibirnya bergetar menahan tangis, lalu memejamkan mata seolah menahan semua rasa itu di dada Al.

Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, ia membiarkan hatinya menerima kehangatan yang sama sekali tak ingin ia percaya lagi.

Pertahanan itu masih ada—rapuh, tapi ada. Namun untuk malam ini, ia memilih membiarkan dirinya merasakan cinta Al.

Dari jauh, lampu-lampu kota masih berkelip, seperti ikut menjadi saksi janji dalam diam antara dua hati yang sama-sama hancur tapi saling berusaha menyembuhkan.

Malam itu, bintang di atas mereka seolah ikut bersekongkol memberi saksi — dua hati yang sama-sama pernah hancur, kini saling berjanji diam-diam untuk tetap bertahan.

Tak sempurna, tapi nyata.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!